Shanghai/Beijing (ANTARA) - Media di China ramai-ramai menyiarkan pengumuman dibukanya kembali pariwisata di Bali per 14 Oktober 2021 yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.
Bukan itu saja, media-media di China juga mulai memperkenalkan istilah PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat dalam pemberitaannya. Istilah yang benar-benar asing di telinga warga China.
Di mata warga China, Bali sangat dikenal dan termasuk pula salah satu objek wisata di dunia yang sangat didambakan untuk dikunjungi.
Lebih dari dua tahun, warga China tidak bisa pelesiran ke mancanegara.
China boleh saja memboyong arena hiburan berkelas dunia, seperti Disney Land di Shanghai dan Universal Studios yang belum genap sebulan dibuka untuk umum di pinggiran Kota Beijing.
Namun, kerinduan mereka agar bisa kembali melancong ke mancanegara belum juga terobati.
Wisatawan China lebih suka datang langsung ke negara tujuan wisata, bukan hanya sekadar replika.
Dengan begitu, mereka bisa merasakan sensasi dan tentunya hospitality.
Hospitality yang tergambarkan dalam wujud keramahan tuan rumah saat menjamu tamunya merupakan ruh bagi sektor pariwisata.
Keramahan budaya dan adat-istiadat Nusantara akan terus melekat di benak wisatawan sehingga tertarik untuk kembali.
Sayangnya, protokol kesehatan anti pandemi yang diterapkan secara ketat oleh otoritas China bagi siapa saja yang baru kembali dari luar negeri menjadi salah satu alasan keengganan warga setempat melakukan wisata lintas-batas.
Satu lagi, pemerintah China sejauh ini juga belum mengeluarkan kebijakan konkret terkait wisata ke mancanegara.
Thailand dan Malaysia sudah beberapa kali menggelar pameran wisata di berbagai daerah di China.
Meskipun tidak secara khusus memamerkan objek-objek wisata Nusantara, beberapa pemangku kepentingan Indonesia di China juga memanfaatkan beberapa kesempatan untuk menyelipkan pesan promosi Bali.
Setidaknya di sepanjang Oktober ini, ada dua gelaran akbar yang digelar oleh perwakilan pemerintah Indonesia di China.
"The Colours of Indonesia" di Shanghai pada 15-17 Oktober yang disusul kemudian dengan Forum Bisnis Indonesia-China yang dirangkai dengan Resepsi Diplomatik HUT ke-76 RI di Beijing pada 19 Oktober.
Dua acara yang menjadi agenda rutin Konsulat Jenderal RI di Shanghai dan Kedutaan Besar RI di Beijing itu tentu saja menjadi ajang untuk mempromosikan Bali.
“Bali sudah dibuka kembali. Silakan Anda yang rindu akan keindahan Pulau Dewata datang lagi ke Bali,” kata Duta Besar RI untuk China merangkap Mongolia Djauhari Oratmangun saat membuka "The Colours of Indonesia" di Sinar Mas Plaza, Shanghai, pada 15 Oktober.
Hambar
Menggemakan kunjungan ke Bali lagi terus berlanjut hingga Beijing empat hari berikutnya.
Di depan ratusan perwakilan negara sahabat dan Asisten Menteri Luar Negeri China Wu Jianghao selaku tamu kehormatan, Dubes Djauhari kembali menyampaikan pesan serupa.
"Bali sudah dibuka kembali, silakan datang ke sana untuk bersenang-senang," kata Dubes disambut tepuk tangan ratusan tamu undangan Resepsi Diplomatik HUT RI pada Selasa (19/10) malam.
Seruan itu bukan hanya untuk warga China yang memang gemar berpelesiran.
Melainkan juga warga asing yang sudah lama merindukan keindahan panorama dan budaya Pulau Dewata.
Hajatan yang digelar di Shanghai dan Beijing dalam waktu yang hampir bersamaan itu tidak hanya mengundang antusiasme warga China, melainkan ada juga entitas asing lainnya.
"The Colours of Indonesia" di Shanghai dihadiri ratusan pengusaha China dan dari berbagai negara di Eropa.
Acara pun dikemas sedemikian rupa termasuk dengan mendatangkan peragawati dan peragawan dari Eropa untuk berlenggak-lenggok di atas catwalk dengan mengenakan batik khas Nusantara.
Di tengah keriuhan acara itu, lamat-lamat terdengar bisikan dari para ekspatriat yang merencanakan liburan ke Bali bersama keluarga.
Di antara ekspatriat ada yang beristri orang Indonesia. Tidak sedikit pula di antara mereka yang tanpa didampingi keluarga tercinta namun ingin melepas kerinduan bersama di Bali.
Sah-sah saja bagi mereka, baik pelancong warga China maupun kalangan ekspatriat, punya rencana itu.
Bahkan berapa pun uang yang dibutuhkan untuk persiapan karantina dan berbagai keperluan selama di Bali, mereka juga telah mengalokasikannya.
Namun pertanyaan berikutnya adalah terkait dengan ketersediaan layanan penerbangan dari kota-kota di China menuju Bali.
Sampai tulisan ini diturunkan, tidak ada penerbangan langsung dari China ke Bali atau arah sebaliknya.
Penerbangan di rute tersebut juga tidak ditemukan di platform penyedia jasa paket perjalan wisata terkemuka di China CTrip.
Memang ada penerbangan dari Jakarta ke beberapa kota di China, namun bukan merupakan jadwal penerbangan reguler.
Beberapa maskapai, seperti Citilink yang melayani rute Jakarta-Kunming PP, China Southern Airlines (Jakarta-Guangzho PP), dan Xiamen Airlines (Jakarta-Fuzhou PP), boleh dibilang sebagai penerbangan carter.
Ketiga maskapai itu sebenarnya lebih banyak mengangkut tenaga kerja asal China yang pulang dan pergi sesuai jadwal kerja enam bulanan. Jadi, bukan untuk wisatawan.
Isu terkait dibubarkannya maskapai pelat merah Garuda Indonesia memperparah situasi ini.
Sebelumnya, Garuda Indonesia memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menyumbangkan wisatawan asing asal China mengunjungi Bali dan objek wisata lainnya di Indonesia.
Sebelum pandemi COVID-19, Garuda Indonesia memiliki jadwal penerbangan secara rutin ke Bali dari beberapa kota di China, seperti Beijing, Shanghai, Guangzhou, Chengdu, Xi'an, dan Zhengzhou.
Kalau nanti Garuda Indonesia benar-benar ditutup, maka peluang mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya dari China ke Indonesia makin menghadapi tantangan yang tidak kalah besarnya dibandingkan gelombang pandemi itu sendiri.
Menggunakan layanan Garuda atau maskapai lainnya untuk perjalanan ke Bali atau kota-kota lainnya di Indonesia sangat berbeda dengan layanan maskapai asing, termasuk China sekalipun.
Kalau saja Garuda nanti harus mengakhiri masa dinasnya maka dapat dibayangkan betapa hambarnya perjalanan wisatawan China ke Bali tanpa adanya hospitality.
Membayangkan kembali ke Bali tanpa "hospitality"
Minggu, 24 Oktober 2021 13:21 WIB