Jakarta (ANTARA) - Setidaknya dari 16 kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke berbagai daerah di Indonesia pada September-Oktober 2021, ada empat lokasi yang dikunjungi dan diisi dengan acara penanaman pohon bakau atau mangrove.
Penanaman mangrove itu bukan tanpa alasan karena menurut Presiden Jokowi, Indonesia memiliki hutan mangrove terbesar di dunia.
Berdasarkan Peta Mangrove Nasional 2021 yang baru diluncurkan pada 13 Oktober 2021, luas lahan mangrove di Indonesia saat ini adalah 3.364.080 hektare atau 20 persen dari total hutan bakau yang ada di dunia. Luasan tersebut bertambah seluas 52.873 hektare bila dibandingkan periode 2013-2019.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) lahan mangrove seluas 3,36 juta hektare itu terdiri dari lahan mangrove dengan tutupan lebat seluas 3,15 juta hektare, tutupan sedang 167 ribu hektare dan tutupan jarang sekitar 42.779 hektare.
Sementara luasan berpotensi ekosistem mangrove seperti wilayah abrasi dan yang sudah terbuka tutupannya berada di kisaran 700.575 hektare.
Pemerintah sejak 2020 memang telah meluncurkan Program Pemulihan Nasional (PEN) melalui penanaman bibit mangrove dengan target rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare di 9 provinsi untuk dicapai pada 2024.
Rinciannya adalah rehabilitasi lahan seluas 34 ribu hektare pada 2021, 228.200 hektare pada 2022, 199.675 hektare pada 2023 dan pada tahun 2024 pelaksanaan rehabilitasi mangrove seluas 142.625 hektare.
Empat kunjungan Presiden
Saat kunjungan kerja pada 23 September 2021 di Desa Tritih Kulon, Kecamatan Cilacap Utara, Jawa Tengah, Presiden Jokowi memulai kegiatan dengan menanam pohon mangrove bersama masyarakat
"Saya melakukan penanaman mangrove di kawasan ini bersama-sama dengan masyarakat karena memang rehabilitasi mangrove harus kita lakukan untuk memulihkan, melestarikan kawasan hutan mangrove ini," kata Presiden di Cilacap pada 23 September 2021.
Presiden berharap dengan penanaman mangrove, maka lingkungan pantai dapat terlindungi dari abrasi air laut dan kondisi lingkungan pesisir pantai menjadi lebih baik. Termasuk juga dapat mengurangi energi gelombang, melindungi pantai dari abrasi, menghambat intrusi air, memperbaiki lingkungan pesisir dan memperbaiki habitat di daerah pantai.
Selain itu, penanaman mangrove di lingkungan pantai diharapkan berdampak kepada peningkatan produksi ikan dan produksi hasil laut lainnya. Dengan begitu, pendapatan masyarakat yang mengandalkan mata pencaharian dari kekayaan laut akan meningkat.
"Kita harapkan berdampak pada peningkatan produksi ikan dan produksi hasil laut lainnya, terutama ini kepiting ini, tadi kita dapat kepiting dua sehingga nantinya kita dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di pesisir pantai ini," kata Presiden sambil mengangkat dua kepiting besar.
Kunjungan kedua adalah pada 28 September 2021 dengan agenda penanaman pohon mangrove adalah di Pantai Setokok, Batam, Kepulauan Riau.
Saat itu Presiden Jokowi bahkan ikut mencerburkan diri ke pantai di saat gerimis mengguyur untuk menanam sekitar 20 ribu bibit mangrove bersama masyarakat.
Presiden mengenakan jaket berwarna merah hanya melapisi kepalanya dengan tudung jaket menceburkan diri ke pantai dan membiarkan air merendam kakinya hingga setinggi paha. Ia kemudian menanam pohon mangrove meskipun harus merasakan dinginnya air laut.
"Semuanya masuk ke air, ya masa saya di darat sendiri. Kan enggak lucu. Tidak ada masalah, basah kan paling-paling 5-10 menit, tak ada masalah," kata Presiden.
Usai menanam bakau di Pantai Setokok, Presiden mengatakan rehabilitasi mangrove akan berkontribusi besar pada penyerapan emisi karbon dan ini meneguhkan komitmen Indonesia dalam "Paris Agreement" (Perjanjian Paris).
Menurut Presiden Perjanjian Paris berisikan upaya-upaya mitigasi dan adaptasi, termasuk kebijakan soal pendanaan mengenai perubahan iklim yang disepakati negara-negara di dunia sejak 2015.
Presiden Jokowi berharap rehabilitasi mangrove akan mendorong perbaikan ekosistem, contohnya perbaikan lahan Mangrove di pesisir pantai diharapkan dapat menghambat abrasi yang diakibatkan air laut sekaligus mendukung program ekowisata sehingga sektor pariwisata di daerah akan berkembang. Apalagi pohon bakau mampu menyimpan karbon hingga 4-5 kali lipat dibandingkan hutan tropis daratan.
Program PEN Mangrove 2020-2021 di Provinsi Kepulauan Riau memang menargetkan rehabilitasi mangrove hingga seluas 1.292 hektare. Di Pulau Setokok, tempat Presiden menanam, KLHK melakukan rehabilitasi mangrove seluas 15 hektare dengan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat.
Kunjungan ketiga adalah pada 8 Oktober 2021 yaitu saat Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana Jokowi meninjau hutan mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Badung, Bali.
Di Taman Hutan Raya tersebut, Presiden Jokowi dan Ibu Iriana bersama rombongan berjalan kaki di atas jembatan kayu sepanjang 500 meter guna menelusuri kawasan hutan mangrove. Hutan raya itu sendiri adalah kawasan seluas 268 hektare yang sebelumnya adalah bekas tambang ikan dan udang yang terbengkalai.
Sejak 1992, pemerintah daerah merehabilitas lokasi tersebut sehingga menjadi tempat tinggal 92 jenis burung sekaligus 33 jenis pohon mangrove.
Presiden Jokowi pun berharap daerah lain dapat mencontoh model rehabilitasi mangrove seperti yang diterapkan di Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali.
"Model rehabilitasi mangrove seperti inilah yang ingin kita replikasi, kita 'copy' untuk program rehabilitasi mangrove di provinsi-provinsi lain. Ini merupakan tempat percontohan rehabilitasi ekosistem hutan mangrove di negara kita yang memadukan pendidikan, edukasi, pariwisata, dan juga untuk penguatan ekonomi masyaraka," kata Presiden Jokowi.
"Yang ini akan terus kita lakukan di kawasan-kawasan pesisir untuk memulihkan, melestarikan kawasan hutan mangrove kita, dan juga untuk mengantisipasi dan memitigasi perubahan iklim dunia yang terus dan akan terjadi," ujar Presiden.
"Utamanya kepiting yang cocok untuk mangrove ini dan yang paling akhir adalah bisa meningkatkan pendapatan masyarakat, dan ini juga nanti mungkin akan menjadi salah satu 'venue' yang akan kita perlihatkan kepada pemimpin-pemimpin G-20 tahun depan," ujar Presiden.
Berdasarkan data KLHK, luas lahan mangrove di Bali mencapai 2.147,97 hektare. Dari luas tersebut, 19 hektare masuk kategori jarang dan masih ada habitat mangrove yang berpotensi untuk ditanami seluas 263 hektare.
Kunjungan keempat adalah di Desa Bebatu, Kecamatan Sesayap Hilir, Kabupaten Tana Tidung, Provinsi Kalimantan Utara pada 19 Oktober 2021.
Kali ini Presiden Jokowi menanam mangrove bersama dengan sejumlah duta besar negara sahabat. Mereka adalah Duta Besar Ceko untuk Indonesia Jaroslav Dolecek beserta istri, Duta Besar Cili untuk Indonesia Gustavo Nelson Ayares Ossandron, Duta Besar Finlandia untuk Indonesia Jari Sinkari, Duta Besar Swiss untuk Indonesia Kurt Kunz, Wakil Duta Besar Brazil untuk Indonesia Daniel Barra Ferreira dan Country Director Bank Dunia Satu Kahkonen.
Presiden Jokowi menjelaskan di Kalimantan Utara ada 180 ribu hektare hutan mangrove yang akan direhabilitasi oleh pemerintah.
"Target kita dalam tiga tahun ke depan agar kita perbaiki, kita rehabilitasi sebanyak 600 ribu hektare dari total luas hutan mangrove kita yang merupakan hutan mangrove terbesar di dunia (seluas) 3,6 juta hektare," ungkap Presiden.
Apresiasi pun disampaikan oleh para dubes dan "Country Director" Bank Dunia kepada Presiden Jokowi.
"Ini adalah program restorasi mangrove terbesar di dunia dan oleh karena itu kami memuji Pemerintah Indonesia yang melakukannya," kata "Country Director" Bank Dunia Satu Kahkonen.
Hal senada diungkapkan Duta Besar Ceko untuk Indonesia Jaroslav Dolecek yang mengatakan rehabilitasi mangrove merupakan hal penting bagi semua negara, bukan hanya bagi negara tertentu saja karena iklim global bukan menyangkut individu atau satu pemerintah tetapi seluruh oenduduk dunia.
Sementara Dubes Finlandia untuk Indonesia Jari Sinkari mengatakan bahwa hutan mangrove sangat efisien dalam menyerap gas karbondioksida, karena itu, ia memuji langkah pemerintah Indonesia yang berfokus pada penanaman mangrove.
"Saya pikir jika Anda perlu menaruh uang Anda untuk satu jenis hutan, saya pikir ini adalah pilihan yang sangat baik dan saya mengucapkan selamat kepada Pemerintah Indonesia atas pilihannya," ungkap Dubes Finlandia.
Sedangkan Duta Besar Swiss untuk Indonesia Kurt Kunz berharap program rehabilitasi mangrove ini bisa menjadi contoh dan stimulus bagi masyarakat Indonesia dan dunia.
Adapun Deputi Dubes Brazil Daniel Barra Ferreira menilai program rehabilitasi mangrove menunjukkan komitmen kuat Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan dan menunjukkan komitmen Indonesia atas pembangunan berkelanjutan serta konservasi dan restorasi kawasan penting seperti mangrove.
Pada kesempatan tersebut seluruh dubes tampak kompak mengenakan sesingal tidung, ikat kepala khas Tidung yang diberikan oleh Wakil Bupati Tidung Hendrik sebelum mereka turun menanam mangrove. Setelah menanam mangrove bersama, Presiden Jokowi dan para dubes kemudian berbincang di saung kayu bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Komitmen Indonesia
Komitmen Indonesia terhadap pengendalian perubahan iklim sudah disampaikan dengan lugas oleh Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau Leaders Summit on Climate pada 22 April 2021. Presiden Jokowi mengikuti KTT tersebut secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor.
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menegaskan pertama Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata.
"Penghentian konversi hutan alam dan lahan gambut mencapai 66 juta hektare, lebih luas dari gabungan luas Inggris dan Norwegia. Penurunan kebakaran hutan hingga sebesar 82 persen di saat beberapa kawasan di Amerika, Australia, dan Eropa mengalami peningkatan terluas," kata Presiden.
Kedua, menurut Presiden, Indonesia telah memutakhirkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (nationally determined contributions/NDC) untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim.
Indonesia juga menyambut baik target sejumlah negara menuju net zero emission tahun 2050. Namun, agar kredibel, komitmen tersebut harus dijalankan berdasarkan pemenuhan komitmen NDC tahun 2030.
"Negara berkembang akan melakukan ambisi serupa jika komitmen negara maju kredibel disertai dukungan riil. Dukungan dan pemenuhan komitmen negara-negara maju sangat diperlukan," tambah Presiden.
Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris kesepahaman dan strategi perlu dibangun di dalam mencapai "net zero emission" dan menuju United Nations Climate Change Conference Conference of the Parties (UNFCCC COP-26) Glasgow.
Indonesia sendiri sedang mempercepat percontohan "net zero emission" antara lain dengan membangun "Indonesia Green Industrial Park" seluas 12.500 hektare di Kalimantan Utara yang akan menjadi yang terbesar di dunia.
Pemerintah juga telah membangun Pusat Sumber Benih dan Persemaian Rumpin di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan kapasitas produksi sekitar 16 juta bibit.
Bibit-bibit yang diproduksi tersebut akan didistribusikan ke lokasi atau wilayah yang sering mengalami bencana banjir dan tanah longsor. Namun, selain fungsi ekologi, Presiden berharap agar pusat perbenihan tersebut juga akan menanam tanaman-tanaman yang memiliki fungsi ekonomi.
Berbagai upaya tersebut, menurut Presiden Jokowi, adalah upaya agar Indonesia turut mendapat manfaat dari perkembangan dunia yang mengarah ke "green economy".
"Hati-hati dengan perkembangan 'green economy'. Kita harus menyadari kita salah satu paru-paru terbesar dunia. Kita bisa mendapat manfaat besar dari hutan tropis dan hutan mangrove yang kita miliki oleh sebab itu transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan harus dimulai," kata Presiden dalam acara di Bappenas pada 4 Mei 2021.
Pemerintah sendiri sudah merencanakan pembangunan "Green Industrial Park" atau Kawasan Industri Hijau di Kalimantan Utara dengan memanfaatkan "hydro power" Sungai Kayan sehingga akan menghasilkan energi hijau, energi baru dan terbarukan yang akan disalurkan ke kawasan industri hijau sehingga muncul produk-produk hijau.
Contoh Korea Selatan
Kesadaran pentingnya menjaga lingkungan saat melakukan kegiatan ekonomi juga sudah dilakukan oleh negara-negara lain salah satunya Korea Selatan yang mengimplementasikan ekonomi sirkular.
Model ekonomi sirkular adalah model dimana barang yang sudah dikonsumsi dapat diolah kembali (Reduce, Reuse, Recycle, Replace, Repair). Sampah dapat diproduksi
ulang sehingga mengurangi dampak limbah buangan yang berbahaya bagi lingkungan dan dapat digunakan kembali sebagai produk baru atau sebagai bahan baku produk lain.
Meski sudah memiliki Undang-undang Kontrol Limbah pada 1986, Korsel baru menetapkan Undang-Undang tentang Sirkulasi Sumber Daya (Framework Act on Resource Circulation) pada 2017 untuk mendorong jumlah daur ulang sampah.
Dalam pelatihan yang digelar oleh Korea Foundation bekerja sama dengan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), pakar Teknik Lingkungan dari Kyonggi University Korea Selatan, Rhee Seung Whee mengatakan timbulan sampah di Korsel meningkat dari 346.669 ton/hari pada 2007 menjadi 497.238 ton/hari pada 2018.
Pada 1995, Korsel mulai menerapkan sistem Volume Based Waste Fee (VBWF) di seluruh negeri. Secara umum, ada tiga pembagian limbah padat perkotaan (MSW) yakni limbah makanan (food waste), "mixed MSW" yakni kertas, plastik, kaleng, kaca, sterofoam dan tekstil, dan limbah elektronik (e-waste).
Pemerintah Korsel lalu memperkenalkan sistem Extended Producer Responsibility (EPR) pada 2000 yang diperuntukkan bagi para pelaku usaha. Sistem EPR diterapkan bagi 4 bahan kemasan yaitu yaitu kertas, botol kaca, kaleng logam.
Produsen dan pengimpor diminta untuk melakukan daur ulang untuk limbah produk mereka. Produsen yang gagal untuk mengikuti kewajiban ini tunduk pada denda daur ulang.
Sistem EPR tersebut menurut Rhee juga memberikan keuntungan bagi para perusahaan.
"Industri memang mengeluarkan ongkos produksi lebih besar sebelum diterapkannya sistem ini tapi ongkos produksi itu sebenarnya ditanggung konsumen. Mereka sebenarnya mendapat uang dari konsumen. Jadi pemerintah bertugas sebagai pihak yang mengawasi kualitas bahan daur ulang dan menjaga lingkungan," kata Rhee.
"Di Indonesia misalnya ada sejumlah perusahaan besar seperti Toshiba, LG, Sony dan perusahaan-perusahaan asing lainnya. Pemerintah dapat meminta mereka untuk mengumpulkan dan mendaur ulang sampah mereka. Mengumpulkan sampah menjadi sangat penting karena merupakan 60 persen bagian dari daur ulang itu sendiri dan hal itu menjadi kewajiban industri," ungkap Rhee.
Namun lebih dari itu, menurut Rhee, pengenalan pentingnya melakukan daur ulang sampah juga harus diperkenalkan kepada masyarakat sejak dini bahkan mulai tingkat TK, SD, SMP, SMA, universitas hingga pengenalan kepada para pelaku ekonomi baik formal maupun informa.
Siapkah pemerintah dan rakyat Indonesia menerapkan "green economy?" (*)