Jakarta (ANTARA) - Ketua Bidang Unit Donor Darah Palang Merah Indonesia (PMI) Dr. Linda Lukitari menyebutkan sejumlah permasalahan yang dihadapi untuk mendapatkan plasma konvalesen.
Mesin apheresis itu tidak diberikan kepada seluruh unit donor darah karena pemberian mesin apheresis itu, kita berikan kepada daerah berzona merah, kata Linda dalam Dialog Kabar Kamis Siang bertajuk "Ayo Kita Donor Darah" yang terpantau secara daring di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan jumlah mesin yang digunakan untuk donor plasma tersebut di Indonesia saat ini baru 48 unit dan ditempatkan di wilayah yang termasuk ke dalam zona merah COVID-19.
Ia mengatakan alasan mesin itu lebih difokuskan di wilayah berzona merah karena memiliki banyak penyintas COVID-19, sehingga tidak semua unit donor darah memiliki mesin tersebut.
Karena kalau tidak di zona merah, kita tidak punya pendonor penyintas seperti itu. Sehingga apabila di situ memang cukup besar kasusnya, kita menyiapkan mesin apheresis, ujar dia.
Selain jumlah mesin apheresis yang masih sedikit, nyatanya tidak semua penyintas COVID-19 dapat menjadi pendonor plasma konvalesen, itu menjadi permasalahan selanjutnya yang dihadapi PMI.
Linda mengatakan hal tersebut terjadi karena dalam donor plasma konvalesen, pihaknya tidak hanya memastikan orang itu telah sembuh tetapi juga perlu melihat titer anti bodi milik penyintas tersebut.
Ia memberikan contoh dari 100 penyintas yang pernah mendaftarkan diri sebagai pendonor plasma konvalesen, hanya 20 penyintas yang berhasil lolos menjadi pendonor.
Dari pengalaman yang kita ambil, contohnya 100 orang yang bisa lolos untuk bisa menjadi plasma konvalesen paling banyak hanya 20 orang. Itu permasalahannya, jadi memang tidak mudah menjadi donor plasma konvalesen atau penyintas. Yang utama itu titer anti bodinya, itu perbedaannya, kata dia.
CEO Reblood Leonika Sari mengatakan proses donor plasma konvalesen memiliki perbedaan dengan donor darah biasa karena dilakukan pemeriksaan dua kali.
Untuk donor biasa hanya datang ke PMI, dites Hb (hemoglobin) dan tensi, kemudian kalau lolos langsung dilakukan pendonoran darah. Tapi kalau donor plasma harus dilakukan dua kali ke PMI, kata Leonika.
Pada tahap pertama, penyintas akan diminta menjalani skrining sampel darah dan pengecekan lengkap melalui anti bodi untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit atau infeksi yang menular seperti HIV atau hepatitis.
Setelah melakukan sejumlah tes, apabila penyintas dinyatakan lolos maka harus datang kembali ke unit PMI keesokan harinya untuk melakukan donor menggunakan mesin apheresis.
Di mesin apheresis ini darah yang didonorkan dimasukkan ke dalam mesin, kemudian dipisahkan komponennya. Hanya diambil plasmanya saja dan plasmanya ini adalah plasma konvalesen yang akhirnya membantu penyembuhan pasien Covid-19 karena di dalam plasma tersebut ada anti bodi yg bisa membantu penyembuhan pasien, ujar dia.
Karena dilakukan pemeriksaan secara mendetail, dia mengakui bahwa sulit untuk mencari penyintas yang dapat meluangkan waktu untuk dua kali datang ke unit donor yang disediakan oleh PMI karena waktu donor yang dapat menghabiskan waktu sekitar satu jam.
Ia juga menyebutkan masalah yang dihadapi juga datang dari kondisi plasma pendonor itu sendiri. Terdapat plasma yang telah tercemar oleh kolesterol, sehingga plasma tersebut tidak dapat digunakan kepada pasien.
Sehingga benar-benar penting untuk memastikan penyintas COVID-19 yang telah sembuh, telah mengkonsumsi makanan-makanan yang sehat, terutama makanan yang tidak berminyak.
Kalau misalnya makanannya terlalu berminyak, terlalu banyak mengandung kolesterol maka plasmanya menjadi keruh. Akhirnya plasma itu tidak bisa dipakai dan nantinya terbuang. Itu sudah terjadi berkali-kali dan jadinya sayang, kata dia. (*)