Bondowoso (ANTARA) - Sesungguhnya modal dasar untuk menjalani kehidupan ini ada pada kerangka berpikir atau paradigma tentang bagaimana jiwa kita menyikapi realitas.
Paradigma ini yang akan memandu seseorang harus bersikap apa ketika menghadapi kenyataan yang biasanya dianggap sebagai masalah karena tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Agama mengajak kita untuk selalu bersyukur atas setiap peristiwa yang kita alami. Masih dalam kaitan ini, dalam khazanah bijak Nusantara, kita selalu diajarkan untuk berbaik sangka. Kalau kita jatuh, kemudian lutut luka, itu bukan masalah, apalagi dimaknai sebagai celaka. Orang Nusantara mengajak kita untuk bersyukur. Syukur hanya lutut yang luka, tidak semuanya terluka. Syukur kejadian itu tidak menjadikan hidup kita berakhir.
Peristiwa yang kita alami bersama saat ini, yakni pandemi COVID-19, seharusnya menjadi momen terbaik untuk menangkap pesan Ilahi di dalamnya. Bahasa populernya bagaimana menyibak hikmah di balik keadaan yang membuat manusia sedunia saat ini heboh itu.
Secara umum, kita akan memaknai keadaan ini sebagai masalah. Dengan paradigma ini, maka muncullah diksi "perang" melawan COVID-19 dan lain-lainnya. Sementara yang terekspresi dalam bentuk tindakan, kita melihat bagaimana masyarakat menjadi panik, misal memborong susu merek tertentu, vitamin, termasuk masker, untuk dijadikan modal senjata dalam rangka berperang dengan virus.
Menyikapi persoalan dengan tenang dengan terus mematuhi aturan atau protokol kesehatan adalah pilihan tepat untuk saat ini, seraya tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama, yakni jika Allah berkehendak atas segala sesuatu, maka tidak ada siapapun yang mampu menolaknya. Allah juga tidak menguji hamba-Nya di luar kemampuan hamba-Nya itu.
Pengampu pembelajaran tentang ilmu kesadaran diri Aswar yang sering menyosialisasikan ilmu ini di kalangan kampus dan masyarakat umum, mengemukakan bahwa semua orang memang memulai kehidupan dari nol atau level 1, yakni memandang keadaan sebagai masalah, sehingga kondisi jiwa terjebak dalam kepanikan dan keruwetan.
Sejarah Nabi Adam ketika diturunkan dari surga untuk menghuni Bumi juga menggambarkan bagaimana awal kehidupan ini dimulai dari level 1, yakni semua dimaknai sebagai masalah.
Menurut Aswar, ketika Nabi Adam pertama kali berada di Bumi, menjadi murung. Bapak moyang dari seluruh manusia di kolong jagat ini kemudian merenung dan bertanya kepada Allah, apakah semua yang terjadi ini karena murni kesalahan dia bersama Ibu Hawa yang telah melanggar larangan Allah agar tidak mendekati pohon khuldi saat di alam surga. Allah kemudian menjawab keresahatan Nabi Adam itu dengan menegaskan bahwa semua yang terjadi itu adalah kehendak-Nya juga.
Maka, ketika itu Nabi Adam menjadi bahagia dan dirinya optimistis bahwa semua yang dialaminya itu bukan masalah, melain merupakan proses spiritual. Paradigma Nabi Adam inilah merupakan cikal bakal paradigma holistik. Sementara paradigma bahwa berbagai keadaan itu sebagai masalah, mereka terjebak dalam pandangan kaum reduksionis atas makna kehidupan.
Manusia yang menyandang status sebagai "khalifah fil ardl" atau wakil Allah di muka Bumi harus menjalani proses evolusi jiwa yang terus menerus. Evolusi jiwa itu merupakan hukum alam agar manusia nantinya betul-betul layak menyandang predikat agung tersebut.
Kaum reduksionis atas makna kehidupan itu telah "meracuni" manusia, termasuk orang beragama, yang dalam teks kitab suci sudah diberi bekal pengetahuan bahwa semua alur kehidupan yang mereka jalani seharusnya dimaknai proses spiritual. Proses spiritual itu, dalam pandangan Islam adalah "minadzdzulumaati ilan nuur". Perjalanan dari kegelapan menuju cahaya.
Dengan mengubah paradigma ke proses spiritual seperti itu, maka mereka yang menghadapi keadaan sedang sakit, miskin, jomblo, sedih atau keadaan lainnya yang biasanya diratapi, menjadi lebih optimis dalam memandang dan menjalani hidup.
Ketika paradigma reduksionis kita geser ke proses spiritual, maka makna Tuhan Maha Adil mendapatkan pembuktiannya. Semua keadaan tidak dimaknai hanya sebagai fakta, melainkan ada pesan yang sama dari Ilahi bahwa bentuk penderitaan yang berbeda-beda itu, muaranya pada memperjalankan manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Al Quran dalam Ayat 5 dan 6, Surat Al Insyirah, mengabarkan optimisme itu hingga diulang. Ahli tafsir terkemuka Prof Dr Quraish Shihab memaknai dua ayat yang diulang mamaknai dengan terjemahan "Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." Jadi kesulitan dengan kemudahan itu adalah satu paket. Ibarat dua sisi dalam sekeping mata uang.
Agama juga memberikan pandauan lanjutan setelah kita mengubah paradigma tadi, yakni agar bersabar menghadapi keadaan yang tidak kita kehendaki itu. Sabar itu, menurut Aswar, yang dikenal sebagai pengamal tarekat ini, ditunjukkan dengan dua hal, yakni tobat dan mengilmui.
Makna tobat tentunya menyadari kekeliruan dan kemudian memperbaikinya. Sementara mengubah paradigma yang reduksionis atas makna kehidupan itu adalah mengilmui. Karena itu, manusia sebagai Wakil Allah di muka Bumi memiliki kewajiban untuk terus belajar. Dengan bertobat dan menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan itu, maka kita terbebas dari peringatan Allah dalam kitab suci sebagai "ghafilin" (orang yang lalai).
Bagi penganut pandangan reduksionis atas kehidupan itu kemungkinan terbesar akan terjerembab pada kedudukan sebagai "asfala saafiliin" (golongan manusia yang serendah-rendahnya). Mereka adalah manusia yang tertutup jiwanya untuk menangkap pesan-pesan cinta Ilahi atas suatu peristiwa kehidupan, termasuk pandemi akibat Sars-Cov2 ini. Mereka menganggap dirinya cacat di mata Tuhan, sekaligus sifat rahman rahim-nya Allah "tertutupi", berganti dengan seolah-olah Tuhan itu "pendendam".
Pada suasana Tahun Baru Islam ini, makna hijrah juga menjadi momentum kita untuk mawas, apakah hijrah itu dimaknai dalam paradigma holistik atau justru reduksionis.
Jika hijrah hanya dimaknai secara material, maka yang terjadi hanya pada perubahan atribut atau pakaian, bukan filosofi mengenai perubahan itu sendiri.
Menurut Aswar, proses kehidupan itu bukan perjalanan horizontal sehingga antara hari ini dengan kemarin, nilainya sama. Seharusnya proses kehidupan dimkanai sebagai perjalanan vertikal, sehingga setiap saat terjadi pertumbuhan kualitas jiwa seseorang.
Selamat Tahun Baru Hijriyah. Mari kita maknai momen ini sebagai waktu yang tepat untuk tidak terjebak dalam pandangan-pandangan reduksionis yang membawa kita pada kedudukan bahwa manusia hanya hewan yang berakal. (*)
Hijrah dan proses spiritual
Rabu, 11 Agustus 2021 5:52 WIB