Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan mengkritisi beberapa pasal yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sehingga harus dilakukan perbaikan.
Syarief tidak menyetujui Pasal 6 RUU HIP yang menyebutkan bahwa ciri pokok Pancasila adalah Trisila yang terkristalisasi dalam Ekasila karena istilah itu tidak pernah disebutkan di dalam lembaran negara dan membuat bias Pancasila.
"Selain itu, Trisila juga hanya mencantumkan tiga nilai dan Ekasila hanya mencantumkan satu nilai yakni gotong royong. Trisila dan Ekasila mengabaikan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan nilai-nilai lainnya yang telah jelas disebutkan di dalam Pembukaan UUD NRI 1945," kata Syarief dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Dia menilai tidak adanya penyebutan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa juga akan berpotensi memudahkan masuknya ideologi lain yang menyusup dalam Pancasila.
Menurut dia, gambaran manusia Pancasila yang disebutkan dalam Pasal 11 RUU HIP juga tidak berpedoman dengan bunyi Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945.
"Padahal berdasarkan Putusan MK Nomor 59/PUU-XIII/2015 disebutkan bahwa yang tunduk pada ketentuan tentang perubahan UUD adalah hanya pasal-pasal UUD NRI 1945, tidak termasuk Pembukaan UUD NRI 1945. Pancasila yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pembukaan UUD NRI 1945 tidak terdapat ruang secara konstitusional mengubah Pancasila sebagai dasar negara," katanya.
Dia menilai adanya perubahan ataupun perbedaan yang sangat jauh di dalam Pasal 3 dan Pasal 11 RUU HIP dengan Pembukaan UUD NRI 1945 telah bertentangan dengan Putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Dia juga menyoroti Pasal 13 dan 15 RUU HIP yang menunjukkan penguasaan negara yang berlebihan atas ekonomi, karena sangat tidak sesuai dengan Ekonomi Pancasila yang merupakan perimbangan dari ekonomi lain.
"Karena konsep Ekonomi Pancasila menempatkan Negara untuk mengatur jalannya perekonomian, namun tetap memberikan keleluasaan kepada individu dan pasar untuk berkembang sehingga tidak ada penguasaan negara ataupun pasar yang berlebihan," katanya.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat itu juga mempertanyakan Pasal 19 RUU HIP yang akan membangun Indonesia dari negara agraris menjadi negara industri.
Hal itu, menurut dia, penyebutan negara industri sebagai arah pembangunan ekonomi Indonesia ke depan, dimana di dalam UU yang mengatur mengenai ideologi adalah kekeliruan.
"Terlebih lagi, Pasal ini akan membuat bias arah pembangunan ekonomi Indonesia dan menihilkan sektor lain, seperti sektor Maritim dan sektor UMKM yang lebih relevan dikembangkan di Indonesia," ujarnya.
Syarief juga menyoroti Pasal 15 hingga 17 dan Pasal 21 hingga 31 yang mengatur mengenai pedoman pembangunan pada beberapa sektor karena sangat tidak jelas, kaku, terlalu teknis, dan sangat eksklusif.
Dia menilai pasal-pasal tersebut juga akan menyulitkan Pemimpin Negara maupun Daerah untuk melakukan elaborasi pembangunan di berbagai sektor sesuai kondisi riil masing-masing wilayah pada masa pemerintahannya.
"Pasal itu juga berpotensi melemahkan otonomi daerah. Padahal penjabaran dan penguatan Pancasila di berbagai sektor telah dijelaskan di dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang masih berlaku sampai hari ini," katanya.
Dia juga menyebutkan bahwa Pasal 42 hingga 53 RUU HIP yang mengatur mengenai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) salah undang-undang alias salah alamat karena jika berpedoman pada Pasal 1 RUU HIP maka pembahasan mengenai institusi BPIP dalam RUU HIP adalah salah alamat.
Dia menilai jika ingin melakukan penguatan institusi maka jangan dicampuradukkan dengan RUU yang mengatur mengenai ideologi Indonesia.
"Banyak sekali frasa-frasa dan penjabaran-penjabaran Pancasila di dalam RUU HIP yang tidak berdasar, asal comot, dan hanya diambil dari pemikiran orang tertentu saja yang tidak bersumber kepada UUD NRI 1945 yang memuat Pancasila di dalamnya," katanya.
Syarief menilai RUU HIP memiliki banyak masalah di dalam muatannya sehingga Pemerintah dan DPR RI tidak perlu melanjutkan pembahasan RUU HIP tersebut.
Dia menilai Indonesia hari ini juga tidak memerlukan RUU HIP, selain karena memiliki banyak masalah di hampir semua pasalnya, penjabaran mengenai Pancasila di berbagai sektor juga telah dijabarkan di dalam batang tubuh UUD NRI 1945.
Hal itu menurut dia karena RUU HIP hanya akan membuat tumpang tindih peraturan dan undang undang yang berlaku di Indonesia. (*)
Wakil Ketua MPR kritisi pasal-pasal krusial dalam RUU HIP
Selasa, 16 Juni 2020 14:36 WIB