Surabaya (ANTARA) - Sebuah judul berita yang saya lihat pagi itu di sebuah laman/website, mengiringi perjalanan saya dari Jakarta menuju Malang. Judul yang cukup menarik untuk diklik, sebab juga tertera bumbu tambahan kata "yang sedang viral" dalam judul itu.
Diceritakan dalam redaksional berita itu secara runtut, bahwa pelaku bom juga suka ngevlog (video dan blog), dengan kata lain menggambarkan bahwa pelaku bom termasuk masih berusia muda dan tergolong milenial atau istilah anak mudah zaman sekarang.
Bagi saya, sebuah peristiwa besar seperti bom bunuh memang memiliki news value yang sangat bagus, sebab bisa diambil dari berbagi sisi menarik dan layak menjadi rebutan sebuah laman untuk memperbanyak viewer atau klik'ers mereka.
Seperti layaknya orang yang sedang kenduri dan berebut makanan, seperti itulah yang terjadi ketika ada makanan yang enak disajikan, bahkan beberapa media pun berlomba mencari sisi lain dari pelaku bom dan orang-orang di sekitarnya, sehingga efek yang didapat menjadi "populer" si pelaku di mata publik, karena berbagai sisi yang diambil oleh media.
Tentunya, nilai eksklusifitas yang ada pada sebuah laman akan berdampak pada jumlah pembaca, dalam istilah media biasa disebut "rating" (penilaian/kelas/peringkat).
Rating inilah yang akan berdampak pula pemasukan iklan, sehingga mendapatkan keuntungan dalam bentuk finansial.
Namun demikian, di sisi lain, ada paradigma yang sangat kontradiksi bagi saya dalam cara memberitakan pelaku bom, yakni memaksa dengan mendorong pelaku bom untuk menjadi populer, yang bisa mengakibatkan dua kekhawatiran. Yakni pertama, pelaku bisa menjadi terkenal dan contoh bagi generasinya, serta yang kedua, pemberitaan berlebih dari sisi pelaku menjadi salah satu bukti laporan bagi pelaku kepada "pemesan" kejahatan, bahwa upayanya telah bisa diselesaikan.
Tentu ini hanyalah subyektivitas saya setelah membaca berita-berita yang ada, namun tidaklah berlebihan jika saya mempunyai rasa kekhawatiran internal, sebab saya sendiri berkecimpung dalam dunia media.
Teringat ucapan salah satu wartawan Korean Times, Kim Tong-hyung, yang menuliskan bahwa ada beberapa hal yang mesti dipegang teguh jurnalis ketika melakukan peliputan tragedi, yakni jangan sampai reportase "mengganggu" usaha penyelamatan, serta jangan menuliskan/mengabarkan sesuatu yang dapat membuat ketakutan yang tidak perlu.
Pada awal kejadian bom Medan pun terjadi demikian, beberapa media berusaha mengejar "ekslusivitas" dan seolah menjadi penyidik sebuah kasus dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan bahwa kepolisian berada di pihak yang salah, sedangkan media layaknya Munkar-Nakir yang bertanya di alam kubur.
Ekslusivitas memang bagus dan seharusnya didapat sebuah media, namun cara mendapatkannya tentu harus mempertimbangkan sisi lain, seperti kemanusiaan dan psikologis publik dalam hal ini remaja dan anak-anak.
Memang, Indonesia mempunyai Komisi Penyiaran yang bertugas menyaring konten-konten media yang mengganggu publik, tapi dari sisi media juga harus mempunyai sisi bijak dalam pemberitaan, hal ini menganut salah satu tujuan pers sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999, yakni salah satu fungsinya sebagai edukasi atau pendidikan.
Channel YouTube pelaku bom
Sabtu, 16 November 2019 9:41 WIB