Madiun (ANTARA) - Menjadi kota tujuan wisata adalah harapan semua pemerintah daerah di Indonesia, karena pengembangan sektor pariwisata dinilai sangat menguntungkan bagi pembangunan suatu wilayah.
Pengembangan sektor pariwisata dapat berimbas pada terciptanya lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, serta mendorong pemerintah daerah membangun dan memelihara infrastruktur yang muaranya adalah peningkatan kualitas hidup masyarakat setempat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Terlebih, saat ini telah terjadi pergeseran bahwa berwisata tidak harus menuju ke objek wisata alam yang indah nan eksotis, seperti pantai ataupun gunung yang menjulang tinggi.
Hal ini tentunya menjadi peluang bagi pengembangan pariwisata di daerah kota ataupun kabupaten yang tidak memiliki potensi wisata alam.
Belakangan ini juga sangat masif dikembangkan adanya wisata kuliner, wisata budaya, wisata religi, dan wisata belanja, yang jika ditata dan dikemas dengan apik akan mampu memberikan suguhan yang menarik bagi para wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Hendaknya, peluang itulah yang bisa ditangkap Pemerintah Kota (Pemkot) Madiun, Jawa Timur, dalam mengembangkan keistimewaan rumah Kapitan Cina yang ada di wilayahnya.
Keberadaan rumah Kapitan Cina yang terletak di Jalan Kolonel Marhadi, Kelurahan Nambangan Lor, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun, Jawa Timur, tersebut telah menjadi warisan berharga bagi pemkot setempat.
Tak ingin menyiakan keberadaannya, Pemkot Madiun berencana menjadikan rumah Kapitan Cina tersebut sebagai destinasi wisata sejarah dan budaya guna mendongkrak sektor pariwisata di wilayah setempat.
Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Kota Madiun Agus Purwowidagdo, mengatakan, rumah Kapitan itu telah diajukan Pemkot Madiun menjadi objek cagar budaya sejak tahun 2018. Hasilnya, pemerintah provinsi telah menetapkannya sebagai cagar budaya bangsa yang layak dilestarikan. Saat ini sedang menunggu proses penetapannya.
"Nantinya, bangunan rumah Kapitan Cina ini tidak hanya ditetapkan sebagai cagar budaya saja, namun juga digunakan sebagai salah satu destinasi wisata di Kota Madiun," ujar Agus kepada wartawan.
Dengan dijadikannya sebagai destinasi wisata sejarah dan budaya, warga Kota Madiun dan lainnya dapat belajar dan menambah wawasan tentang budaya dan sejarah dari bangunan tersebut yang merupakan akulturasi dari budaya Cina, Belanda, dan Jawa.
"Ini masih dikoordinasikan. Ke depan, konsepnya bisa museum ataupun menjadi lokasi untuk kegiatan-kegiatan pemkot yang bersifat sejarah," kata Agus.
Untuk menjadikan bangunan tersebut sebagai cagar budaya dan objek wisata, Pemkot Madiun telah melakukan persiapan. Di antaranya melakukan peninjauan guna melihat kondisi bangunan tersebut.
Pemkot Madiun juga berencana melakukan revitalisasi jika penetapan dari provinsi sudah keluar. Selain itu, Pemkot Madiun juga akan menerbitkan peraturan wali kota untuk pengaturan bangunan cagar budaya tersebut.
Dengan dimanfaatkannya Rumah Kapitan Cina sebagai destinasi wisata, diharapkan dapat meningkatkan kunjungan wisatawan ke Kota Madiun.
Dua di Indonesia
Peluang untuk menjadikan rumah kapitan tersebut sebagai objek wisata sejarah dan budaya cukup besar karena bangunan semacam itu sangat langka.
"Rumah Kapitan Cina ini hanya ada dua di Indonesia yang tersisa. Satu di Medan dan satunya lagi di Kota Madiun ini. Terlebih, hasil peninjauan tim pelestarian budaya dari provinsi telah menilai rumah Kapitan Cina yang di Madiun ini masih bagus dan kokoh," kata Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Kota Madiun Agus Purwowidagdo.
Berdasarkan data yang ditelusuri tim Disbudparpora rumah Kapitan Cina di Kota Madiun tersebut dulunya merupakan milik orang Cina yang dianggap berpengaruh waktu itu, yakni Njoo Swie Lian.
Dalam masa penjajahan Belanda, orang Cina kaya yang memiliki pengaruh dan bisa memimpin warga sesama keturunan tionghoa maka diberi gelar. Gelar itu setingkat kepangkatan dalam militer, seperti Mayor, Kapiten, dan Letnan.
Karena pengaruhnya mengkoordinir warga tionghoa saat itu di kawasan pecinan, Njoo Swie Lian diangkat Residen Madiun menjadi seorang Kapitan Cina di Madiun pada tahun 1912 hingga akhir hayatnya tahun 1930.
Kapitan Njoo memiliki istri bernama Ong Swan Nio dan anak bernama Njoo Hong Bo. Setelah Kapitan Njoo Swie Lian meninggal, rumah tersebut ditempati keturunannya, Njoo Hong Bo.
Seiring waktu, Njoo Hong Bo memiliki anak laki-laki bernama Njoo Jie Ling dan anak perempuan bernama Ibu Yenny. Rumah kapitan tersebut kemudan ditempati Ibu Yenny hingga tahun 2012.
Rumah kemudian dijual dan berpindah tangan ke pemilik baru bernama Ibu Elly hingga sekarang. Sedangkan Ibu Yenny yang merupakan keturunan Kapiten Njoo Swie Lian pindah ke Semarang.
Pihak pemkot juga telah mengundang pemilik bangunan guna diberitahu jika bangunannya telah masuk dalam cagar budaya dan akan segera ditetapkan.
Setelah ditetapkan sebagai cagar budaya, bangunan yang memiliki perpaduan arsitektur Cina dan Belanda kuno tersebut akan digunakan untuk lokasi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sejarah.
Agus menambahkan, saat ini Pemkot Madiun sedang gencar mengembangkan wisata budaya dan sejarah di wilayahnya. Selain rumah Kapitan Cina, terdapat 20 bangunan lainnya di Kota Madiun yang akan ditetapkan sebagai cagar budaya dan saat ini sedang menunggu proses penetapannya dari provinsi.
"Total ada sekitar 21 bangunan cagar budaya yang sedang menunggu ditetapkan. Ke-21 objek cagar budaya yang akan ditetapkan tersebut, meliputi bangunan bersejarah tempat ibadah, pendidikan, maupun pusat pemerintahan," katanya.
Di antaranya adalah Masjid Kuno Taman dan Kuncen, bangunan Balai Kota Madiun, SDN 01 dan 02 Kartoharjo. Lalu, Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Gamaliel, kompleks Gereja Santo Cornelius, bangunan sekolah Santo Bernardus.
Kemudian, Rumah Kapitan Cina di Jalan Kolonel Marhadi dan Jalan Kutai. SDN 05 Madiun Lor, SMPN 1, 3 dan 13 Kota Madiun, bangunan SMAN 1 Kota Madiun, dan gedung Bakorwil Madiun.
Selain itu, Stasiun Besar Madiun, Klenteng Hwi Ing Kiong, kompleks Pabrik Gula Rejo Agung dan rumah dinasnya, serta menara air Sleko. (*)