Jakarta, (Antara) - Ketika Mantan Presiden RI BJ Habibie memiliki perhatian khusus pada anak-anak, maka pemimpin Indonesia selanjutnya pun dituntut serupa.
Presiden RI ketiga itu dalam berbagai kesempatan selalu menekankan pentingnya asupan gizi pada anak demi Indonesia yang lebih baik ke depan.
Sebab disadari benar bahwa asupan gizi yang seimbang pada anak merupakan jawaban dan kunci atas persoalan Sumber Daya Manusia (SDM) ke depan.
Sejatinya Presiden Joko Widodo pun memiliki perhatian serupa sebagaimana disebutkan dalam pidato RAPBN 2019 yang diharapkannya bisa mencerminkan upaya Pemerintah untuk meningkatkan efektivitas program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), meningkatkan akses, pemerataan dan kualitas layanan kesehatan, serta penurunan angka kekurangan gizi (stunting).
Bahkan pemerintah dalam pembangunan jangka menengah nasional 2015—2019 pun telah berkomitmen untuk mempercepat perbaikan gizi masyarakat dimana salah satu targetnya adalah penurunan stunting pada anak usia di bawah 2 tahun dari 32,9 persen menjadi 28 persen pada 2019.
Sayangnya, persoalan malnutrisi hingga gagal tumbuh telah demikian akut di Indonesia sehingga menyisakan pekerjaan rumah yang terus saja menumpuk.
Kondisi ini semakin relevan untuk dikaji mengingat di tahun politik beragam agenda kemudian muncul untuk menjadi perhatian. Maka persoalan gizi buruk dan gagal tumbuh pun menantang Presiden terpilih kelak untuk dituntaskan dengan beragam program yang konkret.
Pilpres boleh saja diramaikan dengan hiruk pikuk persoalan politik namun semua pihak tak boleh menutup mata ketika setidaknya ada 900.000 balita di Tanah Air mengalami gizi buruk hingga gagal tumbuh.
Persoalan ini merupakan masalah yang sebenarnya harus segera dituntaskan sebagai upaya nyata untuk mendorong Indonesia menjadi lebih baik ke depan dengan SDM berdaya saing tinggi karena asupan gizi yang terpenuhi.
Mengatasi Stunting
Stunting alias cebol merupakan salah satu isu dan tantangan yang masih menghantui. Hal ini menjadi masalah gizi anak utama Indonesia.
Umumnya stunting yang merupakan fase awal gagal tumbuh terlambat disadari lantaran juga indikator pemeriksaan kesehatan di pos-pos layanan kesehatan masyarakat tidak memasukkan prosedur pengukuran tinggi badan melainkan hanya berat badan balita.
Padahal menurut Anggota UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Damayanti Rusli S, SpAK, PhD, dibutuhkan tata laksana gizi yang benar di masyarakat untuk memperbaiki kondisi stunting.
Ia mengatakan stunting adalah perawakan pendek yang disebabkan asupan nutrisi kurang atau kondisi kesehatan kurang baik. Ini persoalan anak gagal tumbuh seperti seharusnya karena kekurangan gizi.
Seorang anak disebut stunting bila nilai Z-skor (dalam grafik pertumbuhan menurut WHO) mencapai -2 dan stunting berat jika skornya -3.
Untuk memastikan apakah seorang anak memang stunting atau pendek karena faktor genetik, harus dilakukan pemeriksaan berat badan dan tinggi badan oleh dokter.
Maka jika berat badan anak setelah lahir, misalnya, mengalami penurunan, ia menyarankan agar kondisi tersebut diwaspadai dan jika diperlukan dilakukan intervensi yang lebih jauh.
Faktanya memang hingga kini angka stunting di Indonesia belum menurun signifikan meskipun beragam kebijakan pemerintah saat ini telah diterapkan.
Bahkan Indonesia masih menduduki peringkat nomor 5 di dunia dengan angka stunting terbanyak.
Oleh karena itu diperlukan "political will" (kemauan politik) untuk mengeluarkan kebijakan baru di samping dibutuhkan kerja sama multipihak (lintas kementerian/lembaga, asosiasi professional dan swasta) yang harus diperkuat agar efektivitas program penuntasan stunting terlaksana dengan baik.
Indonesia perlu juga belajar dari kisah sukses negata lain seperti China, Korea, Jepang, bahkan Sri Lanka yang telah lebih dahulu sukses dalam meningkatkan status gizi masyarakat mereka.
PR Sebenarnya
Pada masa pemerintahan Jokowi upaya pencegahan stunting sudah sampai dalam tahap pengusunan penguatan kelembagaan kelompok kerja pencegahan stunting.
Selain itu pula sudah dilakukan upaya pengembangan untuk melakukan monitoring dan evaluasi bersama lintas kementerian/lembaga. Bahkan telah mulai difinalisasi rencana Perpres Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang PMK Puan Maharani juga telah mengkoordinasikan agar pemanfaatan dana desa diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat salah satunya untuk optimalisasi Posyandu. Hal itu sebagai bagian dari pendekatan multisektor pencegahan stunting terintegrasi.
Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto melaporkan sampai saat ini progres pencegahan stunting telah sampai pada tahap intervensi kesehatan dan nonkesehatan yang bisa diimplementasikan dan diintegrasikan dari pusat ke daerah di 1.000 desa.
Pada tahun depan, hal serupa dapat diterapkan pada 1.600 desa yang lain. Di sisi lain intervensi pangan khusus pun diperlukan untuk mengatasi kasus-kasus tertentu yang perlu percepatan penyembuhan.
Beberapa kisah sukses terkait pengatasan gizi buruk telah dilakukan, misalnya, oleh Satgas Kemenkes di Pandeglang yang menuai sukses berkat salah satunya intervensi pangan khusus kepada balita dengan status gizi buruk.
Hal itu kemudian diharapkan dapat direplikasi di wilayah-wilayah lain yang selama ini menjadi kantong-kantong kasus stunting di Tanah Air.
Sebab gizi buruk dan stunting merupakan pekerjaan rumah yang sesungguhnya bagi siapapun nantinya yang akan menjadi presiden terpilih berikutnya.
Presiden terpilih harus menyadari bahwa fokus dan perhatian terhadap persoalan gizi buruk dan gagal tumbuh merupakan syarat utama bagi upaya peningkatan daya saing bangsa.(*)