Ponorogo (Antaranews Jatim) - Sebuah rumah, bagian depannya terbagi menjadi dua. Salah satu sisi dijadikan toko berukuran sekitar 24 meter persegi. Sisi satunya merupakan teras dengan sederet kursi dan meja untuk menerima tamu.
Halaman rumah seluas sekitar 30 meter terasa sesak. Puluhan sepeda motor terparkir. Sejumlah pekerja sibuk menurunkan kelapa dari bak truk yang datang dari Trenggalek, Jawa Timur. Belum lagi banyak orang yang keluar-masuk toko.
Di trotoar depan rumah terdapat "neon box" bertuliskan "Aneka Jenang Dodol (Khas Ponorogo) Teguh Rahardjo", Jl. Wibisono 90 Kepatihan Kota, Telp. (0352) 461597 Ponorogo.
Toko yang berada di sebuah ruang sempit itu terasa sesak dengan tumpukan barang-barang aneka makanan tradisional di etalasenya. Bila ada pembeli yang berbelanja dan memilih barang terasa makin sesak lagi.
Di samping toko terdapat lorong menuju ruangan-ruangan lain di bagian belakang rumah. Di situlah sekitar 40 orang pekerja beraktivitas. Sebagian besar perempuan. Ada dua orang laki-laki mengupas kelapa dan seorang laki-laki melakukan pencatatan-pencatatan produk.
Sebagian besar pekerja melakukan pengemasan. Beberapa orang berada di dapur dan belakang dapur. Ada yang melakukan proses produksi dan sebagian lagi memeras kelapa untuk membuat santan.
Sedangkan Rudi bersama ibunya, Sri Harijati, sebagai pemilik industri rumahan jenang tampak cukup sibuk dengan berbagai urusan. Mulai menerima tamu, melakukan pengawasan serta memberikan arahan kepada para pekerja.
"Saya belajar membuat jenang dari nenek sejak kecil. Orang-orang memanggil nenek saya dengan sebutan Bu Martodihardjo. Jenang buatan nenek saya dulu sangat terkenal," kata Sri mengawali perbincangan saat ditemui di rumahnya, Jalan Wibosono, Ponorogo, Jawa Timur, Sabtu (2/6).
Ia mengatakan "mbah buyut"-nya (ibunya Bu Martodihardjo) juga seorang pembuat jenang. "Sehingga saya ini sudah generasi keempat. Mulai dari mbah buyut (dia tidak tahu namanya), Mbah Martodihardjo, kemudian ibu saya, Bu Sunarijati juga pembuat jenang. Namun jenang buatan mbah buyut dan ibu saya masih kalah terkenal dengan buatan Mbah Martodiharjo," ungkapnya.
Industri rumahan makanan tradisional jenang terbuat dari bahan ketan dan beras milik Bu Martodiharjo di Coper, Kecamatan Jetis, cukup terkenal di Ponorogo terutama di wilayah timur.
Tidak seperti sekarang, zaman dulu jenang hanya ada dua jenis, yaitu jenang ketan dan jenang beras. Dicetak menggunakan cetakan kayu yang bentuk dan ukurannya sama persis dengan batu bata dan dibungkus menggunakan daun pisang.
Cara pembuatannya pun masih tradisional. Bahan beras dan ketan direndam kemudian ditumbuk untuk menghasilkan tepung, membutuhkan banyak tenaga dan waktu.
Kelapa harus diparut menggunakan tangan sebelum diperas menjadi santan. Dulu, orang mengolah jenang dengan cara mengaduk di wajan di atas tungku dengan bara api.
Tetapi lain dulu, lain sekarang. Di industri rumahan "Teguh Rahardjo" ini pekerjaan-pekerjaan berat yang dulu seluruhnya menggunakan tenaga manusia itu kini sebagian telah tergantikan mesin.
Setidaknya terdapat enam mesin pengaduk (mixer) dengan wajan masing-masing berdiameter sekitar satu meter. Hadirnya alat pengaduk modern seperti itu bukan saja mereduksi waktu dan tenaga kerja manusia, tapi juga meningkatkan kapasitas produksi cukup signifikan.
Dulu untuk mendapatkan tepung beras dan ketan harus dilakukan dengan cara merendam dan menumbuknya. Kini tepung beras maupun ketan sudah tersedia di toko.
Saat ini, pekerja juga tidak perlu lagi "mandi keringat" untuk mengolah jenang dengan mengaduk bahan di wajan dengan bara api di tungku karena telah tergantikan "mixer".
Lakukan Inovasi
Sri Harijati menuturkan, meskipun sejak kecil sudah membantu nenek dan orang tuanya membuat jenang, namun baru pada 1982 memulai usaha sendiri. Menggunakan merek dagang "Teguh Rahardjo" yang diambil dari nama suaminya, Teguh Rahardjo yang kala itu memiliki kios pracangan (kelotong) di pasar.
"Pada tahun 1981 nenek saya meninggal. Setahun kemudian, 1982 saya memberanikan membuat jenang sendiri. Waktu itu baru memproduksi tiga hingga lima kilogram beras dan ketan. Saya mempekerjakan dua orang untuk membuat tepung dan memarut kelapa," katanya mengisahkan perjalanan usahanya.
Rintisan usahanya terus menggeliat. Dua tahun sejak berdiri, pada 1984 dia memiliki empat tenaga kerja. Kemudian pada 1986, usahanya mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah.
"Pada tahun 1986 saya mendapatkan pembinaan dan bantuan modal dari pemerintah. Waktu itu dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Bagian Perekonomian Pemerintah Kabupaten Ponorogo," katanya.
Tidak hanya sampai di situ. Pada sekitar 1990, pemerintah mengajaknya studi banding ke Kudus dan Klaten di Jawa Tengah serta Garut di Jawa Barat dalam rangka menimba ilmu.
"Dari sanalah saya mulai mengenal aneka macam jenang atau dodol yang bukan hanya terbuat dari beras dan ketan. Ada dodol kentang, nanas, mangga, pisang dan banyak lagi," katanya.
Setelah melakukan studi banding itulah dia tahu bahwa jenang dan dodol itu sebenarnya sama. Hanya saja kebanyakan orang menyebut jenang yang dibungkus dalam ukuran kecil-kecil dan kemudian dimasukkan "pack" itu disebut dodol.
Agar bisa mengikuti perkembangan, dia pun mencoba berinovasi. Yang sebelumnya hanya memproduksi jenang ketan, jenang beras, madu mongso dan wajik, berani mencoba membuat dodol dari bahan selain beras dan ketan.
Inovasi yang dia lakukan membuahkan hasil. Sekarang sudah banyak jenis jenang atau dodol yang diproduksi. Sebut dodol kentang, waluh (labu kuning), mangga, nanas, sirsat, pisang, coklat kurma dan krasikan.
Namun dia masih tetap memproduksi jenang ketan, jenang beras, wajik dan madu mongso. Dalam rangka melestarikan makanan tradisional jenang khas Ponorogo, dia masih mempertahankan bentuk seperti batu bata.
Selain madu mongso, harga semua produk makanan olahan hasil produksi industri rumahan "Teguh Rahardjo" saat ini Rp17.500 per "pack" berisi sekitar tiga ons.
Sedangkan madu mongso dijual dengan harga Rp30.000 per `pack? isi tiga ons dengan alasan proses pembuatan lebih lama dan lebih rumit. Sementara itu untuk jenang beras dan ketan setiap kemasan berisi 500 gram dihargai Rp17.500 karena tidak memerlukan bungkus kecil-kecil dan kotak karton sehingga lebih hemat tenaga dan biaya pengemasan.
Industri rumahan itu kini terus berkembang. Pada hari Senin hingga Kamis, omzetnya rata-rata mencapai 500 "pack" per hari. Pada hari Jumat-Sabtu-Minggu ketika banyak orang berbelanja "oleh-oleh" omzet rata-rata naik menjadi 1.000 "pack" per hari. Selama Ramadan hingga Lebaran melonjak tajam, yaitu 5.000 "pack" per hari.
Teguh Rahardjo juga telah membuka cabang di Ruko Puri Keniten Ponorogo. Cabang yang saat ini merupakan satu-satunya itu dikelola oleh anak sulungnya, Lestari bersama Nanang, suaminya.
Selain itu, hasil produk jenangnya juga bisa dibeli di toko Taman Sari dan cabang-cabangnya di Madiun, Jawa Timur.
Dia juga melakukan pengembangan usaha dengan tak hanya menjual aneka jenang hasil produksinya. Namun juga membuat makanan olahan tradisional lainnya. Seperti keripik pisang, keripik gadung, rangginan dan lempeng.
Sebagian bahan keripik yang dijual hasil produksi sendiri. Namun ada juga yang membeli dalam bentuk mentah kemudian digoreng sebelum dikemas.
Kalau di etalase toko "Teguh Rahardjo" tersedia stik ubi ungu itu bukan produksi sendiri, tapi titipan dari orang lain. Itu merupakan salah satu bentuk diversifikasi usahanya. (*)
Video Oleh Siswo Widodo
Melongok Industri Rumahan Jenang "Teguh Rahardjo" di Ponorogo (Video)
Senin, 4 Juni 2018 0:34 WIB
Saya belajar membuat jenang dari nenek sejak kecil. Orang-orang memanggil nenek saya dengan sebutan Bu Martodihardjo. Jenang buatan nenek saya dulu sangat terkenal