Jakarta, (Antara) - Pengamat perkoperasian Suroto menilai jargon ekonomi kerakyatan dan keberpihakan pada koperasi dan UKM masih menjadi bahan kampanye yang paling laku untuk dijual dan ditawarkan kepada masyarakat di Indonesia.
"Di musim pilkada, pileg dan pilpres, politisi sangat gemar untuk mengkampanyekan jargon ekonomi rakyat dan koperasi. Tapi seperti biasa, pilkada selesai, nasib ekonomi rakyat dan koperasi tetap tak terperi," kata Suroto yang juga Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) itu di Jakarta, Kamis.
Ia mengamati setiap kali musim pesta demokrasi tiba, koperasi dan UKM banyak dijadikan primadona.
Para pelakunya ditawari bermacam janji, namun setelah tujuan politik tercapai umumnya nasib KUKM tidak beranjak berubah.
"Sudah berulang kali pilkada, pileg, dan pilpres. Tapi kondisi ekonomi masyarakat kita tetap didominasi ekonomi gurem. Sementara pengusaha-pengusaha besar justru semakin monopolistik," ujarnya.
Menurut dia, setiap orang memang sah-sah saja untuk menggunakan jargon apapun dalam kampanye politik asal tidak mengandung isu SARA.
"Persoalannya bukan di situ, tapi justru pada masyarakat konstituennya. Masyarakat kita masih mudah dibodohi. Mudah percaya pada orang yang tak punya rekam jejak sama sekali dalam membangun ekonomi kerakyatan. Masyarakat kita masih mudah termanipulasi oleh kekuatan elite politik dan jargon-jargonnya. Gestur politik kita tidak menggambarkan aspirasi masyarakat banyak yang masih lemah," tuturnya.
Suroto kemudian menyarankan untuk menghadapi musim kampanye saat ini hal terpenting agar masyarakat tidak terjebak pada siklus hubungan patron-klien yang melanggengkan kepentingan elite.
"Masyarakat harus mulai realistis untuk melihat partai pendukung kandidat mereka yang memang memiliki ideologi kerakyatan dan punya ketegasan dalam komitmen membangun demokrasi ekonomi, dan juga mampu membangun kemandirian partai dengan mobilisasi pendanaan secara 'croud funding'," tambahnya.(*)