Jakarta, (Antara) - Profesor Jurnalisme Universitas George Washington, Amerika Serikat, Janet Steele berpendapat bahwa jurnalis Indonesia jauh lebih beruntung daripada pekerja media di negara-negara Asia Tenggara lainnya karena telah memiliki Undang-Undang tentang Pers.
"Saya sudah pernah ke Singapura dan Brunei, walaupun teknologinya maju, tapi mereka masih dikontrol pemerintah, orang Indonesia sangat beruntung setelah Reformasi ada UU Pers dan Dewan Pers, pemerintah tidak bisa campur tangan, dan jika mungkin teknologinya kalah daripada di Singapura, tapi untuk pekerjaan jurnalistik lebih enak di sini," kata Profesor Steele kepada pewarta Antara di Jakarta, Sabtu.
Steele mengunjungi Indonesia dalam rangka penerbitan bukunya "Mediating Islam: Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim Asia Tenggara" yang ditulis berdasarkan penelitiannya terhadap tiga media di Indonesia dan dua di Malaysia yang digunakan sebagai sampel.
Menurut Profesor yang juga direktur Institute for Public Diplomacy and Global Communication itu, Undang-Undang No. 40 tentang Pers telah memberikan jaminan perlindungan kepada wartawan untuk melakukan tugas-tugas jurnalistik dan jika terjadi masalah, pihak mana pun termasuk pemerintah harus menyelesaikannya melalui Dewan Pers.
"Sementara pemerintah di negara maju seperti Singapura masih bisa campur tangan langsung terhadap suatu pemberitaan," kata dia.
Terkait dengan buku yang ditulisnya, Steele mengatakan sejak lama ia telah terusik dengan hubungan Islam dan praktik jurnalisme di negara-negara Muslim, dalam hal ini adalah di Asia Tenggara karena ia telah berkutat dengan kawasan tersebut selama hampir 20 tahun.
"Saya mau orang Barat mengerti bahwa media Asia yang dipengaruhi dengan ajaran Islam adalah media yang juga bagus, prinsip-prinsip jurnalismenya sama, di semua negara di dunia juga tahu prinsip jurnalisme yang baik. Mungkin pemerintah mereka otoriter, tapi mereka tahu prinsipnya, jadi apa yang beda mungkin budaya, sebagian besar budaya adalah Islam maka sangat masuk akal bahwa Islam akan memengaruhi praktik jurnalisme, dan bagi saya ini menarik dan penting," tuturnya.
Steele menghabiskan waktu lebih dari delapan tahun untuk meneliti kaitan Islam dan jurnalisme di tiga media di Indonesia, yakni Majalah "Sabili", Harian "Republika", Majalah "Tempo"; dan dua media Malaysia, yaitu "Harakah" dan "Malaysia Kini".
Peraih gelar doktor bidang sejarah dari Universitas John Hopkins, AS, tersebut mengatakan penelitian kualitatifnya dapat dilakukan dengan dilandasi rasa saling percaya, pertemanan, dengan sesekali ia menjadi pengajar dalam kelas jurnalisme di berbagai media, termasuk di Yayasan Pantau dan Koran Tempo.
Dalam rangka peluncuran bukunya di Indonesia, Profesor Steele juga telah memberikan kuliah umum di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatulloh Jakarta dan seminar di Pusat Kebudayaan Amerika Serikat di Jakarta "@america".
Buku "Mediating Islam: Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim Asia Tenggara" dalam bahasa Inggris diterbitkan oleh National University Press Singapura dan University of Washington Press Amerika Serikat.(*)