Situbondo (Antara Jatim) - Wakil Ketua Komisi II DPRD Situbondo, Hadi Prayitno mengemukakan Perusahaan Daerah Perkebunan Banongan membutuhkan penyertaan modal usaha dari pemerintah kabupaten.
"Laporan terakhir dari direktur baru Perusda Perkebunan Banongan di Desa Wringin, Kecamatan Asembagus kepada kami, menyampaikan bahwa modal usaha hasil kerja sama dengan dua pabrik gula (menyewakan kebun tebu) sudah habis membayar pajak dan utang gaji karyawan. Dan tersisa modal sekitar Rp30 juta," katanya di Situbondo, Jawa Timur, Sabtu.
Artinya, lanjut dia, ketika perusahaan daerah yang bergerak di bidang perkebunan tebu dan kelapa itu sudah tidak memiliki modal untuk biaya operasional, maka pemerintah kabupaten harus hadir memberikan penyertaan modal.
Penyertaan modal bagi suatu perusahaan, katanya, sangat penting agar supaya perusahaan milik pemerintah daerah itu dapat tumbuh dan berkembang dan menadi perusahaan mandiri.
"Siapapun direktur perusahaan jika tidak memiliki modal mandiri, tentunya setiap tahun akan terus-menerus utang atau kerja sama menyewakan lahan tebunya untuk bayar pajak dan gaji karyawan," ucapnya.
Politikus Partai Demokrat itu menjelaskan, prinsip ekonomi yang terlaporkan secara data ke Komisi II DPRD Situbondo bahwa Perusda Perkebunan Banongan tidak memiliki modal dan kondisi riil dan fakta sampai saat ini di neraca keuangan perusahan tidak ada modal.
"Kalau sekarang Perusda Perkebunan Banongan memiliki terobosan mengembangkan agrowisata dan wisata pantai itu sudah bagus, kendati perusahaan tidak memiliki modal mandiri," tuturnya.
Sebelumnya, Direktur Perusda Perkebunan Banongan Pemkab Situbondo Lailul Ilham mengatakan telah merevitalisasi perusahaan daerah itu dengan merombak manajemen guna menunjang PAD.
"Hampir semua komponen Perusda Banongan ini kami rombak, mulai dari manajemen keuangan, sumber daya alam maupun sumber daya manusia (SDA/SDM) dibenahi dari awal," katanya.
Ia mengatakan sejak dilantik menjadi direktur, dirinya harus menata dari awal untuk memulihkan kondisi perusahaan perkebunan tebu dan kelapa itu, yang bertahun-tahun mengalami kerugian.
Setelah menjabat direktur, katanya, ia juga harus membayar tunggakan pajak perusahaan selama tiga tahun yang mencapai sekitar Rp1,2 miliar dan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp900 juta setelah mendapatkan keringanan tax amnesty yang dibebankan oleh pengelola sebelumnya. (*)