"Saya Anti-Pancasila, Kamu Toghut".
Itulah kata-kata yang diucapkan pelaku teror saat menghunuskan pisau kepada anggota kepolisian dari kesatuan Brimob yang sedang Shalat Isya di Masjid Falatehan yang tak jauh dari Mabes Polri Jakarta, Jumat (30/6/2017) malam.
Bukan sekali itu saja teror terjadi. Rentetan teror sebelumnya juga terjadi di beberapa kota di Jawa Timur, di antaranya Gresik, Lamongan, Tuban, Ngawi, dan sebagainya.
Di Gresik, rumah Ketua DPD PAN Gresik, Khamsun, dilempari bom molotov, oleh orang tak dikenal pada Senin (20/3/2017).
Teror bom molotov itu menjadi perhatian khusus DPP PAN. Buktinya, Wakil Ketua Umum (Waketum) PAN, Viva Yoga Mauladi, menyempatkan diri mendatangi langsung kediaman Khamsun di Jalan Marabahan, Desa Suci, Kecamatan Manyar Gresik (23/3/2017).
Politis?! "Apakah motif politik atau motif yang lain, kami sangat percaya kepada pihak aparat untuk mengungkap kejadian ini," ungkap Anggota Komisi IV DPR RI itu.
Lain halnya di Tuban. Pos Polisi di Tuban, Jawa Timur yang menjadi sasaran atau serangan dari terduga teroris dengan melepas tembakan ke arah polisi yang berjaga di pos itu pada Sabtu (8/4/2017) sekitar pukul 10.00 WIB.
Penyerangan Pos Polisi itu diduga terkait peristiwa sehari sebelumnya (7/4/2017), yakni penangkapan terduga teroris di Lamongan, Jawa Timur.
Polisi menangkap Zainal Anshori yang disebut berperan dalam penyediaan senjata untuk peristiwa Bom Thamrin Jakarta pada tahun 2016. Zainal juga menjabat sebagai Amir Jamaah Anshar Daulah, kelompok yang sudah membaiat diri kepada ISIS.
"Untuk perencanaan penembakan terhadap Pos Lantas Resor Tuban yang berada di Jalan Raya Tuban - Semarang merupakan perintah dari Zainal Anshori, apabila dirinya ditangkap," kata Karopenmas Divhumas Polri, Brigjen Rikwanto, dalam keterangan tertulis (9/4).
Para pelaku akhirnya tertangkap di area persawahan Kecamatan Jenu, Tuban pada pukul 17.00 WIB. Enam orang terduga teroris tewas dalam kontak senjata dengan polisi.
Empat dari enam orang yang tewas itu diketahui bernama Adi Handoko, Satria Aditama, Yudhistira Rostriprayogi, dan Endar Prasetyo, sedangkan dua orang lainnya belum diketahui identitasnya.
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di kota, kabupaten, provinsi, atau bahkan negara lain.
Ukhuwah (non) Islamiyah
Serentetan teror yang terjadi di Jakarta, Jatim, dan kawasan lainnya itu agaknya membuktikan teror itu bukan bersifat ideologis lagi seperti yang tercakup dalam kata "jihad".
Hal itu karena target sasarannya sudah meluas yakni aparat penegak hukum, politikus, dan kalangan-kalangan lain yang memiliki agama yang sama dengan terduga teroris itu.
Target di luar "khittah" dari pelaku teroris yang bukan dialamatkan kepada para penentang agama, melainkan kepada mereka yang "berbeda" pandangan ansich itu membuktikan terorisme bisa datang dari berbagai penjuru tanpa pandang bulu.
Dalam tulisannya pada republika-online berjudul "Jalan Terjal Umat Islam" (17/7/2015), Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir menegaskan bahwa umat Islam secara normatif itu satu, tapi secara entitas belum menyatu, karena Ukhuwah Islamiyah hanya didengungkan secara lisan, tulisan, dan seminar.
"Kendala Ukhuwah justru berada pada internal umat Islam sendiri, karena faktor kepentingan golongan atau kelompok sendiri yang menguat. Demi kue kekuasaan sendiri, sesama komponen Islam saling menegasikan, meminggirkan, dan menjatuhkan," katanya.
Menurut dia, hal itu membuat Ukhuwah Islamiyah hanya menjadi jargon atau ujaran semata, karena praktiknya cukup sulit.
Hal itu juga membuktikan bahwa Ukhuwah Islamiyah sulit diwujudkan karena ukhuwah yang dijalin bukan kepentingan (kebaikan) agama, melainkan kepentingan non-Islamiyah, seperti politik, kekuasaan, ekonomi, dan sebagainya.
Atas nama kepentingan non-Islamiyah itulah, Abdullah bin Ubay bin Salul memisahkan diri dari barisan umat Islam saat Perang Uhud hingga umat Islam pun kalah, atau sebagaimana Ibnu Muljam yang hafidz tapi akhirnya menjadi "algojo" yang menebas leher Sahabat Ali bin Abi Thalib.
Karena aksi teror yang boleh dibilang "ngawur" atau bukan ideologis lagi, meski dengan jargon-jargon Qurani, maka aparat penegak hukum dan pemerintah pun memperluas antisipasi, termasuk dengan memblokir sejumlah infrastruktur media sosial, di antaranya Telegram.
Menkominfo Rudiantara menyebut pemblokiran Telegram dan mungkin jejaring media sosial lainnya itu bukan tanpa alasan, namun hal itu akibat para teroris sudah "kampanye" di dunia maya, termasuk sosialisasi perakitan bom lewat media sosial.
Ketika melakukan "kampanye" lewat Facebook diblokir, maka para pelaku bergeser ke Twitter. Ketika Twitter diblokir, maka mereka pun bergeser lagi... hingga akhirnya terdeteksi lewat jejaring Telegram.
Begitulah seterusnya. Namun, aparat penegak hukum atau pemerintah juga perlu merespons pandangan negatif atas langkah pemblokiran media sosial itu, karena terorisme memang sudah bukan ideologis lagi, sehingga respons apapun dari aparat penegak hukum atau pemerintah pun bisa dipolitisasi.
Hanya ada satu cara, yakni aparat penegak hukum atau pemerintah juga perlu memberi penjelasan terbuka atas langkah-langkah yang diambil bila langkah itu menyentuh ranah publik. Hanya itu. (*)