Daffa mengaku berangkat ke Tiongkok bersama 24 pelajar lainnya se-Indonesia. Sementara, Jatim terdapat sembilan anak. Pesertanya dari empat negara, yaitu Tiongkok, Pilipina, Thailand dan Indonesia.
"Peserta dari Indonesia ada 24 orang itu kelas 2 (SD)-8 (SMP). Saat lomba, pesertanya sampai 500 anak," katanya di Kediri, Jumat.
Sebelum mengikuti kompetisi, ia dengan teman-temannya diberi pembekalan pada 14-19 Mei di Bogor. Di tempat tersebut, seluruh peserta juga mendapatkan bimbingan mengerjakan beragam soal matematika.
Setelahnya, ia dengan teman-teman lainnya berangkat ke Tiongkok. Di tempat tersebut, ia tidak didampingi orangtuanya, hanya teman-teman serta pendamping.
"Di sana setelah sampai istirahat, lomba, seremonial dan pulang. Lombanya terdiri dari angka dan uraian," katanya.
Anak dari pasangan suami istri Haidar (54) dan Hanifah (54) itu mengaku saat mengerjakan ujian sempat tidak menemukan jawaban dari dua pertanyaan, sehingga tidak dikerjakan. Ia pun pasrah dengan hasil akhir.
Daffa mengaku awalnya menargetkan bisa mendapatkan medali perunggu. Saat pengumuman, yang berhak mendapatkan medali itu ia sempat hendak menangis karena namanya tidak disebut.
"Saat pembacaan yang berhasil mendapatkan medali perak, sempat tidak sadar nama saya disebut. Justru teman-teman yang memberi tahu jika nama saya disebut. Seketika mau menangis, senang," kata pelajar kelas lima sekolah dasar ini.
Ia mengaku sangat senang dengan capaian tersebut. Terlebih lagi, pesertanya juga sangat banyak, ada 500 anak. Dari teman-temannya asal Indonesia yang mengikuti kompetisi, 11 anak mendapatkan medali emas, lima medali perak, empat medali perunggu dan empat merit (sertifikat).
Sementara itu, Hanifah (54), ibunda dari Daffa mengemukakan putranya itu memang awalnya bergabung dengan klinik pendidikan MIPA di Surabaya.
Putranya mendapatkan rekomendasi untuk ikut lomba. Ia pun tidak menyangka, sebab sebelumnya telah gagal ikut kompetisi OSN 2017 di Jatim.
"Kami selalu memberikan dukungan. Daffa juga sering ikut kompetisi, bahkan gagal," katanya.
Ia pun mendorong agar putranya belajar yang disukai, termasuk menjadikan "Teman dekat" pelajaran itu. Awalnya, putranya ikut kompetisi Bahasa Inggris, dan menang di beberapa lomba, tapi kemudian ia memilih matematika.
Untuk belajar, ia mengatakan suaminya juga aktif memberikan latihan dengan membelikan buku-buku matematika.
"Setiap hari minimal mengerjakan 5-10 soal matematika. Kalau belajar kadangkala didampingi," katanya.
Selain itu, di sekolah, SD Rahmat Kediri, putranya juga ikut klub MIPA. Pembelajaran juga dilakukan dengan daring dan tatap muka dengan guru pendamping di sekolah.
Setiap Rabu dan Minggu, diberikan soal lewat daring dan dikerjakan di rumah. Hasilnya, nanti dilaporkan ke guru lewat daring pula. Sementara itu, untuk tatap muka dilakukan Jumat dan Sabtu.
Perempuan yang juga seorang dokter ini menyebut di klub itu juga sangat membantu latihan anak. Namun, ia pun tidak ingin memaksa anak pertamanya itu terus belajar. Jika lelah, ia membiarkannya untuk bermain.
Penghargaan ini, kata dia, adalah yang kedua didapat dalam kompetisi tingkat internasional. Sebelumya, putranya telah mengikuti kompetisi "International Mathematics Science Olympiad" (IMSO) 2016 di Tangerang dan berhasil mendapatkan penghargaan. Sementara, untuk penghargaan dalam kompetisi tingkat lokal dan nasional, juga sudah beberapa kali didapat.
Dalam waktu dekat, putranya juga akan mengikuti kompetisi Matematika di Australia pada Juli 2017. Ia pun berharap, ke depan juga membawa hasil yang baik.
Sementara itu, Bagian Hubungan Masyarakat SD Rahmat Kediri Luci Apriliasari mengaku dari sekolah sangat bangga dengan prestasi yang didapat anak didiknya.
"Kami bangga dengan prestasi anak didik kami. Dari sekolah pun juga mendukung, misalnya dengan adanya klub matematika," kata Luci. (*)