Masyarakat seperti sudah hafal jika Desember, Januari dan Februari merupakan bulan-bulan yang curah hujannya tinggi. Bahkan, bulan-bulan ini sering dalam "jarwa dhosok" atau kerata basa Bahasa Jawa merupakan bulan yang memiliki arti tersendiri.
Desember adalah gedhe-gedhene sumber. Artinya, pada bulan ini biasanya curah hujan tinggi. Demikian juga dengan Januari, karena Januari mengandung maksud hujan sehari-hari.
Sementara itu, Februari atau terkadang dibaca Pebruari adalah penuh hujan berhari-hari. Dengan demikian, tiga bulan tersebut merupakan bulan yang curah hujannya sangat tinggi ketimbang bulan-bulan lainnya.
Meski ungkapan yang disampaikan masyarakat tersebut terkesan "gothak-gathuk mathuk" dan hanya berdasarkan ilmu "titen" atau menandai dari kebiasaan yang terjadi di sekitarnya, tapi ungkapan tersebut diakui kebenarannya oleh jajaran Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Prakirawan BMKG Maritim Tanjung Perak Eko Prasetyo menyatakan bahwa dalam 30 tahun terakhir memang menunjukkan curah hujan pada bulan Desember, Januari dan Februari jauh lebih tinggi dibandingkan bulan lainnya.
Curah hujan pada tiga bulan di akhir dan awal tahun tersebut rata-rata berkisar 250 - 350 milimeter (mm). Curah hujan sebesar itu merupakan curah hujan yang tergolong normal di bulan tersebut, tapi jauh di atas normal jika dibandingkan bulan lainnya.
Bulan Januari segera berganti. Bulan Februari telah menanti. Bulan-bulan yang diprakirakan curah hujannya tinggi, masih akan terjadi. Curah hujan di bulan Februari diyakini tidak jauh berbeda dengan curah hujan pada Desember maupun Januari yang tinggi.
Untuk itu, jajaran BMKG se-Jatim mengadakan pertemuan antar-Unit Pelaksana Teknis se-Jatim di Surabaya pada akhir Januari guna membahas tentang prospek cuaca pada bulan Februari-Maret 2017.
Cuaca dan curah hujan di berbagai wilayah di Jatim pada Fabruari-Maret diprakirakan masih dalam batas normal. Kendati demikian, tetap harus diwaspadai adanya potensi terjadinya bencana, khususnya banjir dan tanah longsor. Curah hujan yang relatif normal bisa berpeluang menimbulkan longsor atau banjir jika daya dukung lingkungannya tidak memadai atau terdegradasi.
Sejumlah daerah di Jatim belakangan ini telah merasakan dampak curah hujan tinggi di antaranya di sejumlah tempat di Jember, di kawasan pantai utara Situbondo, Pamekasan, Pasuruan, dan longsor di Madiun.
Jadi, potensi banjir dan tanah longsor hingga kini masih mengancam wilayah Jatim. Sebab, curah hujan tinggi tampaknya masih berpeluang terjadi di berbagai daerah ini.
Jajaran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jatim memang sudah berupaya menurunkan indeks risiko bencana (IRB) dengan melakukan berbagai langkah sehingga menghindarkan daerah dari bahaya bencana alam di daerah ini.
Langkah itu di antaranya pengembangan desa atau kelurahan tangguh bencana, pembentukan forum pengurangan risiko bencana, optimalisasi peran relawan pada pra bencana dan tanggap darurat, serta penerapan sekolah atau madrasah aman bencana.
Sedangkan bencana yang diantisipasi seperti banjir, kekeringan, longsor, gelombang ekstrem (abrasi dan gelombang pasang), serta cuaca ekstrem (puting beliung).
Bahkan BPBD Jatim, sejak 2012 juga telah memasang 64 ekstensometer atau alat pendeteksi dini bencana tanah longsor di titik-titik yang dianggap rawan untuk mengantisipasi longsor sekaligus menjadi upaya mitigasi mengurangi risiko jatuhnya korban.
Ekstensometer ini dipasang di 22 kabupaten/kota di Jatim, terutama daerah rawan terjadi longsor, seperti di Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Pacitan Kabupaten Bondowoso, Kota Batu, Kabupaten Kediri, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten pasuruan, Kabupaten Tulungagung dan beberapa daerah lain.
Sementara itu, berdasarkan data BPBD sebanyak 30 kabupaten/kota di Jatim masuk dalam wilayah risiko bencana. Bahkan, delapan di antaranya termasuk yang berisiko tinggi.
Langkah antisipatif memang perlu dan bahkan harus dilakukan. Namun, tumbuhnya kesadaran masyarakat mengenai arti pentingnya lingkungan yang baik, lestari dan berkelanjutan barangkali jauh lebih penting. Daya dukung lingkungan harus tetap terjaga atas kesadaran penuh agar mampu menghadapi perubahan yang terjadi. Marilah terus kita tumbuhkan kesadaran menjaga lingkungan agar tetap lestari. (*)