Surabaya (Antara Jatim) - Ahli Hukum Bidang "Law and Development Studies" pada Universitas Nagoya, Jepang, Prof Yuzuru Shimada PhD mengapresiasi penyederhanaan perizinan yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Perbaikan hukum administrasi seperti penyederhanaan perizinan itu bagus dan penting, karena banyaknya hukum justru menjadi (peluang) banyak korupsi," katanya dalam Kuliah Tamu di Universitas Narotama Surabaya, Selasa.
Ahli Hukum Indonesia yang menempuh studi S3 di UGM Yogyakarta (1997-1998) itu menjelaskan, penegakan hukum di Indonesia sebenarnya masih lemah, namun hal itu sebenarnya bukan hanya tantangan bagi Indonesia.
"Rendahnya penegakan hukum itu di Indonesia disebabkan aparat penegak hukum dan kalangan birokrasi yang kurang profesional, padahal regulasi (peraturan hukum) di Indonesia cukup lengkap," ucapnya.
Namun, kata Guru Besar Hukum Tata Negara itu, banyaknya peraturan di tengah rendahnya profesionalisme aparat penegak hukum dan pegawai atau pejabat pemerintah justru membuat makin banyaknya peluang korupsi.
"Itu karena orang bisa memilih peraturan yang mau dipakai, sehingga peluang korupsi itu ada. Untuk itu tidak bisa diatasi dengan sekadar mengganti pejabat, karena hal itu justru akan menjadi masalah baru," tukasnya.
Oleh karena itu, ia mengapresiasi kebijakan Presiden Jokowi yang melakukan penyederhanaan perizinan. "Itu (kebijakan) luar biasa, karena masyarakat tidak akan bingung, peluang korupsi juga dapat dikurangi, dan investor pun tidak ragu," imbuhnya.
Di sela kuliah tamu yang berlangsung selama empat hari (16-19/5) itu, Ketua Pusat Studi ASEAN Universitas Narotama Surabaya Rinda Amalia SH MH mengatakan kuliah tamu itu disampaikan dalam empat bagian selama empat hari.
"Bagian pertama akan bercerita tentang sejarah hukum, bagian kedua tentang upaya menggali hukum, ketiga tentang hukum terkait ekonomi kreatif, dan keempat tentang hukum perpajakan," katanya.
Tentang kuliah tamu yang membandingkan hukum Indonesia dengan hukum Jepang itu, ia mengatakan hukum di Jepang patut menjadi contoh, karena hukum di Jepang tetap mengikuti globalisasi tapi tradisi hukum tetap dijaga.
"Itu berbeda dengan hukum kita yang justru tergerus arus globalisasi, seperti UU Ketenagakerjaan yang justru memosisikan karyawan sebagai buruh yang diikat dengan kontrak. Itu tidak sesuai dengan budaya kita yang memanusiakan siapapun," ujarnya.
Oleh karena itu, ia berharap Prof Yuzuru Shimada mendorong mahasiswa Universitas Narotama untuk menerapkan nasionalisme hukum sesuai dengan tradisi tanpa meninggalkan globalisasi dalam berbagai bidang.
"Indonesia dan Jepang itu sama-sama menganut Civil Law, karena itu keduanya dapat saling belajar. Misalnya kita memiliki kelemahan dalam penegakan hukum, maka kita bisa belajar pada Jepang, namun tetap pro-patria (cinta Tanah Air)," tambahnya. (*)