Darurat kekeringan, itulah yang kini dialami Jawa Timur. Keadaan yang menuntut perhatian, sikap kehati-hatian, segera dan menyeluruh agar tidak menimbulkan dampak yang lebih parah dan masif.
Jika mengacu pada arti yang ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka kata darurat memiliki makna suatu keadaan sukar atau sulit yang tidak tersangka-sangka yang memerlukan penanggulangan segera.
Sedangkan kekeringan yang berasal dari kata kering adalah keadaan yang bersifat kering, tidak berair lagi, tidak basah lagi, atau peristiwa alam berupa penyimpangan iklim yang sifatnya sewaktu-waktu bisa terjadi apabila curah hujan berada di bawah normal.
Jadi, darurat kekeringan adalah keadaan sulit yang dialami masyarakat akibat terdampak kekeringan, sehingga memerlukan perhatian sungguh-sungguh dari semua pihak, khususnya pemerintah, untuk menanggulanginya agar tidak menimbulkan kesulitan yang lebih besar.
Sementara itu, jika melihat peta kekeringan yang dirilis BMKG Karangploso dalam dasarian, wilayah Jawa Timur sebagian besar di antaranya berupa titik merah. Artinya, sebagian besar wilayah tersebut sudah lebih dari 60 hari tanpa hujan. Kategori wilayah seperti ini masuk daerah yang mengalami kekeringan ekstrem.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur hingga akhir Agustus saja mencatat sudah terdapat 398 desa terdampak kekeringan. Bahkan, ada 541 desa di 24 kabupaten/kota berpotensi terdampak kekeringan, lebih luas dari 21 kabupaten/kota pada 2014.
Kekeringan tersebut menyulitkan warga memperoleh pasokan air bersih untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pasokan atau "dropping" air bersih tentu sangat diharapkan masyarakat. Kekurangan pasokan air bersih dampaknya bisa lebih luas, yakni kepada masalah kesehatan masyarakat.
Bahkan, kekeringan juga menyebabkan petani tidak mudah memperoleh aliran air untuk irigasi lahan pertaniannya. Dampak lanjutannya, lahan pertanian tidak bisa menghasilkan, puso, pasokan kebutuhan pokok ke pasar berkurang, harga cenderung melonjak, dan inflasi pun tidak bisa dibendung.
Kekeringan yang melanda Jawa Timur ini masih diperparah dengan kemarau panjang dampak El Nino serta terjadinya pergerakan semu matahari dari belahan bumi utara ke belahan bumi selatan yang menimbulkan pemanasan maksimal hingga mencapai 36 derajat Celcius, jauh di atas kondisi normal.
Kondisi kering ini tampaknya juga menjadi pemicu terjadinya kebakaran hutan di sejumlah kawasan di provinsi di ujung timur Pulau Jawa ini. Kebakaran hutan di Gunung Lemongan, Lumajang, kebakaran hutan di Gunung Lawu dan sekitarnya (Ds), kebakaran hutan di kawasan Gunung Ijen, kebakaran hutan di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, kebakaran di Gunung Penanggungan dan belakangan juga menimpa kawasan Pegunungan Argopuro.
Berdasarkan catatan BMKG, titik kebakaran di wilayah Jatim mencakup 20 kecamatan yang tersebar di 11 kabupaten, yakni Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, Jember, Probolinggo, Pasuruan, Malang, Nganjuk, Ngawi dan Magetan.
Kebakaran hutan tidak hanya melahap puluhan hektare atau bahkan ratusan hektare lahan, tetapi juga menelan korban jiwa. Sebanyak tujuh pendaki Gunung Lawu Ds tewas akibat terjebak dalam kebakaran hutan di kawasan ini.
Hutan yang kering sangat mudah terbakar. Menyalakan api unggun, mencari madu dengan membakar seuatu untuk menghasilkan asap pengusir lebah, bahkan kecerobohan membuang puntung rokok secara sembarangan, dapat menjadi penyebab terbakarnya hutan.
Merespons kondisi ini, Pemerintah Provinsi Jawa Timur memang telah menetapkan Provinsi Jawa Timur dalam status tanggap darurat kekeringan. Tanggap darurat kekeringan awalnya diberlakukan mulai 1 Juli hingga 31 Oktober 2015, namun kemudian diperpanjang hingga 1 Desember 2015.
Perpanjangan status tanggap darurat kekeringan itu dilakukan setelah musim hujan tak kunjung datang. Apalagi, menurut prakiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Juanda, Jawa Timur baru akan masuk awal musim hujan akhir November. Selain itu, pergerakan semua matahari juga berdampak terhadap terjadinya pemanasan maksimal.
Respons Pemerintah Provinsi Jawa Timur tersebut patut mendapat apresiasi. Namun, respons sesaat tentu tidak akan bisa menyelesaikan masalah kekeringan yang hampir terjadi setiap tahun.
Masalah kekeringan, menurut para pakar, tidak hanya disebabkan masalah global seperti halnya El Nino, tapi bisa jadi juga karena ulah manusia sehingga terjadi degradasi kualitas lingkungan. Tingkat kekeringan yang sama, tapi dihadapi dengan kualitas lingkungan yang menurun, maka dampaknya juga akan berbeda.
Jadi, dampak kekeringan hanya bisa diatasi dengan terus berusaha meningkatkan kualitas lingkungan. Daya dukung lingkungan yang baik, diharapkan dapat menjadi solusi terjadinya kekeringan yang berdampak sulitnya mata air. Lingkungan yang baik bahkan juga menjadi penyelesaian saat menghadapi musim hujan yang terkadang rawan banjir dan tanah longsor.
Untuk mewujudkan semua itu, kuncinya adalah kesadaran semua pihak. Pemerintah terus menggalakkan program perbaikan lingkungan dan penegakan hukum lingkungan. Sedangkan masyarakat, sadar akan perannya untuk terus menjaga kualitas lingkungan yang baik dan lestari. Gerakan bersama, simultan, dan terus menerus, tampaknya akan mampu mewujudkan alam yang asri, nyaman dan lestari. Semoga (*)