Rieke Dukung Pembubaran PHI
Selasa, 12 Mei 2015 11:08 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Anggota Komisi IX DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, mendukung aspirasi buruh di Jawa Timur untuk membubarkan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan mengganti dengan sistem baru yang berkeadilan sosial.
\"Kami akan mendorong revisi UU 2/2004 dapat diselesaikan akhir tahun 2015 sehingga dalam menghadapi MEA sudah mempunyai produk legislasi dengan skema perlindungan pekerja/buruh yang lebih baik, sekaligus memperkuat industrialisasi nasional melalui perbaikan sistem dan mekanisme penyelesaian perselisihan yang berkeadilan sosial, cepat, mudah dan murah,\" katanya di Surabaya, Selasa, menanggapi aspirasi serikat buruh atau serikat pekerja di Jawa Timur saat \'May Day\' (Hari Buruh) 2015.
Tuntutan utama buruh/pekerja dalam aksi Mayday 2015 di Jawa Timur adalah pembubaran Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang dibentuk melalui UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Menurut buruh Jawa Timur, sistem PPHI sudah seperti kolonialis kapitalis sehingga mereka lebih memilih jalan mogok dan aksi, karena negara tidak lagi melindungi buruh.
Mereka menilai sistem PHI tidak memberikan keadilan dan lebih memihak pengusaha seperti dalam kasus PHK yang 90 persen putusan bukan mempekerjakan kembali tetapi memecat dengan pesangon.
Dalam kasus kontrak (outsourcing), putusan PHI tidak mengangkat menjadi karyawan tetap tetapi malah memecat. Selain itu, PHI juga berbiaya tinggi (mahal) dan ketentuan hukum acara perdatanya amat menyulitkan buruh.
Biaya tinggi terjadi akibat proses persidangan yang berkepanjangan hingga 10 kali sidang, seperti buruh/pekerja dari Banyuwangi yang harus setiap minggu ke PHI Surabaya.
Untuk upaya hukum kasasi dan PK ke MA juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi jika perlu eksekusi, maka diperlukan biaya mulai Rp6 juta hingga Rp35 juta.
Tidak hanya itu, proses hukum yang berjalan rata-rata memakan waktu yang lama hingga 3-5 tahun, bahkan ada kasus dengan proses hukum sampai tujuh tahun hingga 30 buruhnya meninggal tapi kasus belum selesai.
Dalam konteks PPHI, negara hanya memfasilitasi arena (PHI) agar buruh dan pengusaha bertarung dalam proses yang sejalan mekanisme pasar, sehingga sistem PPHI dalam tataran implementasi semakin menjauhkan buruh/pekerja dari akses keadilan akibat posisi lemah.
Keberadaan PHI pun memperlemah kewenangan Dinas Tenaga Kerja sebagai mediator dan pengawas Ketenagakerjaan. Sejak ada PHI, Disnaker tidak lagi memiliki posisi kuat dalam membela kepentingan buruh. (*)