Tulungagung (Antara Jatim) - Minimnya kepedulian masyarakat dalam pelestarian berbagai benda dan situs bersejarah peninggalan masa lampau ditengarai sebagai penyebab utama rusak dan terbengkalainya ratusan cagar budaya di Tulungagung, kata seorang pengamat. "Terlalu banyak mereka yang (sebenarnya) ahli sejarah, tapi tidak peduli dengan kekayaan budaya dan sejarah daerahnya sendiri," ucap Ketua Komunitas Peduli Peninggalan Majapahit dan Kediri di Tulungagung Bambang Eko Ariadi di Tulungagung, Minggu. Pernyataan yang dimaksud Bambang mengarah pada kalangan sarjana atau bahkan master jebolan ilmu sejarah asal Tulungagung yang tidak mau kembali ke Tulungagung. Sebagian besar dari lulusan program sarjana/pascasarjana ilmu sejarah itu, kata Bambang, malah lebih memilih "banting setir" dengan melamar bidang pekerjaan di luar keilmuan yang ditekuni selama di bangku kuliah. "Tidak usah menunggu program pemerintah. Kalau para ahli sejarah yang jumlahnya ratusan atau bahkan telah ribuan itu mau peduli dalam menjaga dan melestarikan situs-situs arkeologi daerahnya, tentu kekayaan cagar budaya itu potensi wisata dan laboratorium pendidikan yang luar biasa," katanya. Selain itu, lanjut Bambang, upaya pengembangan kawasan wisata arkeologi juga akan berkembang. Syaratnya, kata dia, setiap ahli sejarah secara individu ataupun berkelompok mau membuat konsep penataan kawasan yang memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar. "Itu bisa dilakukan jika para ahli mampu mengeksplorasi kearifan lokal di setiap lingkungan area cagar budaya yang ada, karena saya yakin masing-masing memiliki kekhasan sendiri," ujarnya. Data resmi yang dikeluarkan Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan, sejak Museum Wajakensis di Boyolangu berdiri pada 1996 hingga sekarang, sudah ada sedikitnya 300-an benda cagar budaya yang telah teregistrasi. Namun dari jumlah sebanyak itu, menurut keterangan Koordinator Wilayah Juru Pelihara BPCB Trowulan Tulungagung-Trenggalek, Hariyadi, hanya 15 situs yang dikelola langsung oleh lembaganya. "Benda, situs ataupun kawasan cagar budaya yang tidak dikelola langsung oleh BPCB secara otomatis menjadi kewenangan (pemerintah) daerah," ujarnya. Ia mengatakan, pada saat pendirian museum wajakensis yang menjadi sentra penyimpanan sebagian benda cagar budaya daerah, seluruh situs dan artefak budaya yang pernah ditemukan telah diinventarisasi. Hasilnya, lanjut Hariyadi, ada lebih dari 300 benda/situs yang terverifikasi. Namun dari jumlah itu, hanya sebagian kecil yang telah dikelola dengan baik. (*)
Pengamat: Kekayaan Arkeologi Terbengkalai karena Masyarakat Abai
Minggu, 3 Mei 2015 18:40 WIB