"Anak saya ini tidak pernah kemana-mana. Pulang sekolah langsung masuk kamarnya, tidak keluar-keluar. Bagaimana mungkin anak saya melakukan seperti yang bapak sampaikan?" Begitu jawaban seorang bapak di sebuah desa ketika seorang guru mendatangi rumahnya. Kalimat si bapak itu sudah saya rekonstruksi dari sisi kaedah dan keindahan bahasa, namun sedikitpun tidak membuang makna sesungguhnya. Si bapak baru percaya dan tentu saja terperanjat setelah guru itu menunjukkan bukti bahwa anaknya telah melakukan hal yang tidak patut. Si bapak tak berkutik. Dengan amarah tertahan dan rasa malu, ia menutup muka dan setengah mendesus. Lalu kedua tangannya ditangkupkan ke dada dan digerakkan layaknya mengusap. Berulang-ulang. Kemudian terucap semacam mantra tanya, "kok bisa ya?" Berkali-kali pula. Adegan ini adalah nyata dan tidak penting di mana lokasinya. Boleh jadi kasus serupa ada atau akan ada di tempat kita tinggal. Cerita di atas membawa pesan bahwa masyarakat desa, dengan tingkat pengetahuan orang tua yang kurang memadai, menghadapi persoalan serius dengan anak-anaknya. Ada kesenjangan luar biasa antara anak dengan orang tua. Anak dengan akses internet sudah melanglang kemana-mana, orang tua masih di situ-situ saja. Kadang orang tua terlalu asyik dengan tontonan lakon-lakon tidak mendidik di televisi-televisi yang serialnya meliuk-liuk seolah tidak ada akhir. Tontonan yang hanya berisi pertengkaran dan kenikmatan instan serta dibumbui percintaan yang menyimpang dari rasa keindonesiaan itu menjadi pelabuhan penat bagi masyarakat setelah seharian bekerja di sawah. Mereka sudah merasa tenang dengan perilaku anaknya yang "tidak mungkin berbuat macam-macam", karena sudah berpagar kamar rumah. Kita perhatikan kata kunci kalimat bapak di atas bahwa anaknya tidak kemana-mana dan berkutat di kamar. Si orang tua tidak pernah tahu apa yang dilihat anaknya lewat internet. Tentang percintaan di luar batas, lewat tulisan, lebih-lebih gambar bergerak yang sangat mudah menelusup ke kamar-kamar, di pelosok desa sekalipun. Kalau masyarakat desa saat ini masih berkutat dengan kemiskinan, sejatinya mereka juga sedang dikepung bermacam-macam "pemangsa", mulai dari narkoba dan tontonan negatif yang memaksa pematangan libido anak-anak melebihi kecepatan kendaraan patas. Jika ahli strategi perang Mao Tse Tung pernah menelorkan teori "desa mengepung kota", maka di negeri kita sebaliknya. "Kota" (dalam arti perkembangan teknologi informasi dan nilai-nilai) kini mengepung desa. Bersamaan dengan itu, para orang tua, khususnya di desa, masih nyaman dengan pengetahuan warisan dalam mendidik anak-anaknya dengan mengedepankan prinsip "bagaimana si anak takut dan nurut". Padahal, psikologi parenting mengingatkan bahwa anak memerlukan partner untuk bertumbuh secara baik di tengah gempuran informasi. Ibarat kolam, ketika beragam informasi sudah masuk, anak memerlukan saluran untuk pencurahan, termasuk urusan rasa senang pada lawan jenis. Kalau itu tidak ditemukan pada diri orang tua, maka beban perkembangan jiwa itu akan mengalir ke selokan yang salah. Orang tua hanya bisa terkaget-kaget ketika tahu-tahu anaknya terlibat narkoba atau kasus asusila yang menampar wajah keluarga. Harapan kita tentu semoga bisa menjadi orang tua sekaligus sahabat bagi anak-anak. Tentang beban masyarakat desa, seorang "kiai kampung" yang kiprahnya tidak mau terkontaminasi oleh politik, juga memiliki kegalauan yang sama persis. Kiai yang bahkan untuk difoto saja tidak sembarangan mau, karena khawatir digunakan untuk kepentingan politik, justru melihat orang kota memiliki kesadaran lebih tinggi mengenai ancaman dari derasnya informasi ini. Orang kota yang relatif mengikuti perkembangan informasi dari dua arah (positif dan negatif) sudah lebih dahulu mempersiapkan diri dalam mengantar anak-anaknya menapaki fase-fase perkembangan, baik fisik maupun mental. Mereka kemudian menempatkan diri menjadi teman yang nyaman bagi anak-anaknya untuk bicara apa saja. Kembali ke istilah desa. Desa dimaksud bisa diartikan bukan sekadar batas administratif, melainkan juga substansi. Artinya, desa bisa berpengertian tertinggalnya pengetahuan. Karena itu tidak sedikit juga orang yang tinggal di desa, namun sudah memiliki pengetahuan sehingga muncul kesadaran untuk membesarkan anaknya menjadi "tangguh". Sebaliknya, juga ada masyarakat di kota yang posisi pengatahuan dan sikapnya sama dengan si bapak yang diceritakan di awal tulisan ini. Bahkan yang kini sedang marak adalah kasus begal juga menunjukkan fakta mengejutkan yang ujungnya kembali kepada bagaimana orang tua harus efektif mendampingi anaknya. Ada pelaku begal yang melakukan aksinya bukan karena harta, melainkan sebagai "hiburan". Mereka mengalami disorientasi mengenai kepuasan. Puas melihat orang lain menderita dan terkapar. Meskipun bukan satu-satunya, patut diduga, pengaruh game dengan permainan kekerasan telah menjebak anak-anak itu untuk mendapatkan kenikmatan dengan perilaku sadis. Lagi-lagi hal ini terjadi karena pengetahuan orang tua yang terbatas mengenai dampak permainan yang tumbuh di era teknologi informasi ini. Tidak ada salahnya juga jika saya ceritakan kasus lain. Suatu ketika ada perempuan, anak tunggal seorang tokoh, yang menggegerkan jagad mikro keluarganya. Dengan berbekal penasaran dan hasrat membantu si orang tua, saya mendatanginya. Sekadar memberikan dukungan dan empati atas masalah yang dihadapi. Saya mendapatkan cerita bahwa si tokoh dan istrinya telah merasa maksimal menemani si anak bersampan mengarungi samudera hidup. Usaha lahir dan batin telah maksimal dilakukan. Si tokoh dan keluarga besarnya "jatuh tidak mengerti" bagaimana anaknya memilih ingkar pada orang tua setelah menemukan tambatan hati. Celakanya, si tambatan hati jauh dari kriteria orang tuanya. "Tuhan, kemana ibadah yang saya lakukan bersama istri selama ini?" Begitu si tokoh berkeluh sebagai manusia biasa. Saya tidak berani memvonis bahwa si tokoh selama ini tidak ikhlas dalam beribadah. Saya tepekur dan menyadari sesadar-sadarnya bahwa manusia itu lemah. Saya menyadari pula bahwa di hadapan Tuhan saya tidak lebih baik dari si tokoh ini. Dari kasus si bapak dan si tokoh, saya berkesimpulan bahwa mendidik anak itu adalah seni. Sudah banyak petunjuk bagaimana mendidik buah hati, baik berbasis agama, maupun psikologi, namun dalam menerapkannya kembali ke masing-masing orang tua. Karena seni, maka tidak pada tempatnya juga kita berharap anak kita berakhlak selalu sempurna dalam perjalanan menuju dewasa. Anak-anak yang diproyeksikan tanpa salah justru membawa orang tua pada rasa putus asa. Dalam batas yang bisa ditoleransi, biarkan anak merasakan salah dan benar agar tangguh. Jika tangguh, maka hidup di manapun dan dalam lingkungan apapun ia kuat. Maka, internet yang datang dengan dua sisinya, positif dan negatif, bukan menjadi sesuatu yang harus dihindari. Hanya Tuhan yang tahu. (*)
Desa yang Terkepung
Minggu, 22 Maret 2015 5:47 WIB