Stop Perseteruan KPK-Polri Demi Supremasi Hukum
Minggu, 1 Februari 2015 17:06 WIB
Jember (Antara Jatim) - Perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri memuncak ketika Bareskrim Polri menangkap komisioner KPK Bambang Widjojanto di Jakarta, Jumat (23/1).
Bambang disangka menyuruh memberikan keterangan palsu terkait sengketa pemilihan kepala daerah di Kalimantan yang diperkarakan di Mahkamah Konstitusi pada 2010.
Sebelumnya KPK menetapkan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan yang merupakan calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Sutarman sebagai tersangka kasus gratifikasi.
Penangkapan Bambang Widjojanto memantik reaksi dari publik yang menilai tidak seharusnya polisi menangkap komisioner KPK dengan cara seperti itu.
Pengamat hukum dari Universitas Jember Dr Nurul Ghufron menyayangkan penangkapan yang dilakukan Bareskrim Polri itu karena berpotensi melanggar etika hukum dan menyalahi prosedur.
\"Bambang adalah pimpinan KPK, bukan pencuri atau perampok yang harus ditangkap saat itu juga. Penangkapan Bambang disamakan dengan menangkap penjahat biasa dan itu melanggar etika hukum,\" tuturnya.
Penangkapan seperti itu, lanjut Ghufron, justru mendapat kesan buruk dan seolah-olah membenarkan opini di masyarakat bahwa hal tersebut sebagai balas dendam Polri terhadap penetapan status tersangka Budi Gunawan.
Karena itu penangkapan Bambang kini diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk memastikan apakah ada pelanggaran HAM atas penangkapan itu.
Kendati demikian, pakar hukum tata negara itu meminta KPK dan Polri harus saling menghormati proses hukum untuk Bambang Widjojanto dan untuk Komjen Budi Gunawan.
\"Proses hukum harus jalan terus, meskipun banyak sorotan atas penangkapan Wakil Ketua KPK BW dan KPK juga harus serius menindaklanjuti proses hukum pascapenetapan BG menjadi tersangka,\" ucap pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Jember itu.
Menurut dia, penangkapan Bambang dapat memengaruhi opini masyarakat terhadap lembaga antirasuah tersebut, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap KPK bisa menurun.
\"Penangkapan itu tidak ada kaitannya dengan KPK karena kasus tersebut terjadi pada saat Bambang menjadi pengacara dalam sengketa pilkada di Kotawaringin Barat,\" katanya.
Dosen yang akrab disapa Ghufron itu berpendapat penangkapan tersebut tidak bisa ditafsirkan sebagai upaya untuk melemahkan kinerja KPK seperti yang ramai diperbicangkan dalam jejaring sosial dan aksi sejumlah pihak dengan menyerukan \"Save KPK\".
\"KPK harus tetap didukung untuk memberantas korupsi, namun kalau personal di KPK melakukan pelanggaran hukum maka harus diproses sesuai dengan aturan, sehingga harus dibedakan antara personal dengan kelembagaan KPK,\" paparnya.
Ia menjelaskan negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga semua pihak harus menghormati proses hukum yang semuanya bisa diukur sah dan tidaknya, sehingga tidak melakukan spekulasi atas penangkapan Bambang.
\"Publik harus mengawal dengan baik proses yang dilakukan KPK terhadap Budi Gunawan maupun proses hukum yang dilakukan Mabes Polri kepada Bambang Widjojanto,\" katanya.
Kalau Wakil Ketua KPK itu tidak bersalah, lanjut dia, masyarakat akan menilai bahwa penangakapan itu merupakan gerakan balasan Polri yang tidak berdasar.
Sedangkan kalau BW ternyata terbukti bersalah maka semua pihak harus menghormati sebagai bagian menjaga dan mengawal KPK dari personel yang dapat menjatuhkan kredibilitas lembaga \"superbody\" itu.
\"\'Save\' KPK harus dimaknai secara utuh dan bukan sekedar \'save\' personal pimpinan KPK,\" ujarnya.
Hak Imunitas
Sangkaan yang menimpa komisioner KPK membuat Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja meminta perlindungan agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan perppu imunitas hukum terhadap pemimpin dan staf KPK untuk menghindari segala upaya pelemahan KPK seperti kriminalisasi serta ancaman keamanan lainnya.
Ghufron menolak wacana hak imunitas untuk KPK karena lembaga tersebut tidak memerlukan hak imunitas dan hal tersebut dapat bertentangan dengan prinsip kesetaraan hukum.
Menurut dia, permintaan hak imunitas oleh pimpinan KPK tersebut sangat berlebihan karena pemberian imunitas hukum bertentangan dengan azas persamaam di hadapan hukum.
Ia menegaskan tidak ada seorangpun warga negara Indonesia yang kebal terhadap hukum jika memang terbukti melanggar hukum, sekalipun yang bersangkutan adalah seorang presiden dan pejabat tinggi negara.
\"Indonesia adalah negara hukum, sehingga semua pihak harus menghormati penegakan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum,\" ucap Ghufron.
Hak imunitas tersebut, lanjut dia, dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga tidak perlu Presiden menanggapi wacana tersebut.
Ghufron mengatakan kasus hukum yang melibatkan personel dari KPK dan Polri perlu dilihat secara jernih masalah hukum dari masing-masing individu dan tidak dikaitkan dengan institusi mereka.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jember Abdussalam yang tidak setuju dengan hak imunitas atas pimpinan dan staf KPK karena akan menjadi kecemburuan hukum di masyarakat.
\"Warga negara di mata hukum adalah sama, termasuk aparat penegak hukum. Kalau mereka melakukan kesalahan, ya harus diproses dan tidak tepat kalau aparat penegak hukum mendapatkan hak imunitas,\" tuturnya.
Ia berharap KPK dan Polri tidak lagi berseteru karena kedua lembaga tersebut menjadi harapan masyarakat untuk mengadukan persoalan hukum, baik tindak kejahatan maupun persoalan korupsi.
Selamatkan KPK-Polri
Masalah KPK dengan Polri memicu reaksi dari sejumlah pihak untuk menyerukan penyelamatan terhadap kedua lembaga aparat penegak hukum tersebut.
Di berbagai daerah aksi dukungan untuk \"Save KPK dan Polri\" terus bermunculan dan meminta keduanya untuk mengakhiri konflik demi menyelamatkan penegakan hukum di Indonesia.
Puluhan aktivis yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat Selamatkan Penegakan Hukum menggelar aksi damai \"Selamatkan KPK dan Polri\" di halaman Markas Kepolisian Resor Jember, Kamis (29/1).
\"Kami menyayangkan konflik yang terjadi di dua lembaga penegak hukum di Indonesia yang semakin runcing hingga menyebabkan perpecahan di antara kedua lembaga itu,\" kata koordinator aksi Sapto Raharjanto.
Menurut dia, KPK dan Polri seharusnya bekerja sama untuk menegakkan hukum, sehingga penyelesaian kasus Budi Gunawan dan Bambang Widjojanto harus tetap diproses sesuai dengan prosedur.
\"Kalau kasus itu berlarut-larut, maka dikhawatirkan akan membawa pusaran konflik yang lebih dalam antara KPK dan Polri. Konsekuensi terburuk adalah terganggunya proses penyelesaian kasus korupsi di KPK dan kasus hukum di Porli karena elite nya tersandera persoalan hukum,\" paparnya.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, keduanya merupakan institusi penegak hukum yang memiliki peran sentral dalam pemberantasan korupsi.
\"Oleh karena itu, keduanya harus diselamatkan dan dijaga independensinya dari kepentingan pribadi dan kepentingan politik,\" katanya.
Para aktivis dari berbagai elemen masyarakat, ulama, dan akademisi Jember tersebut berharap Presiden Joko Widodo memanfaatkan kewenangannya untuk menetralisir situasi yang terjadi, sehingga konflik tidak semakin berlarut-larut.
\"Kami mendorong KPK dan Polri untuk terus melakukan pemeriksaan secara tuntas terhadap semua pelanggaran hukum dan menyerukan kepada semua pihak untuk waspada terhadap upaya pelemahan pemberantasan korupsi dan siap siaga melawannya,\" katanya.
Sapto menilai situasi yang terjadi saat ini bukan konflik antarlembaga Polri dan KPK, tetapi murni proses penegakan hukum yang harus dilaksanakan dengan tegak tanpa adanya intervensi dari pihak manapun.
\"Saatnya KPK dan Polri bersatu untuk menangkap para koruptor, sehingga para aktivis di Jember memberikan dukungan menyelamatkan KPK dan Polri untuk menyelamatkan penegakan hukum di Indonesia,\" ujarnya.
Kalau dua lembaga aparat penegak hukum tersebut terus berseteru, lanjutnya, para koruptor akan bertepuk tangan dan memperburuk proses penegakan hukum di KPK dan Polri.
Dukungan rakyat yang begitu kuat untuk menyelamatkan KPK dan Polri mendapat respons dari Presiden Jokowi, sehingga dibentuk tim independen yang berjumlah sembilan orang untuk menuntaskan polemik KPK versus Polri itu.
Tim Sembilan beranggotakan mantan Ketua Muhammadiyah Buya Syafii Maarif, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie, mantan Wakapolri Komjen (Pur) Oegroseno, mantan pimpinan KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dan Erry Riyana Hardjapamekas,
Kemudian pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana, sosiolog Imam Prasodjo dan mantan Kapolri Jenderal (Purn) Sutanto.
Tim independen beranggotakan sembilan orang yang dibentuk oleh Presiden untuk mengatasi permasalahan antara KPK-Polri telah menghasilkan lima rekomendasi.
Pertama, Presiden seyogyanya memberikan kepastian terhadap siapa pun penegak hukum yang berstatus tersangka untuk mengundurkan diri dari jabatannya demi menjaga marwah institusi penegak hukum, baik Polri maupun KPK.
Kedua, Presiden seyogyanya tidak melantik calon Kapolri dengan status tersangka dan mempertimbngkan kembali untuk mengusulkan calon baru Kapolri agar institusi Polri segera dapat memiliki Kapolri yang definitif.
Ketiga, Presiden seyogyanya menghentikan segala upaya yang diduga kriminalisasi terhadap personil penegak hukum siapapun, baik KPK maupun Polri dan masyarakat pada umumnya.
Keempat, Presiden seyogyanya memerintahkan Polri dan KPK untuk menegakkan kode etik terhadap pelanggaran etika profesi yang diduga dilakukan personel Polri atau pun KPK.
Kelima, Presiden harus menegaskan kembali komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pada umumnya sesuai harapan masyarakat luas.
Pengamat hukum Universitas Jember Dr Widodo Eka Tjahyana mengatakan rekomendasi \"Tim Sembilan\" terhadap penyelesaian konflik KPK versus Polri bukan merupakan harga mati yang harus dijalankan Presiden Joko Widodo.
\"Rekomendasi Tim Sembilan harus dimaknai bahwa rekomendasi itu bukan kaidah hukum yang bersifat imperatif karena mereka bukan lembaga hukum, sehingga rekomendasi itu tidak bisa mengikat Presiden,\" tuturnya.
Menurut dia, pertimbangan yang diberikan Tim Sembilan hanya sebatas usulan untuk menyelesaikan konflik antara KPK dengan Polri, namun hal tersebut hanya sebatas pertimbangan kepada Presiden Jokowi.
\"Yang namanya pertimbangan bisa saja seluruh pertimbangan digunakan atau sebagian saja pertimbangan yang ditindaklanjuti, bahkan pertimbangan itu bisa ditolak. Sepenuhnya merupakan hak Presiden,\" ucap pengajar hukum tata negara Universitas Jember itu.
Dekan Fakultas Hukum itu menegaskan dipakai atau tidak pertimbangan tersebut merupakan kewenangan Presiden Jokowi untuk mengatasi perseturuan antara kedua lembaga penegak hukum tersebut.
Ia menjelaskan penyelesaian perseteruan KPK dan Polri membutuhkan tangan dingin Jokowi, namun kemauan baik kedua lembaga tersebut juga sangat penting untuk mengakhiri masalah itu, sehingga kedua lembaga harus melepaskan ego masing-masing untuk tidak menang sendiri demi menyelamatkan penegakan hukum di Indonesia.
\"Sinergi dan kerja sama sangat dibutuhkan kedua lembaga penegak hukum baik KPK dan Polri, jangan sebaliknya masing-masing lembaga mempertontonkan adu kuat dalam menetapkan tersangka dari institusi masing-masing,\" kata Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi itu. (*)