Surabaya (Antara Jatim) - Asosiasi Gula Indonesia mendesak pemerintah bersikap tegas soal peredaran gula rafinasi agar tidak terjadi lagi rembesan komoditas tersebut ke segmen pasar eceran yang berdampak negatif terhadap gula lokal. "Gula rafinasi harus benar-benar digunakan dan dikembalikan peruntukkannya sebagai bahan baku industri makanan/minuman dengan distribusi terbatas," kata penasehat senior Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Adig Suwandi ketika dikonfirmasi Antara di Surabaya, Senin. Desakan AGI itu menanggapi rencana Kementerian Perdagangan menerbitkan izin impor gula kristal mentah (raw sugar) sebanyak 600.000 ton untuk kebutuhan industri gula rafinasi dalam negeri pada periode Januari-Maret 2015. "Prinsipnya, kalangan pergulaan nasional berharap tidak ada lagi rembesan gula rafinasi ke segmen pasar eceran yang selama ini menjadi wilayah gula lokal, seperti yang terjadi selama ini," tambahnya. Menurut Adig, rembesan gula rafinasi ke segmen pasar eceran yang terjadi selama musim giling 2014 telah menyebabkan harga gula lokal anjlok hingga di bawah HPP Rp8.500 per kilogram, sehingga merugikan industri gula dan petani. Selain soal peredaran, lanjut Adig, standar teknis gula rafinasi juga harus diperketat dengan ukuran butiran (ICUMSA) tidak boleh lebih dari 40 IU. "Jangan ada lagi pabrikan gula rafinasi yang menghasilkan produk dengan ICUMSA lebih dari 40 IU atau bahkan di atas 80 IU, yang jelas merupakan standar bagi gula lokal. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut perlu dilakukan secara menyeluruh sehingga memberikan efek jera bagi pelakunya," paparnya. Ia menambahkan produksi gula rafinasi juga harus mengacu kebutuhan industri makanan/minuman sebagai penggunanya, bukan berdasarkan kapasitas terpasang pabrik. Bahkan, kalau perlu harus dikuatkan dengan kontrak pembelian. Saat ini masih terjadi silang pendapat terkait kebutuhan gula rafinasi, apakah hanya 2 juta ton, atau 2,8 juta dan bahkan ada yang mengklaim mencapai 3,2 juta. "Persoalan itu muncul, sebagian disebabkan beda persepsi tentang pasar bagi 350.000-500.000 ton gula yang selama ini diperuntukkan industri kecil dan kegiatan pengolahan pangan berbasis rumah tangga," ujar Adig. Industri gula rafinasi, lanjut Adig, mengklaim bahwa pemenuhan tersebut mengunakan produk mereka, tetapi secara "de facto" yang dipakai adalah gula lokal. "Nah, untuk melindungi petani tebu dan pabrik gula berbasis tebu, pemerintah mutlak harus memberikan perlindungan sambil mengawal kebijakan revitalisasi dalam upaya peningkatan daya saing, selain pembangunan 10 pabrik gula baru yang sudah direncanakan secara serius. Kasus pembiaran yang terjadi selama ini harus dihentikan," katanya, menegaskan. Ke depan, AGI juga mendesak gula kristal mentah harus diganti dengan tebu yang berasal dari pembangunan kebun. Perlindungan kepada petani dan pabrik gula dalam semangat perwujudan swasembada gula dan kedaulatan pangan mutlak diperlukan di saat harga dunia sangat murah seperti sekarang. (*) Foto dokumentasi
AGI Desak Pemerintah Tegas Soal Peredaran Gula Rafinasi
Senin, 15 Desember 2014 17:31 WIB