Mantan PSK yang Dampingi Pelaku Prostitusi
Kamis, 21 Agustus 2014 9:36 WIB
Oleh Dewanto Samodro
Jakarta (ANTARA News) - Namanya Endang Supriati (29). Perawakannya tak gemuk, tetapi juga tidak bisa dikatakan kurus.
Perempuan berjilbab itu terlihat sumringah saat ditemui di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Timur beberapa waktu lalu.
Setelah sempat mengobrol berbasa-basi, Endang menuturkan kisahnya bersama Yayasan Bandungwangi dalam upaya mendampingi para pekerja seks komersial (PSK).
"Yayasan ini satu-satunya lembaga yang dibuat oleh, dari, dan untuk pekerja seks perempuan," katanya.
Endang merupakan mantan PSK yang dipaksa menceburkan diri ke dunia prostitusi sejak masih kanak-kanak. Tak tanggung-tanggung, yang menjerumuskannya adalah orang tuanya sendiri.
Awalnya, Endang yang hanya mengenyam pendidikan hingga kelas II SD itu pergi ke Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga. Saat itu dia berusia 10 tahun.
Setahun menjadi pembantu rumah tangga, Endang pulang ke kampung halamannya di Banyumas. Di rumahnya, dia tidak diizinkan oleh orang tuanya untuk bekerja kembali ke Jakarta.
"Katanya khawatir karena di Jakarta saya sendirian, makanya saya tidak boleh bekerja di Jakarta lagi," ujarnya.
Orang tua Endang memperbolehkan dia kembali ke Jakarta dengan syarat di Jakarta harus ikut dengan kakak kandung ayahnya. Saat itu usianya baru 12 tahun.
"Akhirnya saya diajak ke rumah uwak saya di Jakarta diantar bapak. Saya waktu itu berharap akan disekolahkan lagi. Saya akan jadi orang sukses kalau bisa sekolah lagi," tuturnya.
Namun, sesampainya di rumah uwaknya, Endang melihat banyak perempuan seumurannya yang berdandan cantik dan memakai pakaian yang seksi. Bahkan dia pun sempat didandani oleh salah satu dari mereka.
"Saya kan orang kampung, jadi risih kalau disuruh pakai baju seksi dan dandan. Bapak saya juga membiarkan waktu saya diperlakukan seperti itu," katanya.
Ketika hari berganti malam, Endang diajak ke lokasi prostitusi. Saat itu, dia tidak menyadari bahwa itu adalah lokasi prostitusi. Sebab, dia hanya melihat teman-temannya menjual minuman.
Ketika itu dia berpikir untuk apa harus berpakaian seksi bila hanya menjual minuman.
"Saya baru menyadari ketika teman-teman saya dibawa pergi oleh pelanggannya. Saat itu juga saya menolak. Saya bilang ke bapak ingin menjadi pembantu saja. Tetapi bapak tidak berkomentar apa-apa," tuturnya.
Tidak lama kemudian, Endang ditinggal pulang ayahnya untuk tinggal bersama uwaknya. Ayahnya berjanji akan menjemput Endang bila dia tidak betah. Namun, ternyata ayahnya tak pernah datang menjemput.
"Saya pun terpaksa melakukan itu. Saya menangis waktu pertama kali melayani pelanggan. Tapi saya tidak bisa kabur," katanya.
Bertemu Yayasan Bandungwangi
Saat menjadi PSK itulah, pada 1999 Endang kemudian bertemu dengan para aktivis Yayasan Bandungwangi yang intensif mendampingi para pelaku prostitusi.
Saat itu, dia mengikuti salah satu penyuluhan yang dilakukan Yayasan Bandungwangi.
Dari pergaulan dengan Yayasan Bandung wangi itulah, dia kemudian banyak belajar tentang risiko yang mungkin diterima para PSK. Namun, itu tidak serta merta membuatnya ingin berhenti menjadi PSK.
Setelah ikut uwaknya selama lima tahun, tiba-tiba bisnis prostitusi uwaknya itu bangkrut. Endang pun memutuskan untuk pulang ke Banyumas.
"Saat di rumah itulah saya berpikir ingin bergabung dengan Bandungwangi. Tetapi orang tua lagi-lagi tidak mengizinkan saya kembali ke Jakarta," tuturnya.
Supaya diizinkan kembali ke Jakarta, Endang mengatakan kepada orang tuanya akan "berjualan" sendiri sehingga hasilnya lebih menguntungkan. Atas alasan itu, Endang pun diperbolehkan kembali ke Jakarta.
Akhirnya, Endang kembali ke Jakarta. Saat itu, dia hanya membawa uang yang hanya cukup untuk ongkos berangkat.
Namun, dia cukup beruntung karena teman-temannya di Jakarta banyak membantu.
Karena masih memiliki tanggung jawab untuk mengirimkan uang ke orang tuanya, Endang akhirnya terpaksa "berjualan" lagi.
"Jadi waktu itu saya kerja malam harinya, siangnya saya aktif di Bandungwangi," ujarnya.
Pada saat itulah Endang kemudian bertemu dengan seorang laki-laki yang menjadikannya sebagai istri simpanan. Usia laki-laki itu terpaut cukup jauh dengannya.
Bersama laki-laki tersebut, Endang mendapat kehidupan yang cukup layak. Laki-laki itu tidak ingin Endang "berjualan" untuk melayani orang lain.
"Laki-laki itu berjanji akan menikahi saya ketika saya hamil. Tapi saat saya hamil delapan bulan, dia menghilang," tuturnya.
Kelahiran putri pertamanya membuat Endang memutuskan untuk bersungguh-sungguh meninggalkan pekerjaannya di dunia prostitusi.
Dia ingin serius berkarya di Yayasan Bandungwangi yang telah memberikannya pencerahan.
"Anak saya dititipkan ke orang tua di kampung. Sementara saya serius di yayasan," ujarnya.
Tak Salahkan Orang Tua
Meskipun telah dijerumuskan ke dunia prostitusi oleh orang tuanya sendiri, Endang mengatakan tidak ingin menyalahkan mereka. Namun, dia berharap hal serupa tidak dialami anak-anak lain.
"Saya tidak sadar kalau saya sudah jadi korban trafficking. Mungkin dulu orang tua saya tidak mampu membiayai saya," katanya.
Setelah benar-benar meninggalkan dunia prostitusi, Endang pun aktif mendampingi para PSK bersama Yayasan Bandungwangi. Bahkan berkat ketelatenannya, Endang dijadikan sebagai ketua harian.
Endang berharap Yayasan Bandungwangi bisa memberikan kesadaran kepada para PSK tentang risiko pekerjaannya. Karena itu, dia terus melakukan pendampingan kesehatan bagi para PSK.
"Kegiatannya memang arahnya untuk memotivasi supaya tidak terkena HIV atau IMS (Infeksi Menular Seksual). Kami mengadakan pemeriksaan HIV sebulan sekali dan membagikan kondom gratis," jelasnya.
Endang mengatakan kegiatan Yayasan Bandungwangi tidak berusaha untuk mengajak para PSK agar keluar dari dunia prostitusi. Hal itu supaya tidak ada kesan para PSK dipaksa meninggalkan profesinya.
Menurut Endang, sesuatu yang dipaksakan tidak akan menghasilkan hal yang baik.
"Mereka rata-rata tulang punggung keluarga. Kalau memang belum mampu dan siap, mengapa harus dipaksakan," ujarnya.
Namun, bila memang ada PSK yang sudah siap dan mampu meninggalkan profesinya, Yayasan Bandungwangi siap membantu untuk memberikan keterampilan dan bantuan modal untuk memulai sebuah usaha.
"Modal yang kami berikan bukan berupa uang karena khawatir akan digunakan untuk hal lain. Jadi modalnya berupa bahan-bahan produksi. Mereka pun harus mengembalikan modal yang sudah diberikan," tuturnya.
Modal yang dikembalikan dari para mantan PSK tersebut akan diputar kembali untuk memberikan bantuan modal mantan PSK lainnya.
Saat ini, kata Endang, sudah ada empat kelompok usaha yang berjalan, yaitu "laundry", toko kelontong, toko pulsa, dan warung makan rica-rica bebek.
Endang mengatakan untuk mendekati para PSK, dia harus mendatangi tempat mereka menjajakan diri. Kebanyakan lokasi prostitusi yang didatangi berada di sepanjang rel kereta api.
Tidak jarang dia juga ke pemakaman saat malam hari bila mendapat laporan adanya lokasi prostitusi di tempat itu.
"Awalnya saya takut karena malam-malam ke kuburan. Tapi setelah dijalani biasa saja. Saya juga kaget karena kuburan pun bisa menjadi tempat menjajakan diri. Yang lebih miris lagi, pelakunya sudah lanjut usia," katanya.
Endang memilih waktu malam hari karena ia tahu saat malam hari mereka akan keluar untuk bekerja. Dengan begitu dia akan lebih mudah untuk menjangkau targetnya.
"Tapi malam itu hanya sebatas kenalan awal saja. Kami tidak mau mengganggu karena mereka sedang bekerja," ujarnya.
Baru Keesokan harinya dia akan mendatangi langsung ke rumah para PSK untuk memberikan pelayanan kesehatan.
Dia mengakui hal itu memang tidak mudah.Pasalnya, cukup banyak yang ternyata rumahnya sudah pindah sehingga tidak bisa dijangkau.
"Banyak yang datang dan pergi. Yang pernah diberikan pendampingan sudah mencapai ribuan orang. Namun saat ini yang pasti hampir 500 orang," katanya.
Menyandang predikat sebagai mantan PSK awalnya juga sempat membuat Endang enggan menjalin hubungan dengan seorang laki-laki.
Endang mengatakan banyak laki-laki yang enggan berhubungan lebih jauh dengannya setelah tahu latar belakangnya sebagai mantan PSK.
Namun, tampaknya Endang masih berjodoh dengan seorang laki-laki yang bernama Iwan (28).
Pertemuan dengan Iwan itu pun tak disengaja karena mereka bertemu di sebuah bus saat Endang akan pulang ke Banyumas.
"Awalnya saya juga berpikir dia sama dengan laki-laki yang lain. Tapi ternyata setelah saya ceritakan apa adanya dia tetap menerima saya. Begitu juga dengan keluarganya yang bisa menerima saya apa adanya," katanya.
Bersama Iwan, Endang pun kemudian melahirkan anak keduanya. (*)