Rutin. Setiap 17 Agustus, bangsa Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan. Upacara bendera, aneka macam lomba, pentas seni budaya hampir pasti menghiasi peringatan itu. Bahkan, daerah-daerah juga terlihat berhias diri menyambut hari yang dinilai istimewa tersebut. Lampu hias menyala di mana-mana, penjor menjulang di berbagai pelosok, bendera merah putih berbaur dengan bendera aneka warna memenuhi sudut-sudut kampung. Sungguh pemandangan yang menggambarkan kesemarakan, kemeriahan, dan kegembiraan. Namun demikian, pertanyaannya sekarang adalah apakah penampakan-penampakan tersebut memang perwujudan dari kemerdekaan itu sendiri? Menjawabnya tentu tidak mudah dan sesederhana yang kita bayangkan, tapi tergantung bagaimana masing-masing memaknai kemerdekaan itu sendiri. Mungkin kita setuju bahwa kemerdekaan mempunyai beberapa arti. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia menentang kolonial. Kemerdekaan berarti juga kebebasan. Bebas dari segala bentuk penindasan dan penguasaan bangsa asing. Bebas menentukan nasib bangsa sendiri, dan berdaulat. Kemerdekaan berarti pula "jembatan emas" untuk menuju masyarakat adil dan makmur. Jadi, dengan kemerdekaan, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk mengisinya dengan pembangunan, kegiatan positif konstruktif. Sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia, merdeka bebas dari perhambaan, penjajahan, atau berdiri sendiri. Artinya, bebas dari penjajahan fisik, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Nah, peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan pada 17 Agustus, memang bisa dimaknai bermacam-macam. Kesemarakan sebagai wujud syukur atas karunia Illahi yang telah menganugerahkan kemerdekaan, memang patut diapresiasi. Tapi, jika kemerdekaan itu dimaknai sebagai jembatan emas menuju masyarakat adil makmur, tampaknya masih perlu diperjuangkan. Angka kemiskinan yang masih cukup tinggi, layanan kesehatan dan pendidikan yang belum merata, dan ketersediaan infrastruktur yang masih minim di sejumlah daerah, barangkali beberapa hal yang perlu diperjuangkan tersebut. Jembatan emas yang diharapkan bisa mengantarkan kepada kondisi adil makmur itu, belum sepenuhnya termanfaatkan dengan baik. Angka kemiskinan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2013 masih sekitar 28,07 juta. Dari jumlah tersebut, 10,33 juta di antaranya berada di kota dan 17,74 juta lainnya di desa. Jumlah yang masih relatif tinggi. Sementara itu, akses layanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat di daerah pelosok, atau di pedalaman, hingga kini agaknya masih menjadi barang mewah. Meskipun akses layanan kesehatan dan pendidikan terus diupayakan penyebaran dan pemerataannya, tapi dalam kenyataannya belum mampu menyentuh hingga semua daerah secara proporsional. Sedangkan terkait masalah infrastruktur, perlu terus diupayakan perbaikan dan pemerataannya. Artinya, infrastruktur tidak hanya untuk daerah-daerah yang sudah maju, tapi perlu juga untuk daerah-daerah lain guna merangsang pertumbuhannya. Karena itu, dengan berlalunya pesta demokrasi pemilihan umum legilatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres), diharapkan jembatan emas kemerdekaan bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kemerdekaan yang didukung situasi pertahanan, keamanan dan ketertiban masyarakat yang kondusif, diharapkan mampu menggerakkan seluruh potensi yang ada menjadi sumber daya kemakmuran berkeadilan. Kita semua bangsa Indonesia barangkali sepakat, jangan sampai jembatan emas yang telah diperjuangkan para pejuang bangsa akan koyak karena perbuatan kita sendiri yang menyia-nyiakannya. Jembatan emas milik semua bangsa Indonesia, bukan milik suatu kelompok atau golongan. Jembatan emas alat meniti keadilan, kesejahteraan, kemakmuran bersama. Merdeka ! (*)
Jembatan Emas Kemerdekaan
Minggu, 17 Agustus 2014 7:16 WIB