Mantan Bupati Trenggalek Bantah Intervensi Proyek PDAM
Rabu, 26 Maret 2014 20:20 WIB
Trenggalek (Antara Jatim) - Mantan Bupati Trenggalek, Suharto, menyatakan tidak mengetahui ataupun mengintervensi proses lelang dalam proyek pipanisasi PDAM senilai Rp8 miliar di Kecamatan Bendungan pada tahun 2007.
Bantahan itu disampaikan Kuasa Hukum Suharto, Athoillah, di Trenggalek, Rabu, yang merujuk keterangan/kesaksian Bupati Trenggalek 2005-2010 dalam persidangan tindak pidana korupsi di Pengadilan Tipikor Surabaya (24/3).
"Kesaksian dalam persidangan dengan terdakwa direktur PDAM, Suprapto serta dua rekanan kontraktor, Sumaji dan Sumali, itu menjadi fakta hukum yang akan menguatkan posisi Suharto dalam kasus serupa yang kini dalam proses penyidikan kejaksaan," katanya kepada Antara per-telepon.
Dalam persidangan yang disebutnya sebagai fakta hukum itu, Athoillah mengatakan kesaksian kliennya di depan majelis hakim tipikor dibenarkan oleh ketiga tersangka saat dilakukan konfrontasi keterangan.
Terdakwa mantan direktur PDAM, Suprapto, bahkan mengakui jika kebijakan lelang maupun proses tender saat itu menjadi wilayah kewenangan manajemen PDAM yang dipimpinnya.
"Aturan main terkait proses lelang proyek yang pelaksanaannya di bawah satu tahun, sesuai perda tahun 1992, bisa langsung dilakukan oleh perusahaan daerah tanpa harus meminta persetujuan bupati. Keterangan ini, dibenarkan oleh terdakwa (Suprapto)," lanjutnya.
Dalam persidangan yang sama, kata Athoillah, Suharto juga membantah telah mengenal kedua rekanan kontraktor yang menjadi pesakitan (terdakwa) sejak sebelum proyek dikerjakan.
Sebaliknya, perkenalan antara Suharto dengan Sumaji dan Sumali terjadi justru setelah proyek dilaksanakan dan kedua kontraktor mengadu ke bupati karena pembayaran pekerjaan oleh PDAM dianggap masih kurang.
"Intinya pak Harto (Suharto) tidak tahu-menahu proyek pipanisasi dan pembangunan jalan lintas itu dilelang atau tidak, karena wilayah PDAM. Klien saya sebagai bupati pada saat itu hanya bertanggung jawab dalam penyediaan anggaran untuk penyertaan modal PDAM," ujarnya.
Menanggapi hasil persidangan tersebut, pihak Kejaksaan Negeri Trenggalek menyatakan kesaksian sekaligus pembelaan diri Suharto dinilai sebagai hal yang wajar.
"Itu hak dia untuk membela diri maupun memberi kesaksian di persidangan. Kami (jaksa) tentu memiliki keyakinan berdasar sejumlah alat bukti adanya pelanggaran pidana korupsi atas kebijakan maupun keterlibatannya dalam kasus ini," jawab Kasi Intel Kejaksaan Negeri Trenggalek, Indi Premadasa.
Indi enggan mengungkap detail hasil pemeriksaan dan pengumpulan bukti-bukti petunjuk keterlibatan mantan Bupati Trenggalek periode 2005-2010 tersebut dalam pusaran korupsi PDAM tahun 2007.
Ia berdalih seluruh hasil penyidikan berikut alat bukti yang telah dikumpulkan jaksa akan diuji di persidangan di Pengadilan Tipikor.
"Jaksa tentu tidak sembarangan dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Nanti, seluruh bukti akan kami ungkap di persidangan," ujarnya.
Versi kejaksaan, kasus penyelewengan uang negara terjadi pada tahun 2007.
Saat itu, Pemkab Trenggalek mendapat dana program pipanisasi yang bersumber dari APBN sebesar Rp8 miliar.
Pelaksanaan program pipanisasi tersebut mensyaratkan disediakannya dana pendamping dari APBD yang kemudian disetujui sekitar Rp750 juta.
Perbuatan melawan hukum terjadi ketika proyek fisik yang berjalan tidak melalui prosedur tender, karena tersangka Suharto memilih menunjuk rekanan yang merupakan koleganya.
Salah satu alat bukti yang digunakan dasar jaksa menjerat Suharto adalah kebijakan alokasi anggaran yang baru ditetapkan setelah proyek selesai dikerjakan. Selain itu, nilai proyek yang terealisasi diduga telah digelembungkan. (*)