Pengamat Prediksi DPR Tolak Perppu MK
Kamis, 31 Oktober 2013 15:43 WIB
Jember (Antara Jatim) - Pengamat hukum Universitas Jember Dr Widodo Eka Tjahyana memprediksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan menolak Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kemungkinan Perppu itu akan ditolak oleh DPR, namun kalau diterima maka pembahasannya akan cukup alot," tuturnya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis.
Menurut dia, sebuah perppu seharusnya dibuat hanya dalam kondisi mendesak yang dapat membahayakan keadaan negara dan bukan mencampur-adukkan wilayah kekuasaan eksekutif dan yudikatif.
"Kalau perppu tetap dipaksakan untuk penyelamatan MK, maka seharusnya pemerintah menetapkan keadaan darurat korupsi terlebih dahulu pascapenangkapan Akil Mochtar, kemudian baru menerbitkan perppu yang tidak terlalu lama jangka waktunya dengan penangkapan Ketua MK nonaktif itu," tuturnya.
Ia menilai perppu tersebut seharusnya tidak mengatur tentang lembaga negara karena sewaktu-waktu dapat membahayakan stabilitas negara dalam keadaan tertentu dan dikhawatirkan penguasa dapat dengan mudah membubarkan sebuah lembaga negara.
"Selain itu, keberadaan tim panel yang punya kekuasaan menilai lembaga-lembaga tinggi tersebut tidak bisa dibenarkan karena berpotensi mengganggu praktek ketata negaraan," ucap pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Unej itu.
Perppu MK itu, lanjut da, juga mengatur pemilihan hakim dengan pembentukan tim penilai terhadap usulan-usulan Mahkamah Agung (MA)-Presiden-DPR, sehingga hal itu dapat berpotensi buruk yang mengganggu otoritas masing-masing lembaga pemegang kekuasaan sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.
"Perpu tersebut dibuat untuk menyelamatkan MK dari kepribadian hakim MK yang tercela, padahal yang melakukan tindakan tercela hanya Akil Mochtar dan bukan berarti delapan orang hakim lainnya juga sama. Ini sangat fatal," ucap Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi itu.
Kalau DPR menolak Perppu MK itu, lanjut dia, maka Perpu tersebut harus dicabut dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus mengajukan rancangan undang-undang baru untuk mengubah UU MK dan mengajukannya ke DPR untuk dibahas.(*)