Adalah dosen psikologi hukum Yusti Probowati Rahayu menyebutkan bahwa teater atau drama bisa dijadikan sarana untuk terapi psikologi bagi anak-anak yang pernah tinggal di dalam lembaga pemasyarakatan. "Terapi dengan menggunakan media drama atau teater ini berdampak positif dalam meningkatkan harga diri, maupun kepercayaan diri mereka. Terapi juga sebagai sarana ekspresi luapan emosi yang selama ini mereka rasakan," ucapnya. Ia mengatakan membutuhkan waktu bagi anak-anak yang pernah menjalani hukuman dalam penjara agar mereka bisa lebih percaya diri untuk berbaur dengan masyarakat luas. Dukungan bukan hanya ia harapkan dari keluarga, tapi juga dari masyarakat. "Keluar dari lapas pasti sulit. Masalah bukan hanya dari dalam diri mereka, tapi juga masyarakat, apakah mereka sudah bisa menerima," ucapnya. Ia sengaja membuat Shelter Rumah Hati atau sebuah tempat pengungsian sementara di Jombang. Sejumlah anak yang pernah merasakan pengapnya penjara ia tampung di tempatnya. Mereka diberi pendidikan, pelatihan berupa skill untuk bekal mereka. Untuk proyek itu, ia mengatakan baru berjalan sekitar dua tahun. Sejumlah anak asuhnya yang pernah ia asuh dulu dan keluar sudah berhasil mendapatkan tempat dan pengalaman baru, seperti menjadi karyawan, kerja di bengkel, sampai menjadi pelatih tari di Papua. "Itu reward, rasanya lebih daripada saya menerima uang," katanya. Ia mengakui, jangka waktu yang diterapkan untuk anak-anak itu memang tidak selamanya. Mereka ditampung hanya sekitar enam bulan, dan di waktu itu mereka diajari untuk manajemen waktu sebelum mereka keluar dari rumah sementara itu. Namun, ia tetap mengawasi anak-anak tersebut, termasuk mereka sudah bekerja di tempat mana, aktivitasnya apa sekarang. Dengan itu, akan dievaluasi apa yang kurang dalam proyek yang ia kerjakan saat ini. Ia juga menegaskan, sebenarnya proyek ini sengaja ia buat untuk menguji rencana diversi tentang sistem peradilan anak, dimana diharapkan ada proses penyelesaian perkara anak di luar mekanisme pidana konvensional. "Lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam Lapas rawan terjadi pelanggaran – pelanggaran terhadap hak anak," tuturnya. Hal inilah yang mendorong ide diversi khususnya melalui konsep "Restorative Justice" menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Perempuan yang juga Dekan Fakultas Psikologi Universitas Surabaya itu menilai harusnya pemerintah yang menjalankan program seperti ini dan bukan masyarakat. Namun, ia tidak ingin menunggu lama dan ingin melakukan uji coba sendiri dengan membuat proyek tersebut. "Ini menjadi model dan kerjasama. Memang ada Bapas (balai pemasyaratakan) tapi tidak sampai seperti itu. Mereka (Bapas) mendampingi saat proses berjalan setelah itu selesai," ucapnya. Ia saat ini sudah bekerja sama dengan sejumlah tim untuk membuat teater sebagai sarana agar psikologis anak-anak yang pernah tinggal di lapas menjadi lebih baik. Terdapat empat anak yang menjadi pemain dari teater itu di antaranya Adalah Samanhudi (16), Maulana Habibi (16), Muhammad Andre Prasetya (14), dan Angga Riki Andika (14). Mereka pernah tinggal di Lapas Jombang, Lapas Anak Blitar, sampai Rumah Tahanan Medaeng Surabaya. Ia akan mementaskan teater itu di sejumlah lapas di Jatim, universitas serta sejumlah tempat lainnya. Harapannya, anak-anak itu akan lebih percaya diri dan membuka mata masyarakat bahwa mereka seburuk dan seseram yang dibayangkan. (*)
Yusti: Teater Lapas untuk Terapi Psikologi
Jumat, 17 Mei 2013 10:50 WIB