Kediri (Antara Jatim) - Praktisi media dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri, Jawa Timur, Prilani mengatakan pemerintah masih kurang tegas dalam menertibkan oligopoli, kepemilikan media yang saat ini dominan dikuasai segelintir orang. "Harus ada upaya konkret dengan membuat usulan jelas ke birokrasi dan DPR. Untuk pengaturan kepemilikan frekuensi sebenarnya sudah jelas dalam UU Penyiaran," katanya dalam acara diskusi dan pemutaran film "Di Balik Frekuensi" yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Idependen (AJI) Kediri di sebuah gedung televisi swasta, Ruko Hayam Wuruk, Kediri, Selasa malam. Ia mengatakan, praktik konglomerasi media sangat memprihatinkan. Bagaimana banyaknya media hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Padahal, fungsi media adalah memberikan informasi pada masyarakat. Pihaknya menegaskan, masyarakat pun harus berani untuk melawan praktik-praktik konglomerasi media karena telah menguasai opini publik. Salah satu caranya dengan membuat media komunitas, baik itu berupa radio ataupun televisi komunitas. "Saat ini sudah ada payung hukumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2005 (PP tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas). PP itu memberikan ruang bagi masyarakat," ujarnya. Sementara itu Fadly Rahmawan, perwakilan dari AJI Kediri yang menjadi narasumber acara diskusi itu masih memprihatinkan masih adanya upaya "union busting" atau pemberangusan serikat pekerja dalam sebuah industri media. Hal itu terlihat salah satunya dalam film dokumenter dengan judul "Di Balik Frekuensi" yang disutradai oleh Ucu Agustin itu, di mana Luviana di-PHK oleh Metro TV, tempatnya bekerja tanpa ada alasan yang jelas sebelumnya. "Ini ironi seorang jurnalis. Dalam pemberitaan, jurnalis berpihak kepada buruh yang tertindas oleh perusahaan. Tapi, di sisi lain, jurnalis kesulitan memperjuangkan hak-haknya sebagai buruh di perusahaan media," ucapnya. Ia mengatakan, seharusnya perusahaan media ikut mendorong penerapan hak buruh untuk ikut berserikat. Pemerintah pun sudah membuat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh. Dalam aturan itu, ditegaskan praktik-praktik "union busting" itu bisa dijerat dengan hukuman pidana hingga lima tahun penjara dan denda sampai Rp500 juta. Ia juga menyerukan agar pekerja media pun tidak segan-segan untuk mendirikan serikat pekerja dan memperjuangan hak normatif buruh seperti gaji, tunjangan kesehatan, dan berbagai tunjangan lainnya. "Serikat pekerja juga bisa menjadi jembatan komunikasi antara perusahaan dan buruh yang konstruktif untuk perusahaan, seperti peningkatan kualitas SDM," ujar alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang ini. Pemutaran film dokumenter itu dihadiri oleh sekitar 100 orang, yang terdiri dari anggota AJI Kediri, komunitas pembuat film dokumenter, mahasiswa, serta tamu undangan lain. Ketua AJI Kediri Yusuf Saputro berharap, pemutaran film ini menjadi inspirasi dan bisa membuka mata masyarakat luas tentang media, serta praktik-praktik kepemilikan media. Diharapkan, masyarakat pun bisa mencari informasi yang berimbang serta menyeleksinya. Nakulo, salah seorang peserta dalam diskusi itu justru menganjurkan untuk mematikan televisi jika dirasa berita yang disajikan tidak berimbang atau terlalu memihak atau yang mengandung propaganda. Film dokumenter berdurasi 144 menit ini, "Di Balik Frekuensi" menceritakan tentang perjuangan Luviana, jurnalis di Metro TV yang di-PHK sepihak oleh kantornya. Awalnya, ia bersama teman-temannya menuntut perbaikan kesejahteraan, hingga akhirnya dia dipindahkan dari bagian redaksi ke bagian sumber daya manusia (SDM).(*)
Praktisi Sebut Pemerintah Lemah Tertibkan Oligopoli Media
Rabu, 1 Mei 2013 11:52 WIB