Barang Berbahaya Ancam Lalu-lintas Pelabuhan Nasional
Rabu, 24 April 2013 22:17 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Senior Manajer Pelayanan Terminal Pelindo III, Eko Hariyadi, menyatakan, peredaran barang berbahaya masih mengancam lalu-lintas sejumlah pelabuhan nasional karena sistem pengamanan di kawasan tersebut mengutamakan kepentingan bisnis.
"Khususnya, komoditas 'general cargo' dan curah kering sulit untuk mendeteksi tingkat keamanannya," katanya, usai pelatihan "International Maritim Dangerous Goods/IMDG", di Meritus Hotel Surabaya, Rabu.
Selain itu, contoh dia, sistem pengamanan untuk komoditas dalam bentuk peti kemas diterapkan hanya melalui sensor Sinar Gama atau Sinar X. Kedua sensornya baru ditempatkan di Terminal Petikemas Surabaya (TPS) dan Berlian Jasa Terminal Indonesia (BJTI).
"Keberadaan sensor tersebut diakui belum aman bagi barang berbahaya melalui pelabuhan," ulasnya.
Oleh karena itu, tambah dia, pihaknya sudah membuat regulasi tertentu pada bulan Desember tahun lalu dan segera diterapkan guna mengantisipasi kondisi yang tidak diinginkan.
"Di sisi lain, untuk komoditas berbahaya yang mengandung radioaktif, zat kimia, barang mudah meledak, mudah terbakar, dan barang berbahaya lainnya hingga kini masih diperiksa melalui sistem administrasi atau secara manual," katanya.
Untuk itu, yakin dia, pihaknya siap menjadikan Terminal Teluk Lamong sebagai proyek percontohan dengan memasang sensor khusus untuk komoditas yang mengandung zat radioaktif.
"Pemasangan sensor itu ditempatkan di gate atau bisa juga di jembatan timbang," katanya.
Pada kesempatan sama, Kepala Pusat Promosi dan Kerjasama ITS sekaligus Staf Fakultas Teknologi Kelautan ITS, Saut Gurning, mengemukakan, komoditas yang melalui pelabuhan banyak ragamnya sedangkan pemeriksaan barang berbahaya baru sebatas pemeriksaan fisik.
"Lalu, bagaimana dengan pemeriksaan besi bekas yang sudah korosi dan mengandung radioaktif," katanya.
Apabila lolos, lanjut dia, barang berbahaya itu bisa bebas sampai lalu-lalang di jalan raya. Masalah tersebut sampai sekarang belum terpecahkan sehingga idealnya ada regulasi yang harus cepat diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan.
"Hal tersebut berkaitan erat dengan aman tidaknya kondisi transportasi di Indonesia terutama pengiriman logistik," katanya.
Mengenai pelatihan yang diikuti 40 peserta dari berbagai kawasan pelabuhan nasional, Ketua DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Jawa Timur, Hengky Pratoko, mengatakan, agenda tersebut sangat penting untuk mengetahui dan menangani barang berbahaya mengingat komoditas itu sangat dibutuhkan oleh pelaku industri.
"Namun Indonesia tidak memiliki data berapa ton atau liter yang telah masuk ke dalam negeri sedangkan di negara maju telah diterbitkan regulasi tentang penanganan barang berbahaya," katanya.(*)