Surabaya (ANTARA) - Konflik terbuka antara kubu Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) yang mencuat dan secara simbolik "disudahi" pada 25 Desember 2025 di Pesantren Lirboyo (Kediri), sejatinya tidak pernah benar-benar selesai.
Pertemuan itu memang meredam eskalasi, namun ia menyisakan problem yang lebih mendasar, yaitu kegagapan NU dalam merespons dinamika di luar dirinya. Problem ini bukan sekadar soal personal, bukan pula sekadar salah tafsir AD/ART, melainkan persoalan diskursus, yaitu cara NU memproduksi makna, otoritas, dan legitimasi di tengah perubahan lanskap sosial-politik.
Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU tidak hidup dalam ruang hampa. Ia berada dalam pusaran relasi kekuasaan yang terus bergerak, yaitu negara yang semakin intervensionis, politik elektoral yang cair, media digital yang membentuk opini instan, serta basis warga NU yang makin beragam secara kelas, orientasi politik, dan ekspektasi.
Ketika dinamika eksternal ini tidak direspons dengan kerangka diskursif yang matang, konflik internal menjadi keniscayaan.
Dalam perspektif teori dikursus, konflik tidak semata lahir dari perbedaan kepentingan objektif, tetapi dari pertarungan makna. Diskursus menentukan siapa yang berhak bicara, atas nama apa, dan dengan legitimasi apa.
Dalam konteks NU, persoalan utama terletak pada belum solidnya artikulasi diskursus antara wilayah syuriyah (rais aam) dan tanfidziyah (ketua umum). Keduanya memiliki sumber legitimasi berbeda, di mana yang satu bersandar pada otoritas keilmuan dan simbol keulamaan, yang lain pada mandat organisatoris dan kepemimpinan administratif, namun tidak disatukan dalam satu kerangka narasi bersama.
Kegagapan NU tampak ketika dinamika eksternal, terutama politik nasional, masuk ke dalam tubuh organisasi. Alih-alih merumuskan batas diskursif yang jelas antara NU sebagai jam’iyah diniyah ijtima’iyah dan NU sebagai aktor politik kultural. Fakta yang terjadi justru tarik-menarik tafsir. Siapa yang paling sah berbicara atas nama "kepentingan umat"? Apakah otoritas moral rais aam bersifat final? Ataukah ketua umum tanfidziyah memiliki ruang diskresi strategis dalam membaca situasi politik?
Ketika pertanyaan-pertanyaan ini tidak dijawab secara diskursif di ruang internal, ia berpindah ke ruang publik. Media sosial, portal berita, hingga mimbar-mimbar pengajian dan warung-warung kopi menjadi arena pertarungan wacana. Pada titik inilah konflik berubah menjadi polemik, dan polemik berubah menjadi krisis legitimasi. NU tidak hanya berkonflik dengan dirinya sendiri, tetapi juga dengan persepsi publik tentang siapa sebenarnya yang memegang kendali moral dan organisatoris.
Teori diskursus mengajarkan bahwa organisasi besar bertahan bukan hanya karena struktur formal, tetapi karena kemampuannya membangun diskursus hegemoni, yaitu narasi dominan yang diterima secara sukarela oleh mayoritas aktor. Dalam sejarahnya, NU memiliki kemampuan ini.
Pada masa-masa krusial, para kiai sepuh mampu merajut perbedaan melalui bahasa keagamaan yang inklusif, simbolik, dan merangkul. Namun dalam konteks mutakhir, bahasa itu kerap kalah cepat dibanding bahasa politik dan logika media digital yang serba instan.
Pertemuan di Lirboyo pada 25 Desember 2025 sesungguhnya memiliki makna simbolik yang sangat kuat. Lirboyo adalah representasi pesantren tradisional, ruang otoritas keilmuan, sekaligus salah satu simbol simbol kesejarahan NU.
Meskipun demikian, justru di sinilah problemnya, ternyata simbol tidak otomatis menyelesaikan diskursus. Tanpa artikulasi narasi yang jelas tentang apa yang diperselisihkan dan bagaimana batas kewenangan ditafsirkan bersama, rekonsiliasi hanya berhenti pada etika personal, bukan pada pembaruan makna kelembagaan.
Kegagapan NU juga terlihat dari absennya mekanisme deliberasi diskursif yang adaptif. Struktur organisasi NU sejatinya kaya akan forum, mulai dari bahtsul masail, musyawarah, hingga muktamar. Hanya saja, forum-forum ini sering bekerja dalam ritme lama, sementara konflik berkembang dalam tempo baru.
Ketika keputusan internal lambat, ruang publik digital bergerak cepat membingkai konflik dengan narasi yang belum tentu adil bagi NU sendiri.
Dalam kacamata teori diskursus, inilah momen ketika "yang eksternal" mendominasi "yang internal". Diskursus tentang NU tidak lagi diproduksi oleh NU, melainkan oleh aktor-aktor di luar dirinya, seperti politisi, pemengaruh, bahkan pendengung. Akibatnya, NU kehilangan posisi sebagai subjek narasi dan terjebak sebagai objek tafsir.
Ke depan, NU perlu melakukan refleksi serius bahwa bukan sekadar memperbaiki hubungan personal elite, tetapi membangun ulang kerangka diskursif kelembagaan.
Pertama, NU perlu menegaskan ulang pembagian peran antara syuriyah dan tanfidziyah dalam bahasa yang dapat dipahami publik. Bukan bahasa normatif AD/ART semata, melainkan narasi yang menjelaskan logika etik dan strategis di balik pembagian tersebut.
Kedua, NU perlu mengembangkan mekanisme respons cepat terhadap isu eksternal. Ini bukan soal reaktif, melainkan proaktif dalam mengelola makna. Ketika isu sensitif muncul, NU harus segera hadir dengan narasi resmi yang utuh, sehingga ruang tafsir liar dapat ditekan.
Dalam teori diskursus, ini disebut sebagai upaya fixation of meaning, yaitu menetapkan makna, sebelum ia direbut oleh diskursus lain.
Ketiga, NU perlu mengakui bahwa konflik adalah bagian dari organisasi hidup. Konflik harus diperlakukan sebagai proses artikulasi diskursus, bukan sebagai ancaman personal. Dengan cara ini, perbedaan pandangan tidak lagi dipersepsikan sebagai pembangkangan, melainkan sebagai peluang memperkaya narasi bersama.
Perlu diingat bahwa NU tidak kekurangan kiai, tidak pula kekurangan struktur. Hal yang dibutuhkan adalah keberanian untuk membaca ulang dirinya sendiri dalam lanskap diskursif yang berubah. Kegagapan bukanlah aib, selama diikuti oleh kesadaran reflektif untuk belajar. Jika tidak, konflik serupa akan terus berulang, dengan aktor berbeda, namun dengan pola yang sama.
NU adalah organisasi besar yang lahir dari tradisi panjang dialog, musyawarah, dan kebijaksanaan kultural. Tantangannya hari ini dan menjadi PR besar menjelang pelaksanaan Muktamar ke-35 mendatang adalah menerjemahkan tradisi itu ke dalam bahasa diskursus modern, yaitu bahasa yang mampu menjembatani otoritas moral, kepemimpinan organisatoris, dan tuntutan publik. Di situlah masa depan NU dipertaruhkan.
*) Bustomi adalah mahasiswa program S3 Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga dan Pengurus LTN PWNU Jawa Timur
