Kesehatan mental beberapa waktu belakangan ini menjadi salah satu isu nasional yang cukup ramai di bahas di kalangan remaja. Berdasarkan hasil Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2023, satu dari tiga remaja Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir.
Gangguan kecemasan tercatat sebagai gangguan paling umum dialami generasi muda Indonesia, dan mengkhawatirkan ketika adanya temuan bahwa hanya 2,6 persen remaja yang mengalami gangguan pernah mengakses layanan konseling atau terapi profesional.
Fenomena itu menunjukkan jarak besar antara risiko nyata dan respons perlindungan yang diambil para remaja. Sebagian besar remaja tidak menyadari risiko yang dihadapi atau tidak mengambil langkah protektif sama sekali.
Untuk memahami mengapa remaja tidak mengambil tindakan meski berada dalam kondisi berisiko, kita bisa menggunakan kerangka Health Belief Model (HBM). Health Belief Model atau model kepercayaan kesehatan adalah salah satu teori paling berpengaruh dalam bidang komunikasi resiko.
Model itu menjelaskan seseorang akan mengambil tindakan proteksi jika percaya bahwa dirinya rentan terhadap suatu kondisi (perceived susceptibility/kerentanan yang dirasakan). Selain itu, individu harus yakin kondisi tersebut serius (perceived severity/keparahan yang dirasakan) dan tindakan tertentu akan mengurangi risiko tersebut (perceived benefits/manfaat yang dirasakan).
Kemudian dapat dipetakan juga tentang hambatan dapat diatasi (perceived barriers/hambatan yang dirasakan), setiap individu mampu melakukannya (self-efficacy/efikasi diri), dan ada pemicu tindakan (cue to action/isyarat bertindak).
Dalam konteks remaja Indonesia, kegagalan komunikasi risiko terlihat dari rendahnya semua dimensi model kepercayaan kesehatan tersebut. Banyak remaja tidak merasa gangguan mental seperti depresi atau kecemasan merupakan ancaman serius bagi dirinya.
Para remaja menganggap perasaan cemas sebagai hal biasa atau merasa malu untuk membicarakan kondisi mentalnya. Akibatnya, generasi muda tidak merasa rentan atau tidak percaya bantuan profesional dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Beberapa hal yang menjadi faktor kuat yang menghalangi remaja mencari bantuan kesehatan mental profesional salah satunya adalah kurangnya akses terhadap psikolog atau konselor yang masih terbatas, mahal, dan tidak tersedia di banyak sekolah Indonesia.
Selain itu, stigma sosial terhadap orang yang mencari bantuan profesional untuk membantu mengatas masalah kesehatan mental memperkuat hambatan psikologis para remaja. Pada kondisi itulah komunikasi risiko gagal menyampaikan bahwa mencari bantuan bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk kekuatan dan kesadaran diri.
Menurut model kepercayaan kesehatan, salah satu elemen terpenting untuk mendorong perubahan perilaku adalah isyarat bertindak. Isyarat bertindak yakni pemicu yang menyadarkan individu terhadap pentingnya mengambil tindakan untuk kesehatan mental.
Dalam konteks tersebut, kampanye kesehatan mental bisa menjadi pemicu sangat efektif dengan mempertimbangkan psikologi remaja. Kampanye harus menggunakan bahasa generasi muda dan menghadirkan cerita nyata dari tokoh sebaya atau figur publik terpercaya.
Sayangnya, komunikasi kesehatan mental yang beredar di ruang publik saat ini lebih banyak berisi informasi tidak menyentuh sisi emosional remaja. Pesan yang disampaikan cenderung tidak personal dan tidak persuasif bagi generasi muda Indonesia.
Sebagai akibatnya, banyak remaja tidak merasa terhubung dengan pesan tersebut atau tidak menyadari relevansinya dengan pengalaman pribadi. Padahal, pendekatan berbasis pengalaman nyata seperti testimoni dari remaja yang pernah mengalami depresi dan pulih melalui konseling jauh lebih berdampak.
Pendekatan tersebut efektif dalam menumbuhkan kesadaran dan mendorong pencarian bantuan kesehatan mental di kalangan remaja.
Komunikasi risiko berbasis Model Kepercayaan Kesehatan seharusnya dimulai dari penguatan persepsi bahwa semua remaja berpotensi mengalami gangguan mental. Terutama dalam lingkungan penuh tekanan sosial, akademik, dan keluarga yang dihadapi generasi muda saat ini.
Pesan harus mampu menunjukkan dampaknya bisa serius, tetapi juga bahwa bantuan tersedia, efektif, dan dapat diakses.
Kampanye harus menyentuh dimensi manfaat, menjelaskan bahwa mencari pertolongan bukan hanya meredakan gejala gangguan mental. Namun juga membantu remaja menjalani kehidupan yang lebih sehat dan bermakna di masa depan.
Di sisi lain, komunikasi juga harus aktif menurunkan hambatan, baik secara struktural maupun psikologis bagi remaja. Pemerintah dan sekolah harus menyediakan layanan konseling yang terjangkau dan mudah diakses oleh seluruh siswa.
Oleh sebab itu, harus ada upaya sistematis untuk menghapus stigma sosial terhadap kesehatan mental. Pesan publik harus menegaskan bahwa tidak ada yang salah dengan meminta bantuan profesional untuk kesehatan mental.
Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik dan perlu mendapat perhatian yang setara dari masyarakat.
Untuk membangun efikasi diri atau keyakinan diri bahwa remaja mampu mengambil langkah awal, mereka perlu diberikan edukasi tentang bagaimana tahapan dan proses mencari bantuan bimbingan konseling secara mudah.
Informasi harus dibuat sesederhana mungkin tentang cara mendaftar konseling, ke mana harus menghubungi, dan prosedur sesi. Panduan-panduan itu bisa disampaikan melalui media sosial, platform digital, atau kegiatan sekolah dengan dukungan guru dan konselor.
Alumni yang pernah mengalami masalah serupa juga dapat memberikan dukungan dan motivasi kepada adik kelasnya.
Komunikasi risiko efektif juga perlu memperbanyak isyarat bertindak yang dapat memotivasi remaja mengambil langkah positif. Pemicu tersebut bisa berupa konten video, poster, unggahan media sosial, cerita di podcast, atau kampanye bertema khusus.
Kampanye harus konsisten dan dirancang dengan empati terhadap kondisi psikologis dan sosial remaja Indonesia.
Ketika remaja terpapar pesan menggugah yang disampaikan dalam suara dan bahasa akrab bagi generasi muda, kemungkinan mengambil tindakan jauh lebih besar.
Tanpa strategi komunikasi risiko yang dirancang secara hati-hati, angka gangguan mental di kalangan remaja akan terus meningkat. Upaya preventif akan selalu tertinggal jika tidak ada komunikasi efektif yang menyentuh hati dan pikiran generasi muda Indonesia.
*) Penulis merupakan Mahasiswi Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta Inadia Aristyavani
Editor : Rachmat Hidayat
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2025