Kekeringan, itulah di antara tema besar perbincangan yang ada di masyarakat saat ini. Musim kering berdampak terjadinya kekeringan dimana-mana. Ada yang menganggap hal itu lumrah, karena sebagai peristiwa rutin. Tapi, ada pula yang menilai kekeringan belakangan ini sebagai hal luar biasa, karena dampaknya semakin meluas dan besar.
Indonesia sebagai negara yang berada di garis khatulistiwa, memiliki iklim tropis. Indonesia hanya mengenal dua musim, yakni musim hujan dan musim kering (kemarau). Dua musim tersebut datang silih berganti. Satu musim datang, yang lain pergi. Begitu seterusnya, tidak mengenal jeda. Perputaran waktu terangkai dan berulang-ulang secara tetap. Perputaran itulah kemudian membentuk siklus, siklus musim.
Musim adalah salah satu pembagian yang terkait dengan waktu dalam setahun. Di Negara Barat non-tropis, biasanya satu tahun terbagi menjadi empat musim, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Tetapi, di Indonesia yang berada di garis khayal keliling bumi, hanya mengenal dua musim, yakni musim hujan dan kemarau.
Datangnya satu musim dari dua musim di Indonesia tersebut, membawa dampak sendiri-sendiri. Fenomena belakangan ini, kehadiran musim hujan, biasa dibarengi dengan banjir dimana-mana. Datangnya kemarau, berbuntut kekeringan yang mendera berbagai daerah.
Dari kenyataan itu, kehadiran dua musim tersebut, tidak selalu berdampak positif. Banjir maupun kekeringan bisa berdampak luas terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Banjir dan kekeringan bisa mengganggu kelangsungan perekonomian masyarakat. Ancaman gagal panen dan menyebarnya berbagai penyakit, sangat menghantui. Bahkan, kekhawatiran terjadinya krisis pangan kini dirasakan berbagai negara di belahan dunia.
Semakin meluas dan besarnya dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim itu, sebagian pengamat lingkungan hidup berpendapat karena semakin menurunnya kualitas lingkungan. Ada korelasi antara perubahan iklim dan kondisi lingkungan. Jika lingkungan terjaga kelestariannya, dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim tidak akan besar. Tapi, jika lingkungan terdegradasi, maka dampak yang ditimbulkan juga bisa tidak terduga.
Jawa Timur
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi kemarau akan berlangsung normal sesuai dengan siklus. Sifat hujan kemarau tahun ini sekitar 57 persen normal , 35 persen di atas normal, dan delapan persen di bawah normal.
Di Jawa Timur, kemarau diprakirakan akan berlangsung hingga pertengahan Oktober mendatang. Awal musim hujan di Jawa Timur baru tiba akhir Oktober atau dasarian ketiga bulan itu.
Guna mengantisipasi dampak kemarau tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah membuat rencana aksi terpadu menghadapi kekeringan guna mengatasi dampak kekeringan di berbagai daerah di Indonesia.
Dari rencana aksi tersebut, sembilan provinsi menjadi prioritas penanganan, di antaranya Provinsi Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Barat.
Upaya yang dilakukan adalah mendistribusikan air dengan tangki, penyediaan pompa air, pembuatan sumur pantek atau sumur bor, hujan buatan, pembangunan embung atau reservoir, dan pengaturan pemberian air untuk pertanian dengan sistem gilir giring.
Konon, di Jawa Timur bahkan pendistribusian air bersih telah dilakukan untuk 616 desa di 23 kabupaten/kota, di antaranya meliputi Trenggalek, Pacitan, Nganjuk, Ponorogo, Bojonegoro, Pamekasan, Magetan, Malang, Lumajang, Pamekasan, Bangkalan, Tulungagung, Blitar, Gresik, Lamongan, Sumenep dan Madiun. Dengan demikian, kekeringan yang kini mendera Jawa Timur cakupannya cukup luas dan merata.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur mencatat, tahun ini ada 852 desa di 221 kecamatan di Jawa Timur mengalami kekeringan. Desa-desa tersebut sebagian besar berada di tepian Sungai Brantas dan Bengawan Solo. Kekeringan di Jawa Timur menyebar di 23 dari 38 kabupaten/kota di seluruh Jatim, atau mencapai sekitar 60 persen dari total kabupaten/kota.
Kekeringan tahun ini cakupannya lebih luas. Kekeringan tahun lalu hanya melanda 19 kabupaten. Kabupaten yang tahun ini juga didera kekeringan adalah Kabupaten Jombang, Mojokerto, Ponorogo, dan Blitar. Sedangkan 15 daerah yang masih relatif aman dari kekeringan seperti Kota Surabaya, Malang, Mojokerto, Kediri, Madiun, dan Pasuruan.
Sementara itu, desa-desa di sepanjang aliran Sungai Brantas dan Bengawan Solo banyak mengalami kekeringan karena debit air sungai tersebut surut sejak dua bulan terakhir. Kawasan yang cukup parah dilanda kekeringan di antaranya Kabupaten Trenggalek, Pacitan, Gresik, Lamongan, dan Bojonegoro.
Data PU Pengairan Jawa Timur menyebutkan, sawah irigasi teknis di Jawa Timur saat ini seluas 913.494 hektare, dan diperkirakan 9.278 hektare di antaranya merupakan daerah rawan kekeringan. Dengan demikian, ancaman gagal panen juga tidak mustahil.
Memang, pengertian kekeringan bisa berbeda-beda, tergantung paramaternya. Kekeringan menurut BPBD misalnya, bisa jadi paramaternya adalah pemenuhan kebutuhan air bersih sehari-hari untuk mandi, mencuci, dan minum, sedangkan menurut Dinas Pekerjaan Umum Pengairan parameternya adalah air sebagai irigasi pertanian.
Kendati masing-masing memiliki paramater, namun kekeringan yang dihadapi masyarakat pada kemarau saat ini adalah riil, nyata. Masyarakat ada yang butuh pasokan air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi sebagian masyarakat lainnya juga memerlukan suplai air untuk pertaniannya. Antre untuk memperoleh pasokan air bersih terlihat di berbagai daerah. Lahan pertanian yang mengering juga mudah dijumpai di sejumlah tempat.
Dampak kemarau memang selalu ada. Tapi, kemarau yang menyebabkan kekeringan semakin meluas dan merata di berbagai daerah di Jawa Timur belakangan ini, tentu cukup memprihatinkan. Perlu upaya serius dan berkelanjutan agar daya dukung lingkungan semakin besar, sehingga dampak yang ditimbulkan bisa diminimalkan.
Kemarau sudah menjadi fenomena rutin, dan kekeringan pun telah menjadi siklus yang menyertainya. Tapi, rutinitas tersebut hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi semua pemangku kepentingan agar dampak negatif setiap pergantian musim tidak selalu berulang, apalagi bertambah besar. Kuncinya, tidak merusak lingkungan, menjaga alam tetap lestari. Keserakahan mengeksploitasi alam, hanya akan menumpuk bencana.
Salam lestari... (*) (slamethp@yahoo.com.au)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012