Surabaya - Universitas Airlangga Surabaya mencatat 70 persen perokok aktif adalah orang miskin, karena itu rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang pengendalian produk tembakau perlu segera disahkan untuk melindungi mereka.
"RPP itu penting karena 70 perokok aktif adalah orang miskin dan 71 persen keluarga di Indonesia memiliki pengeluaran untuk rokok," kata Koordinator Teknis Sentra Advokasi Lingkungan Bebas Rokok (SALBR) FKM Unair Surabaya Dr dr Imam S Mochny MPH di Surabaya, Rabu.
Didampingi Sekretaris SALBR FKM Unair dr Santi Martini M.Kes dalam temu pers untuk memperingati "Hari Tanpa Tembakau Se-Dunia" (HTTS), ia menjelaskan masyarakat perokok sering dirugikan akibat rokok, sedangkan pengusaha rokok justru aman.
"Para pengusaha rokok itu sering menjadikan buruh pabrik rokok atau petani tembakau sebagai tameng, padahal hanya 3.000 orang," katanya, didampingi aktivis dari Pusat Advokasi Pengendalian Tembakau (TCSC).
Selain itu, katanya, pengusaha rokok juga sering beralasan bahwa pajak dari rokok cukup besar, padahal hanya Rp40 triliun hingga Rp50 triliun yang hanya 7-10 persen dari APBN.
"Tapi, nilai kerugian dari penyakit akibat rokok mencapai Rp125 triliun hingga Rp130 triliun, sehingga hampir Rp100 triliun ditanggung pembayar pajak lainnya dan rakyat miskin banyak yang menjadi korban akibat penyakit itu," katanya yang juga didampingi aktivis Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jatim.
Apalagi, katanya, cukai yang sering dijadikan alasan itu sesungguhnya hanya kebohongan para pengusaha rokok, sebab cukai itu berasal dari para perokok dan cukai itu juga bukan merupakan sesuatu yang positif, melainkan cukai itu sebagai kompensasi dari dampak merusak sebuah produk.
"Fakta lain tentang rokok di Indonesia sesuai hasil Susenas 2001 adalah 92 persen perokok merokok di rumah, sehingga menciptakan perokok pasif yakni 65 juta perempuan dan 43 juta anak-anak dalam usia 0-14 tahun," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012