Bojonegoro - Sawah baku di Bojonegoro, Jawa Timur, yang berkurang sepuluh tahun terakhir akibat beralih fungsi menjadi kawasan industri migas, perumahan belum mengancam produksi tanaman padi daerah setempat. Padahal, dalam kurun waktu tersebut, sedikitnya 500 hektare lahan pertanian di sejumlah desa di Kecamatan Ngasem dan Kalitidu, dibebaskan, untuk kebutuhan berbagai fasilitas produksi migas Blok Cepu. Belum termasuk, lahan pertanian yang berkurang, karena dimanfaatkan sebagai perumahan modern, di antaranya di sejumlah desa di Kecamatan Kota, juga Kecamatan Dander. Kepala Dinas Pertanian Bojonegoro Subekti, Jumat (23/3) mengakui berkurangnya sawah baku di daerah setempat, yang dimanfaatkan berbargai keperluan, mulai lokasi industri migas Blok Cepu, lapangan Sukowati, kebutuhan perumahan, juga kebutuhan industri lainnya, dalam beberapa tahun terakhir. Berapa berkurangnya, sawah baku di daerah setempat, Subekti, mengaku, belum tahu secara pasti, kecuali luas lahan yang sudah secara pasti, berkurang karena dimanfaatkan sebagai lahan industri migas Blok Cepu yang luasnya, sedikitnya 500 hektare. Namun, ia meyakinkan, berkurangnya, sawah baku tersebut, tidak mengancam target dan peningkatan produksi tanaman padi. Alasannya, berbagai usaha meningkatkan produksi tanaman padi terus dilakukan, melalui intensifikasi pertanian, baik dengan memanfaatkan benih unggul, juga pemanfaatan pupuk berimbang. Dengan adanya berbagai usaha itu, lanjutnya, produksi tanaman padi di daerah setempat, yang semula rata-rata berkisar per hektre 6,5 ton gabah kering panen (KGP), meningkat menjadi 6,8 ton per hektare. Di lain pihak, sebagaimana dijelaskan Subekti, usaha meningkatkan produksi tanaman padi, ditempuh dengan mengembangkan jaringan irigasi baru, baik melalui air Bengawan Solo, juga membuat sejumlah tampungan air di tanah "solo vallei werken" (SVW), di wilayah Bojonegoro selatan. "Berkurangnya lahan pertanian untuk kebutuhan proyek industri migas, juga yang lainnya, tidak mempengaruhi luas tanam dan produksi tanaman padi di Bojonegoro," katanya. Apalagi, sebagaimana diungkapkan Subekti, di kawasan hutan, para petani hutan, juga memanfaatkan lahan hutan, yang terbuka setelah ada penebangan oleh Perhutani, juga terbuka akibat aksi penjarahan, dengan menanam padi. Di Bojonegoro, kawasan hutan di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bojonegoro, yang luasnya mencapai 50 ribu hektare, di antaranya di Kecamatan Bubulan, Gondang, Temayang, juga yang lainnya, juga menjadi potensi baru tanaman padi. Selain itu, kawasan hutan di KPH Padangan sekitar 13 ribu hektare, juga hutan KPH Parengan, Tuban, yang berada di wilayah Bojonegoro, juga merupakan lahan pertanian yang dikerjakan masyarakat pesanggem, tidak hanya menanam palawija, namun juga tanaman padi. "Luas kawasan hutan yang ditanami padi, bisa mencapai ribuan hektare," jelasnya, tanpa merinci lebih lanjut luas tanaman padi yang berada di kawasan hutan dalam setahunnya. Ia mencontohkan, luas tanam tanaman padi di Bojonegoro, yang ditargetkan sekitar 110 ribu hektare, pernah meningkat tajam menjadi 124 ribu hektare, pada 2010, bahkan sebelum itu, luas tanam tanaman padi pernah mencapai 140 ribu hektare, selama setahun. Meningkatnya luas tanam tanaman padi tersebut, di antaranya karena para petani di kawasan hutan yang biasanya menanam palawija, ikut menanam padi. "Dengan melimpahkan produksi pertanian, mulai tanaman padi, juga bawang merah, kami mengusulkan pembangunan gudang di wilayah selatan, untuk menampung hasil pertanian," katanya, mengungkapkan. Tidak tercapai Meski demikian, ia membenarkan, target produksi tanaman padi di daerah setempat, tidak selalu bisa tercapai, seperti pada musim tanam 2011, akibat munculnya serangan hama wereng. Target tanaman padi seluas 110 ribu hektare ketika itu, gagal terealisasi, akibat banyak petani mengalami kegagalan panen. Masalahnya, serangan hama wereng terjadi secara merata menyerang tanaman padi sekitar 40 ribu hektare. Akibat serangan wereng itu, sedikitnya 13.000 hektare tanaman padi puso dan tanaman padi lainnya, berproduksi di bawah 50 persen. "Walau target luas tanam tidak tercapai persediaan pangan masih terjaga, tidak terjadi kekurangan pangan di Bojonegoro," katanya, meyakinkan. Ia menjelaskan, target luas tanaman padi di Bojonegoro, rata-rata ditetapkan berkisar 105 ribu hektare, setiap tahunnya, dengan luas sawah baku 76 ribu hektare. Luas sawah baku tersebut, terbesar di daerah irigasi Waduk Pacal, di sejumlah desa di Kecamatan Sukosewu, Kapas, Balen, dan Sumberrejo, yang luasnya, bisa mencapai 16 ribu hektare. Selain itu, lanjutnya, juga areal tanaman padi di sepanjang daerah bantaran Bengawan Solo, di 15 kecamatan mulai wilayah barat di Kecamatan Margomulyo, hingga Kecamatan Baureno, di wilayah timur, luasnya mencapai 10.127 hektare. Di daerah sepanjang Bengawan Solo, para petani bekerja sama dengan pengusaha pompa memanfaatkan air irigasi Bengawan Solo, dengan sistim bagi hasil. "Biasanya setelah musim kemarau rampung, pada Oktober, semua petani menanam padi secara serentak dengan luas sawah baku 76 ribu hektare," katanya, menjelaskan. Mengenai pengembangan luas areal pertanian di daerah hilir Jatim, mulai Bojonegoro, Tuban, Lamongan Gresik, pernah disampaikan Asisten III Menteri PU, Graita Soetadi yang menawarkan, membuat tampungan banjir abadi. Menurut mantan Kepala Balai Besar Bengawan Solo di Solo Jateng itu, pemkab membebaskan pemukiman warga di daerah yang biasa menjadi langganan banjir Bengawan Solo. Selanjutnya, menurut dia, pemkab juga mengeluarkan larangan lokasi tanah yang menjadi genangan banjir abadi yang sudah dibebaskan tersebut, ditempati sebagai pemukiman. Langkah ini, sekaligus bisa menjadi solusi penanggulangan banjir Bengawan Solo, di daerah hilir Jatim, yang selalu terjadi setiap tahun. "Tapi, warga masih tetap bisa memanfaatkan tanah lokasi banjir abadi untuk lahan pertanian, setelah banjir surut," katanya, menjelaskan. Sementara ini, sebagaimana disampaikan Bupati Bojonegoro, Suyoto, pengembangan areal pertanian di daerah setempat, juga dilakukan, dengan membangun jaringan irigasi pertanian. Pembangunan jaringan irigasi pertanian ini, sebagai antisipasi rampungnya bendung gerak Bengawan Solo di Desa Padang, Kecamatan Trucuk dan Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu. Berdasarkan data, bendung gerak Bengawan Solo di Bojonegoro, yang memiliki panjang 1.841,752 meter itu, mampu menampung air sebanyak 13 juta meter kubik dari daerah tangkapan air seluas 12,467 km2. Manfaat bendung gerak tersebut, antara lain mampu mencukupi kebutuhan air irigasi pertanian dengan debit 5.850 liter/detik seluas 4.949 hektare, selain itu juga di Blora seluas 665 hektare. Direncanakan, dengan adanya jaringan irigasi baru tersebut, bisa dimanfaatkan, mengalirkan air tampungan bendung gerak Bengawan Solo yang diambil dengan pompa, menuju areal pertanian. Dengan cara itu, areal pertanian yang biasanya hanya bisa menanam padi sekali, bisa menjadi dua kali, karena mendapatkan air irigasi tampungan bendung gerak. "Di tempat-tempat tertentu, juga kita bangun tampungan air seperti di Desa Mayangrejo, Kecamatan Kalitidu, agar luas sawah yang terjangkau jaringan irigasi semakin luas," kata Suyoto, menjelaskan. Dimintai konfirmasi, Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Bojonegoro, Sarif Usman menyatakan, bagaimanapun juga, berubahnya daerah Bojonegoro yang semula merupakan daerah pertanian, menjadi kawasan industri migas, akan mengancam terjadinya penyusutan sawah baku. Pemkab, lanjutnya, harus melarang pemanfaatan sawah baku abadi yang menjadi sentra tanaman padi, untuk pengembangan industri migas, juga industri lainnya, termasuk perumahan. Berkurangnya lahan seluas 500 hektare di kawasan ring I migas Blok Cepu, bisa dipastikan mengurangi jumlah produksi tanaman padi di Bojonegoro. Ia menyayangkan, belum ada langkah yang riil untuk mempertahankan produksi tanaman padi yang hilang dari lahan seluas 500 hektare yang dimanfatkan untuk proyek Blok Cepu itu. Misalnya, dengan mengganti pompa air tanah yang bisa dimanfaatkan di sawah tadah hujan, yang semula hanya sekali panen, menjadi dua kali panen. Dengan demikian, lanjutnya, pemkab harus bisa mempertahankan luas sawah baku di daerah setempat, dengan melarang sawah yang mendapatkan irigasi teknis, dimanfaatkan untuk kebutuhan industri migas, juga industri lainnya, termasuk perumahan. "Dengan berubahnya Bojonegoro, menjadi daerah industri migas, yang jelas sawah baku akan terus berkurang, kalau bertambah jelas tidak mungkin," katanya, menegaskan. "Target peningkatan produksi beras sebesar 10 juta ton pada 2012 akan tercapai dengan menambah areal pertanian dan mendorong peningkatan produktivitas, kata Kepala Pusat Penyuluh Pertanian Kementerian Pertanian Momon Rusmono, ketika apel siaga tenaga bantu penyuluh pertanian se-Jatim di Desa Karangpilang, Kecamatan Kedungpring, Lamongan. Ia menjelaskan, peningkatan produksi 10 juta ton beras tersebut dilakukan dengan menambah areal pertanian di luar Jawa seluas 100 ribu hektare. Selain itu, juga melakukan intensifikasi produksi pertanian, mulai pemanfaatan pupuk yang tepat, pemilihan benih unggul, juga penanganan pasca-panen. "Kami juga terus berusaha meningkatkan pengembangan jaringan irigasi, untuk menambah luas areal tanam," katanya. (*) blok_cepu2007@yahoo.co.id/Slamet Agus Sudarmojo.

Pewarta:

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012