Oleh Edy M Ya'kub
Surabaya - Percaya atau tidak, konflik bernuansa agama di Indonesia itu hakekatnya tidak ada, kecuali konflik dalam bentuk lain bernuansa politik, masalah keluarga, dan persaingan antartetangga yang dikemas dengan agama.
Misalnya, konflik di Poso yang justru banyak warga Kristiani yang selamat karena dilindungi warga Muslim di basis Kristiani, atau banyak warga Muslim yang selamat karena dilindungi warga Kristiani di basis Muslim.
Itulah fakta yang ditemukan peserta pelatihan Jurnalisme Damai di beberapa wilayah di Poso (2001), kendati ada juga antartetangga yang tidak akur, namun hal itu bersifat pribadi dan terjadi pasca-konflik.
Hal yang sama juga terjadi di Sampang. Kalau konflik di Poso itu disulut konflik politik dalam pemilihan kepala daerah di tingkat lokal yang diseret ke soal agama, maka konflik di Sampang lebih bersifat konflik keluarga yang dikemas dalam bentuk konflik agama bernuansa Sunni-Syiah.
Fakta itu dikemukakan tokoh PCNU Kabupaten Sampang. "Sesama warga dua kelompok sebenarnya tidak ada masalah dan bertetangga," ujar Direktur Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) PCNU Kabupaten Sampang, Faidlol Mubarak.
Saat ditemui di PWNU Jatim (2/1), ia menjelaskan kasus yang memicu pembakaran di Sampang itu tidak terjadi seketika, namun berlangsung kurang lebih enam tahun.
"Sebenarnya, ada kesepakatan bersama antara pihak yang pro-kontra bersama pemerintah, namun pemimpin Syiah Sampang Ustadz Tajul Muluk menyelipkan nada provokasi dalam dakwahnya yang menyalahi kesepakatan," katanya.
Tidak jalannya sebagian kesepakatan itu menimbulkan masalah di antara keluarga dan akhirya berdampak buruk yang berakibat pada reaksi pembakaran. Awalnya, sebuah rumah dan madrasah milik Ustadz Tajuk Muluk di Desa Karang Gayam, Kecamatan Karangpenang, Sampang, Kamis (29/12) pagi, dibakar massa.
Setelah itu, aksi pembakaran rumah berkembang. Rumah yang dibakar massa pada siang harinya adalah milik Ustadz Iklil Almilal, penasehat Islam Syiah di Kabupaten Sampang, teman dekat pimpinan Syiah, Ustadz Tajul Muluk.
Tidak cukup itu, sekelompok massa pun melakukan penjarahan harta benda pengikut Syiah, Jumat (30/12) malam, di antaranya di rumah milik Ulul Albab (39), warga Dusun Gaddhing Laok, Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang.
"Harta benda yang dijarah antara lain sepeda motor, STNK, SIM, baju, dan semua isi rumah, bahkan semua isi toko yang berdampingan dengan rumah saya juga tidak ada yang tersisa," kata Ulul Albab, Sabtu (31/12).
Untuk melakukan penyelamatan darurat, pemerintah daerah setempat pun mengungsikan 351 orang dari kelompok Syiah setempat ke Gelanggang Olah Raga (GOR) Sampang.
Fakta serupa ditemukan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya. "Pada bulan April 2011 atau setahun silam, pihak Jamaah Syiah telah melaporkan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM kepada Komnas HAM," kata Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya, Andy Irfan J.
Tetapi, Komnas HAM tidak melakukan apapun sesuai kewenangan yang mereka miliki, sehingga terjadilah aksi pembakaran itu. "Sikap acuh tak acuh (pembiaran) dari pemerintah, kepolisian, dan Komnas HAM memicu pelanggaran HAM juga," katanya.
Kritik itu akhirnya mendorong Komisi Nasional HAM turun ke Sampang. "Mereka (Komnas HAM) sudah meminta keterangan korban pembakaran rumah di Sekretariat LBH Surabaya (Ustadz Tajul dan Iklil), lalu mereka turun ke Sampang," kata Direktur LBH Surabaya M Syaiful Aris di Surabaya (2/1).
Di sela-sela menerima kedatangan dua komisioner Komnas HAM Kabul Supriadi dan Esti Armiwulan itu, Aris menjelaskan mereka meminta keterangan dua korban pembakaran yang didampingi kuasa hukumnya terkait kronologis kejadian, lalu komisioner Komnas HAM itu turun ke lokasi kejadian.
Langkah serupa juga sudah dilakukan Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur. Polisi berjanji tidak akan menghentikan penyelidikan kasus pembakaran itu. "Upaya hukum tetap jalan terus, tapi polisi akan memprioritaskan pendekatan persuasif dan dialog," kata Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Rachmat Mulyana kepada ANTARA di Surabaya (30/12).
Waspadai provokasi-desain
Agaknya, provokasi yang menyalahi kesepakatan dan berbuntut pembakaran rumah itu ternyata tidak mereda akibat adanya provokasi dalam bentuk lain yakni provokasi media massa yang justru menyulitkan penyelesaian masalah itu sendiri.
"Terus terang, pemberitaan media massa juga cenderung provokatif sehingga tidak malah menyelesaikan masalah, seperti desakan pencopotan Kapolres Sampang, sehingga kami sulit berkoordinasi dengan polisi di lapangan untuk meredam situasi," kata Faidlol Mubarok dari PCNU Sampang.
Oleh karena itu, Direktur Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) PCNU Kabupaten Sampang itu meminta kepada pengungsi korban insiden yang mengungsi di GOR Sampang itu agar segera kembali ke rumah dan pihaknya akan menjamin perlindungan mereka.
Namun, provokasi dari lembaga resmi juga hampir saja terjadi, karena adanya pernyataan dari MUI Sampang bahwa Syiah itu sesat, tapi hal itu akhirnya "diluruskan" oleh MUI Pusat bahwa Syiah itu tidak sesat.
Masalahnya, ada media massa yang memuat pernyataan itu, meski hanya sebagian kecil, sehingga "provokasi" lewat media massa pun tidak membesar, padahal bila pernyataan itu muncul, maka "penyerangan" terhadap kelompok Syiah akan semakin meluas.
Selain itu, kelompok Mualaf Tengger pun ingin "meramaikan" insiden Sampang itu dengan peringatan 100 hari pembakaran masjid mualaf Tengger di Lumajang, namun media massa agaknya mampu "menahan diri" dengan melihat kasus itu secara arif bahwa pembakaran masjid itu juga tak lebih dari sekadar persaingan dalam klaim masjid yang tidak patut dipublikasikan.
Namun, PW GP Ansor Jatim juga meminta masyarakat untuk waspada dan bertindak arif dalam melihat apa yang sebenarnya terjadi di Sampang.
"Kami menduga ada desain konflik Sunni-Syiah untuk merusak Jatim, karena kejadian yang sama dengan isu yang sama baru saja terjadi di Bangil (insiden YAPI)," kata Sekretaris PW Ansor Jatim Imron Rosyadi Hamid.
Menurut dia, kewaspadaan tentang dugaan adanya desain itu penting untuk masyarakat agar tidak mudah terpancing dengan hal-hal serupa, karena itu tokoh masyarakat hendaknya mencegah kasus itu agar tidak meluas dan berkembang.
"Untuk anggota Ansor dan Banser, kami minta anggota Ansor dan warga NU untuk membantu aparat kepolisian guna mengembalikan kondusifitas keadaan agar upaya memperluas dan mengembangkan konflik dapat dicegah," katanya.
Ia mengharapkan anggota Banser membantu untuk menjaga segala fasilitas ibadah yang berpotensi mengalami perusakan susulan serta memberikan perlindungan kepada warga yang terancam keselamatannya.
"Kami juga berharap pemerintah mampu memberikan jaminan keselamatan dan keamanan bagi semua warga, termasuk penganut Syiah untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinan dan UUD 1945," katanya.
Bila konflik itu reda, lantas bagaimana menjamin konflik itu tidak terjadi lagi ?
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menilai konflik di Sampang itu harus dilokalisasi, karena apa yang terjadi memang bukan konflik Sunni-Syiah, tapi konflik keluarga. "Selama ini tidak ada perselisihan antara Sunni-Syiah di Indonesia, apalagi konflik NU-Syiah," katanya.
Solusi juga ditawarkan koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya, Andy Irfan J. Ia menilai pemerintah pusat dan daerah perlu membuat kebijakan yang secara khusus melindungi Jamaah Syiah di berbagai daerah, termasuk Sampang.
"Pemerintah juga perlu memulihkan semua hak-haknya yang terampas akibat tindak kekerasan yang menimpa mereka, sedangkan polisi dan Komnas HAM juga mengusut tuntas kasus itu secara pidana atau HAM," katanya.
Agaknya, upaya yuridis dari polisi dan Komnas HAM yang tegas serta regulasi yang aspiratif dari pemerintah pusat dan daerah itulah yang akan menghentikan konflik, karena konflik berbasis agama itu sesungguhnya tidak ada di Indonesia, apalagi di Sampang.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012