Abdul Bahaudin, akrab dipanggil Addin, tak pernah menyangka dirinya bisa keluar dari gejolak jiwa yang memandang kehidupan sebagai ancaman, bahkan "neraka".
Gejolak jiwa yang dialami anak pertama dari tiga bersaudara ini tergolong berat. Dalam ranah psikologi, remaja ini sudah masuk masuk pada kelompok asosial. Ia selalu merasa tidak nyaman bertemu dengan orang, bahkan dengan orang tuanya.
Hari-harinya diwarnai dengan rasa marah. Marah pada dirinya yang merasa tidak ada yang mau menerima. Marah pada orang lain yang dianggapnya sebagai ancaman.
Tidak bisa melampiaskan rasa marah itu, ia hanya bisa menggerutu, mengutuk diri, bahkan memaki, salah satunya dengan makian khas Surabaya. Ia mengistilahkan keadaan yang sering dirinya itu sebagai tantrum.
Tidak jarang remaja yang lahir di Probolinggo, 31 Oktober 2006, itu suka membanting barang yang ada di dekatnya. Bahkan, sempat terpikir juga untuk bunuh diri karena rasa frustrasinya yang memuncak.
"Beruntung" masih ada gim yang disediakan di gawai miliknya yang mau "menerima dia" apa adanya. Jiwanya merasa, dengan game tidak ada penghakiman pada dirinya. Maka, ia larut dan keranjingan dalam permainan atau gim hingga berjam-jam. Ia juga pernah bermain game tanpa jeda 3 x 24 jam, hingga 4 hari.
Saking takutnya dengan keadaan sosial, ia membenci istilah belajar. Puncaknya, ia tidak mau lagi masuk sekolah ketika masuk sekolah menengah pertama hanya bertahan 3 bulan. Ia berketetapan tidak mau lagi sekolah.
Dengan keputusannya itu, Addin tidak peduli dengan perasaan orang tuanya yang berstatus sosial tinggi. Ayahnya adalah guru besar di Departemen Teknik Infrastruktur Sipil, Fakultas Vokasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yakni Prof. Ridho Bayuaji, ST, MT, Ph.D, yang sejak 2021 diamanahi jabatan sebagai Kaprodi Program Profesi Insinyur Sekolah Interdisiplin Manajemen dan Teknologi (SIMT) ITS.
Addin sudah tidak peduli dengan apa penilaian orang pada keluarganya. Dia hanya peduli dengan diri dan menghayati diri sebagai yang paling menderita.
Addin mengakui bahwa meskipun sikap kedua orang tuanya lebih halus menghadapi keputusannya berhenti sekolah itu, bagi dia, hal itu tetap dirasakan sebagai ancaman yang tidak mengenakkan.
"Ayah ibu memang tidak marah, tapi jiwa saya tetap tidak bisa menerima keberadaan orang tua saya," katanya ketika berbincang dengan ANTARA.
Berubah
Kini, Addin sudah berubah. Ia bukan Addin yang dulu, yang takut berbicara dengan orang lain. Saat ini, ia sudah bisa bercerita dengan nyaman mengenai perjalanan jiwanya itu, setelah ia berhasil melampaui keadaan yang diliputi rasa tidak diterima, kemudian marah, dan sempat putus asa.
Keadaan jiwa bahwa hidup ini ternyata bersahabat, dimulai ketika ia mulai mau belajar Ilmu Kesadaran yang diampu oleh Bang Aswar di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Sebagaimana diceritakan, ia sangat benci dengan kata "belajar". Belajar dianggap ancaman karena ia harus bertemu dengan orang lain yang akan membersamainya. Di pikirannya, belajar bukan memberi pengalaman yang membahagiakan, apalagi mencerahkan. Belajar justru membuat dia merasa bodoh.
Kalau kemudian ia bisa masuk ke komunitas pembelajar Ilmu Kesadaran, itu merupakan hasil "jebakan" dari orang tuanya. Kala itu, ia diajak jalan-jalan, dengan alasan untuk menenangkan jiwa.
Pada pertengahan 2021, ia terpaksa ikut ajakan orang tuanya, yang entah mau ke mana, dia tidak tahu. Ia tahu ketika tiba di Semarang dan bertemu seseorang yang akrab disapa Bang Aswar untuk belajar Ilmu Kesadaran.
Maka, pikiran bahwa ini adalah "konspirasi jahat" untuk dirinya, muncul. Ia kembali terbawa pada rasa marah. Ia hanya menunduk ketika diajak bicara oleh Bang Aswar. Meskipun demikian, sudah ada rasa penerimaan dalam perjumpaan itu.
Addin sempat menceritakan keadaan jiwanya, termasuk aktivitasnya sebagai pengisi konten di media sosial dan permainan game yang selama ini dijalaninya. Bang Aswar kemudian mengambil peta kesadaran yang disusun David Ramon Hawkins, Ph.D, psikiater yang meneliti Ilmu Kesadaran untuk disertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul "Power Vs Force".
Bang Aswar saat itu menunjukkan tabel-tabel nature (keadaan alamiah) jiwa yang dialami oleh Addin, mulai dari shame (level 20), grief (75), fear (100), anger (100), dan lainnya. Saat itu, Addin langsung menunjuk angka 1.000 atau pencerahan dan bertanya bagaimana caranya agar bisa langsung mencapai LoC 1.000.
Sekitar 6 bulan di Semarang, tepatnya November 2021, Addin mulai merasakan perubahan pada jiwanya. Ia mulai menerima keadaan, terus semakin nyaman untuk belajar. Dua orang yang dia ingat memberikan andil pada rasa nyaman itu adalah Anas dan Fadil, sesama pembelajar Ilmu Kesadaran, yang usianya lebih tua 2 tahun dari dia.
Belajar Ilmu Kesadaran tidak bisa dilepaskan dari istilah level kesadaran atau level of consciousness (LoC) yang telah dipetakan oleh David Ramon Hawkins, dari hasil penelitiannya mengenai perjalanan jiwa yang progresif selama sekitar 20 tahun.
Hasil penelitian Hawkins itu menghasilkan pemetaan keadaan jiwa dengan level kesadaran, mulai 20 hingga 1.000. Hawkins membagi level kesadaran itu dalam dua istilah yang force (20 -- 175) yang menunjukkan kuatnya ego yang menggerakkan jiwa seseorang dan power dengan angka level 200 -- 1.000 yang menunjukkan jiwa seseorang telah mampu keluar dari jeratan ego.
Angka-angka dari 20 hingga 1.000 menunjukkan keadaan jiwa, seperti 20 (shame) yang bermakna seseorang terkungkung dalam rasa rendah diri dan takut pada penilaian orang lain, 30 (guilt) yang berarti seseorang terkungkung dalam rasa bersalah sehingga tidak merasa berguna dan cenderung menghukum diri.
Pertama kali dikalibrasi, LoC Addin 117, yang berarti masih dikuasai oleh ego. Rupanya interaksi yang dijalani dengan terpaksa dalam belajar Ilmu Kesadaran itu mampu mentransendensikan jiwa untuk keluar dari keadaan jiwa yang force. Ketika dikalibrasi berikutnya, sudah naik ke-250 alias netralitas. Dengan LoC itu, artinya dia sudah mampu melepas jeratan-jeratan jiwanya karena sudah bisa terhubung dengan nilai-nilai (spirit).
Ia kian bertambah semangat untuk belajar, apalagi setelah LoC-nya terus progresif naik dan rasa nyaman menjalani hidup semakin terasa.
Jiwa Addin terus sembuh dan bertumbuh hingga mencapai LoC 500+ (cinta kasih) dan saat ini sudah 687 (jiwa yang terhubung dengan alam semesta).
Meskipun tarikan ke keadaan jiwa yang menganggap orang lain sebagai ancaman, sesekali masih muncul, ia lebih mudah melampaui atau mengatasi keadaan itu.
Kini, ketika orang tuanya mengajak Addin berbicara di depan umum untuk bercerita mengenai progres jiwanya, ia mulai menerima tantangan itu dan dengan lancar bercerita.
Bahkan, dalam beberapa bulan ini, Addin sudah bisa mengubah kebiasaannya dari keranjingan game menjadi kecanduan membaca buku. Addin merasa, panggilan jiwanya semakin kuat untuk terus belajar guna menaikkan level kesadarannya.
Apalagi, ayahnya kemudian memberikan rangsangan berupa hadiah Rp500 ribu ketika menyelesaikan bacaan satu judul buku. Sebagai wujud syukur, Prof. Ridho kini menaikkan hadiah itu menjadi Rp750.000 untuk satu judul buku yang dibaca Addin.
Addin sendiri sangat bersyukur, sampai saat ini sudah mampu menyelesaikan membaca enam judul buku. Meskipun diakui bahwa sesekali dia juga masih mengunjungi "ruang jiwa" lamanya untuk bermain game, tarikannya sudah tidak sekuat sebelumnya.
Addin semakin menyadari bahwa untuk berubah, seseorang tidak bisa dipaksa oleh yang di luar, melainkan harus dari dalam dirinya, dengan cara terus belajar. Dengan berubah lewat pendalaman ilmu kesadaran, maka ia bertekad menularkan ilmu ini kepada masyarakat lain, khususnya anak-anak muda yang mengalami keadaan jiwa seperti dirinya di masa lalu.
Bagi Ari Destari, ibu Addin, apa yang dialami anak dan dirinya bersama suami bisa menjadi pelajaran besar bagi anak dan orang tua lainnya jika menghadapi hal serupa. Anak-anak yang bermasalah bukanlah kiamat yang harus terus diratapi. Selalu ada jalan keluar jika kita tidak berputus asa mencari jalan, salah satunya dengan Ilmu Kesadaran.
Hal yang diingatkan betul oleh Ari adalah bagaimana antara anak dengan orang tua sama-sama terselamatkan jiwanya dalam menghadapi kasus, seberat apa pun bebannya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
Gejolak jiwa yang dialami anak pertama dari tiga bersaudara ini tergolong berat. Dalam ranah psikologi, remaja ini sudah masuk masuk pada kelompok asosial. Ia selalu merasa tidak nyaman bertemu dengan orang, bahkan dengan orang tuanya.
Hari-harinya diwarnai dengan rasa marah. Marah pada dirinya yang merasa tidak ada yang mau menerima. Marah pada orang lain yang dianggapnya sebagai ancaman.
Tidak bisa melampiaskan rasa marah itu, ia hanya bisa menggerutu, mengutuk diri, bahkan memaki, salah satunya dengan makian khas Surabaya. Ia mengistilahkan keadaan yang sering dirinya itu sebagai tantrum.
Tidak jarang remaja yang lahir di Probolinggo, 31 Oktober 2006, itu suka membanting barang yang ada di dekatnya. Bahkan, sempat terpikir juga untuk bunuh diri karena rasa frustrasinya yang memuncak.
"Beruntung" masih ada gim yang disediakan di gawai miliknya yang mau "menerima dia" apa adanya. Jiwanya merasa, dengan game tidak ada penghakiman pada dirinya. Maka, ia larut dan keranjingan dalam permainan atau gim hingga berjam-jam. Ia juga pernah bermain game tanpa jeda 3 x 24 jam, hingga 4 hari.
Saking takutnya dengan keadaan sosial, ia membenci istilah belajar. Puncaknya, ia tidak mau lagi masuk sekolah ketika masuk sekolah menengah pertama hanya bertahan 3 bulan. Ia berketetapan tidak mau lagi sekolah.
Dengan keputusannya itu, Addin tidak peduli dengan perasaan orang tuanya yang berstatus sosial tinggi. Ayahnya adalah guru besar di Departemen Teknik Infrastruktur Sipil, Fakultas Vokasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yakni Prof. Ridho Bayuaji, ST, MT, Ph.D, yang sejak 2021 diamanahi jabatan sebagai Kaprodi Program Profesi Insinyur Sekolah Interdisiplin Manajemen dan Teknologi (SIMT) ITS.
Addin sudah tidak peduli dengan apa penilaian orang pada keluarganya. Dia hanya peduli dengan diri dan menghayati diri sebagai yang paling menderita.
Addin mengakui bahwa meskipun sikap kedua orang tuanya lebih halus menghadapi keputusannya berhenti sekolah itu, bagi dia, hal itu tetap dirasakan sebagai ancaman yang tidak mengenakkan.
"Ayah ibu memang tidak marah, tapi jiwa saya tetap tidak bisa menerima keberadaan orang tua saya," katanya ketika berbincang dengan ANTARA.
Berubah
Kini, Addin sudah berubah. Ia bukan Addin yang dulu, yang takut berbicara dengan orang lain. Saat ini, ia sudah bisa bercerita dengan nyaman mengenai perjalanan jiwanya itu, setelah ia berhasil melampaui keadaan yang diliputi rasa tidak diterima, kemudian marah, dan sempat putus asa.
Keadaan jiwa bahwa hidup ini ternyata bersahabat, dimulai ketika ia mulai mau belajar Ilmu Kesadaran yang diampu oleh Bang Aswar di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Sebagaimana diceritakan, ia sangat benci dengan kata "belajar". Belajar dianggap ancaman karena ia harus bertemu dengan orang lain yang akan membersamainya. Di pikirannya, belajar bukan memberi pengalaman yang membahagiakan, apalagi mencerahkan. Belajar justru membuat dia merasa bodoh.
Kalau kemudian ia bisa masuk ke komunitas pembelajar Ilmu Kesadaran, itu merupakan hasil "jebakan" dari orang tuanya. Kala itu, ia diajak jalan-jalan, dengan alasan untuk menenangkan jiwa.
Pada pertengahan 2021, ia terpaksa ikut ajakan orang tuanya, yang entah mau ke mana, dia tidak tahu. Ia tahu ketika tiba di Semarang dan bertemu seseorang yang akrab disapa Bang Aswar untuk belajar Ilmu Kesadaran.
Maka, pikiran bahwa ini adalah "konspirasi jahat" untuk dirinya, muncul. Ia kembali terbawa pada rasa marah. Ia hanya menunduk ketika diajak bicara oleh Bang Aswar. Meskipun demikian, sudah ada rasa penerimaan dalam perjumpaan itu.
Addin sempat menceritakan keadaan jiwanya, termasuk aktivitasnya sebagai pengisi konten di media sosial dan permainan game yang selama ini dijalaninya. Bang Aswar kemudian mengambil peta kesadaran yang disusun David Ramon Hawkins, Ph.D, psikiater yang meneliti Ilmu Kesadaran untuk disertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul "Power Vs Force".
Bang Aswar saat itu menunjukkan tabel-tabel nature (keadaan alamiah) jiwa yang dialami oleh Addin, mulai dari shame (level 20), grief (75), fear (100), anger (100), dan lainnya. Saat itu, Addin langsung menunjuk angka 1.000 atau pencerahan dan bertanya bagaimana caranya agar bisa langsung mencapai LoC 1.000.
Sekitar 6 bulan di Semarang, tepatnya November 2021, Addin mulai merasakan perubahan pada jiwanya. Ia mulai menerima keadaan, terus semakin nyaman untuk belajar. Dua orang yang dia ingat memberikan andil pada rasa nyaman itu adalah Anas dan Fadil, sesama pembelajar Ilmu Kesadaran, yang usianya lebih tua 2 tahun dari dia.
Belajar Ilmu Kesadaran tidak bisa dilepaskan dari istilah level kesadaran atau level of consciousness (LoC) yang telah dipetakan oleh David Ramon Hawkins, dari hasil penelitiannya mengenai perjalanan jiwa yang progresif selama sekitar 20 tahun.
Hasil penelitian Hawkins itu menghasilkan pemetaan keadaan jiwa dengan level kesadaran, mulai 20 hingga 1.000. Hawkins membagi level kesadaran itu dalam dua istilah yang force (20 -- 175) yang menunjukkan kuatnya ego yang menggerakkan jiwa seseorang dan power dengan angka level 200 -- 1.000 yang menunjukkan jiwa seseorang telah mampu keluar dari jeratan ego.
Angka-angka dari 20 hingga 1.000 menunjukkan keadaan jiwa, seperti 20 (shame) yang bermakna seseorang terkungkung dalam rasa rendah diri dan takut pada penilaian orang lain, 30 (guilt) yang berarti seseorang terkungkung dalam rasa bersalah sehingga tidak merasa berguna dan cenderung menghukum diri.
Pertama kali dikalibrasi, LoC Addin 117, yang berarti masih dikuasai oleh ego. Rupanya interaksi yang dijalani dengan terpaksa dalam belajar Ilmu Kesadaran itu mampu mentransendensikan jiwa untuk keluar dari keadaan jiwa yang force. Ketika dikalibrasi berikutnya, sudah naik ke-250 alias netralitas. Dengan LoC itu, artinya dia sudah mampu melepas jeratan-jeratan jiwanya karena sudah bisa terhubung dengan nilai-nilai (spirit).
Ia kian bertambah semangat untuk belajar, apalagi setelah LoC-nya terus progresif naik dan rasa nyaman menjalani hidup semakin terasa.
Jiwa Addin terus sembuh dan bertumbuh hingga mencapai LoC 500+ (cinta kasih) dan saat ini sudah 687 (jiwa yang terhubung dengan alam semesta).
Meskipun tarikan ke keadaan jiwa yang menganggap orang lain sebagai ancaman, sesekali masih muncul, ia lebih mudah melampaui atau mengatasi keadaan itu.
Kini, ketika orang tuanya mengajak Addin berbicara di depan umum untuk bercerita mengenai progres jiwanya, ia mulai menerima tantangan itu dan dengan lancar bercerita.
Bahkan, dalam beberapa bulan ini, Addin sudah bisa mengubah kebiasaannya dari keranjingan game menjadi kecanduan membaca buku. Addin merasa, panggilan jiwanya semakin kuat untuk terus belajar guna menaikkan level kesadarannya.
Apalagi, ayahnya kemudian memberikan rangsangan berupa hadiah Rp500 ribu ketika menyelesaikan bacaan satu judul buku. Sebagai wujud syukur, Prof. Ridho kini menaikkan hadiah itu menjadi Rp750.000 untuk satu judul buku yang dibaca Addin.
Addin sendiri sangat bersyukur, sampai saat ini sudah mampu menyelesaikan membaca enam judul buku. Meskipun diakui bahwa sesekali dia juga masih mengunjungi "ruang jiwa" lamanya untuk bermain game, tarikannya sudah tidak sekuat sebelumnya.
Addin semakin menyadari bahwa untuk berubah, seseorang tidak bisa dipaksa oleh yang di luar, melainkan harus dari dalam dirinya, dengan cara terus belajar. Dengan berubah lewat pendalaman ilmu kesadaran, maka ia bertekad menularkan ilmu ini kepada masyarakat lain, khususnya anak-anak muda yang mengalami keadaan jiwa seperti dirinya di masa lalu.
Bagi Ari Destari, ibu Addin, apa yang dialami anak dan dirinya bersama suami bisa menjadi pelajaran besar bagi anak dan orang tua lainnya jika menghadapi hal serupa. Anak-anak yang bermasalah bukanlah kiamat yang harus terus diratapi. Selalu ada jalan keluar jika kita tidak berputus asa mencari jalan, salah satunya dengan Ilmu Kesadaran.
Hal yang diingatkan betul oleh Ari adalah bagaimana antara anak dengan orang tua sama-sama terselamatkan jiwanya dalam menghadapi kasus, seberat apa pun bebannya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024