Direktur pertama Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya (1975 -1986) KH. Muhammad Thohir, Sp.KJ, wafat di Surabaya, Jumat (3/11) sekitar pukul 04.21 WIB.
"Salah satu dokter yang dimiliki NU pada era tahun 1980-an itu sempat dirawat di rumah sakit yang didirikan para tokoh NU Surabaya, selama beberapa hari sebelumnya," kata mantan staf Sekretariat PWNU Jatim (1998-2013) Ah. Zaini Ilyas.
Menurut dia, almarhum KH. Muhammad Thohir yang akrab disapa Cak Mat itu merupakan aktivis organisasi sejak muda, mulai dari IPNU, PMII hingga ke PWNU Jatim.
"Beliau lahir dari seorang ayah bernama KH. Thohir Syamsuddin di Peneleh. Itu daerah yang sejak kemerdekaan merupakan 'rumah' para pejuang, seperti Bung Karno dan HOS Cokroaminoto," katanya.
Sejak kecil, almarhum sudah terbiasa dengan organisasi pergerakan. "Beliau aktif di IPNU Kota Surabaya seangkatan dengan Bapak Syumli Sadeli dan KH Sholeh Hayat," katanya.
Ketika kuliah di Unair, almarhum aktif di PMII. "Salah satu jasa beliau sebagai pimpinan PMII adalah mengupayakan kantor PMII yang kemudian tukar guling dengan Gramedia di Jalan Basuki Rahmad Surabaya," katanya.
Baca juga: Khofifah optimistis pelayanan modern RSI Surabaya terpercaya bagi masyarakat
Setelah lulus dari Kedokteran, dokter muda NU era 1980-an itu bertugas di beberapa tempat, mulai dari RS Pasuruan hingga menjadi Direktur RS Jiwa Menur Surabaya.
Selain itu, almarhum juga "dipasrahi" oleh tokoh NU Surabaya KH Zakky Ghufran (Ketua Yayasan RSI Surabaya) untuk menjadi Direktur RSI Surabaya. Jasanya selama memimpin RSI Surabaya adalah ikhtiar mengupayakan perluasan RSI ke Jemursari dengan mencarikan terobosan pendanaan ke IDB hingga RSI Jemursari berdiri sekarang.
"Bersama KH. Zakky Ghufran, beliau kemudian menyerahkan RSI Surabaya kepada NU, yang pengelolaannya akhirnya ditangani PBNU sejak masa KH Hasyim Muzadi menjadi Ketua Umum PBNU," katanya.
Almarhum yang satu saudara dengan KH. Anas Thohir juga pejuang perintis Majalah Aula NU Jawa Timur dan perintis rumah sakit dan BKIA NU di Jatim dan Jateng, serta sempat menjadi Ketua Yayasan Pendidikan dan Sosial NU "Khadijah" Surabaya.
Ketika menjabat Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, almarhum sangat aktif, bahkan ketika Muktamar NU di Situbondo (1984) juga masuk dalam Tim Perumus Khittah NU 1926 bersama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Dr dr Fahmi D Syaifuddin (putra KH. Syaifudin Zuhri).
"Istri almarhum adalah Keturunan Bani Shiddiq Jember, sehingga tidak mengherankan jika beliau juga ikut membantu pendirian RSI Pati, karena dari jalur istri masih ada hubungan kekerabatan dengan para pejuang NU Pati," katanya.
Selain menjadi birokrat yang aktivitas NU, almarhum juga rajin menulis buku, seperti Maghfiroh Total, Ayat-Ayat Tauhid, Tafakur Umat Qur'ani, Menjadi Manusia Pilihan dengan Jiwa Besar, dan buku-buku puisi yang agamis.
"Kita semua merasa kehilangan seorang yang semangat berjuangnya cukup tinggi di tengah kesibukannya sebagai abdi negara masih meluangkan waktu untuk NU," kata Zaini yang pernah menjadi khodam/pelayan almarhum saat di PWNU Jatim.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023
"Salah satu dokter yang dimiliki NU pada era tahun 1980-an itu sempat dirawat di rumah sakit yang didirikan para tokoh NU Surabaya, selama beberapa hari sebelumnya," kata mantan staf Sekretariat PWNU Jatim (1998-2013) Ah. Zaini Ilyas.
Menurut dia, almarhum KH. Muhammad Thohir yang akrab disapa Cak Mat itu merupakan aktivis organisasi sejak muda, mulai dari IPNU, PMII hingga ke PWNU Jatim.
"Beliau lahir dari seorang ayah bernama KH. Thohir Syamsuddin di Peneleh. Itu daerah yang sejak kemerdekaan merupakan 'rumah' para pejuang, seperti Bung Karno dan HOS Cokroaminoto," katanya.
Sejak kecil, almarhum sudah terbiasa dengan organisasi pergerakan. "Beliau aktif di IPNU Kota Surabaya seangkatan dengan Bapak Syumli Sadeli dan KH Sholeh Hayat," katanya.
Ketika kuliah di Unair, almarhum aktif di PMII. "Salah satu jasa beliau sebagai pimpinan PMII adalah mengupayakan kantor PMII yang kemudian tukar guling dengan Gramedia di Jalan Basuki Rahmad Surabaya," katanya.
Baca juga: Khofifah optimistis pelayanan modern RSI Surabaya terpercaya bagi masyarakat
Setelah lulus dari Kedokteran, dokter muda NU era 1980-an itu bertugas di beberapa tempat, mulai dari RS Pasuruan hingga menjadi Direktur RS Jiwa Menur Surabaya.
Selain itu, almarhum juga "dipasrahi" oleh tokoh NU Surabaya KH Zakky Ghufran (Ketua Yayasan RSI Surabaya) untuk menjadi Direktur RSI Surabaya. Jasanya selama memimpin RSI Surabaya adalah ikhtiar mengupayakan perluasan RSI ke Jemursari dengan mencarikan terobosan pendanaan ke IDB hingga RSI Jemursari berdiri sekarang.
"Bersama KH. Zakky Ghufran, beliau kemudian menyerahkan RSI Surabaya kepada NU, yang pengelolaannya akhirnya ditangani PBNU sejak masa KH Hasyim Muzadi menjadi Ketua Umum PBNU," katanya.
Almarhum yang satu saudara dengan KH. Anas Thohir juga pejuang perintis Majalah Aula NU Jawa Timur dan perintis rumah sakit dan BKIA NU di Jatim dan Jateng, serta sempat menjadi Ketua Yayasan Pendidikan dan Sosial NU "Khadijah" Surabaya.
Ketika menjabat Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, almarhum sangat aktif, bahkan ketika Muktamar NU di Situbondo (1984) juga masuk dalam Tim Perumus Khittah NU 1926 bersama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Dr dr Fahmi D Syaifuddin (putra KH. Syaifudin Zuhri).
"Istri almarhum adalah Keturunan Bani Shiddiq Jember, sehingga tidak mengherankan jika beliau juga ikut membantu pendirian RSI Pati, karena dari jalur istri masih ada hubungan kekerabatan dengan para pejuang NU Pati," katanya.
Selain menjadi birokrat yang aktivitas NU, almarhum juga rajin menulis buku, seperti Maghfiroh Total, Ayat-Ayat Tauhid, Tafakur Umat Qur'ani, Menjadi Manusia Pilihan dengan Jiwa Besar, dan buku-buku puisi yang agamis.
"Kita semua merasa kehilangan seorang yang semangat berjuangnya cukup tinggi di tengah kesibukannya sebagai abdi negara masih meluangkan waktu untuk NU," kata Zaini yang pernah menjadi khodam/pelayan almarhum saat di PWNU Jatim.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023