Dokter spesialis mata dr Lydia Nuradianti Sp.M merasa lega perkaranya telah mendapat kepastian hukum, setidaknya di pengadilan tingkat pertama. Mantan direkturnya di Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya, dr H Sudjarno W, Sp.M pada Kamis, 28 Januari lalu, divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya.
Dari balik kaca mata pelindung "droplets" virus Corona (COVID-19) yang dikenakannya saat ditemui di Surabaya pada Sabtu, 30 Januari, dia mengenang kejadian empat tahun silam yang tanpa diduga menyeretnya pada perkara terkait dengan etika profesi-nya sebagai dokter.
Tepatnya pada 29 November 2017, datang seorang pasien di RS Mata Undaan. Alessandrasesha Santoso, nama pasien itu, terindetifikasi mengalami infeksi sehingga mengakibatkan bengkak yang menyebabkan terjadi benjolan di kelopak matanya.
RS Mata Undaan memutuskan penanganan medis dengan cara operasi incisi hordeolum yang ditangani oleh dr Lydia Nuradianti Sp.M.
Namun, setelah dioperasi kondisi pasien tak kunjung membaik. Setelah perban dibuka pascaoperasi matanya tetap merah.
Faktanya pasien Alessandra tidak pernah dioperasi oleh dr Lydia. Belakangan diketahui yang mengoperasinya adalah seorang perawat RS Mata Undaan bernama Anggi Surya Arsana, A.Md.Kep.
"Saya mengoperasi sebanyak tujuh hingga delapan pasien di RS Mata Undaan setiap harinya. Pada hari itu saya sama sekali tidak menangani operasi pasien yang dimaksud dan tidak pernah memerintahkan orang lain untuk mengoperasinya," kata dr Lydia, mengawali cerita dari balik masker pelindung COVID-19 bermotif warna merah yang membalut paras cantiknya.
Surat peringatan
RS Mata Undaan Surabaya melalui Direktur dr H Sudjarwo W, Sp.M kemudian menerbitkan surat peringatan atau teguran tertulis kepada dr Lydia yang dituding paling bertanggung jawab atas insiden malapraktik tersebut.
Saat bersaksi sebagai terdakwa, dalam proses persidangan perkara ini di Pengadilan Negari Surabaya pada 27 Agustus 2020, dr Sudjarno menyebut pihak RS Mata Undaan telah mengadakan mediasi dan membayar ganti rugi sebesar Rp400 juta untuk perdamaian agar tidak ada tuntutan hukum, setelah pasien melalui pengacaranya melayangkan somasi.
Sumarso, yang bertindak sebagai kuasa hukum terdakwa, usai persidangan saat itu, menandaskan bahwa surat peringatan yang diterbitkan kepada dr Lidya merupakan tindakan kolektif dari Direksi RS Mata Undaan, setelah terlebih dulu ditandatangani wakil direktur dan ditembuskan kepada tim medik.
"Dalam bukti berita acara disebutkan bahwa seorang perawat diperintahkan oleh dr Lidya untuk melakukan operasi kepada pasien. Tindakan dr Lidya yang dianggap menyalahi SOP, dikomplain sama pasien. Demi melindungi dr Lidya dari tuntutan hukum, rumah sakit membantu mediasi dengan menyelesaikan secara damai dan memberi ganti rugi Rp400 juta," ujarnya.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang dipimpin Cokorda Gede Arthana, saat menjatuhkan vonis terhadap dr Sudjarno pada 28 Januari lalu, salah satunya mengacu pada pertimbangan hukum putusan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) No: 06/MKEK/IDI-SBY/VII/2018 tanggal 20 Agustus 2018, yang menetapkan dr Lydia Nuradianti Sp.M tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Baca juga: Mantan Direktur RS Mata Undaan ungkap awal mula kasus dirinya
Baca juga: Tunjukkan semangat perubahan, RS Mata Undaan perkenalkan logo baru
Sudjarno yang kehilangan jabatannya sebagai Direktur Operasional di RS Mata Undaan Surabaya selama proses hukum berlangsung dinilai bersalah melanggar Pasal 311 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik, dengan hukuman pidana tiga bulan penjara percobaan.
"Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam dakwaan jaksa penuntut umum," ucap Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana.
Meski dengan vonis tersebut dr Sudjarno, yang kini duduk di Dewan Pengawas RS Mata Undaan Surabaya, tidak perlu menjalani hukuman badan, melalui kuasa hukumnya saat itu juga langsung menyatakan perlawanan banding.
Tuduhan malapraktik
Lydia merasa harus menyeret Mantan Direktur-nya di RS Mata Undaan Surabaya itu ke meja hijau karena tidak terima diberi surat peringatan yang menyatakan dirinya sebagai orang paling bertanggung jawab atas terjadinya malapraktik terhadap pasien Alessandra yang memang tidak pernah ditanganinya.
Menurutnya, keterangan perawat Anggi Surya Arsana di bukti berita acara, sebagaimana juga diungkapkan dalam proses persidangan, yang mengaku melakukan operasi terhadap pasien atas perintah dirinya, berbeda dengan surat pernyataan yang pernah disampaikan kepada pihak direksi RS Mata Undaan.
Lydia masih menyimpan salinan surat pernyataan yang ditandatangani perawat Anggi saat diserahkan ke Direksi RS Mata Undaan, yang dalam salah satu poin menyatakan melakukan operasi terhadap pasien Alessandra atas inisiatif sendiri.
Konon, di RS Mata Undaan kerap terjadi operasi pasien ditangani oleh perawat. Namun, Lydia mengaku tidak mengetahui kebenaran desas-desus itu.
Terlebih, menurutnya, tidak ada keuntungan materi bagi perawat yang mengambil inisiatif melakukan operasi terhadap pasien, sebab segala biaya pengobatan di RS Mata Undaan dibayar di sebuah loket yang telah ditentukan. Selain itu juga melanggar etika perawat, yang berisiko izin keperawatannya dicabut.
Dalam kasus operasi yang dilakukan perawat Anggi, diduga karena pasiennya seorang perempuan cantik. Diperoleh informasi saat dilakukan operasi, banyak perawat laki-laki lain yang mengintip dari celah-celah ruangan yang digunakan untuk operasi yang juga diduga tidak steril itu.
Perawat Anggi termasuk beruntung, karena hanya dengan permintaan maaf dengan membuat surat pernyataan, sampai sekarang tetap dipekerjakan di RS Mata Undaan.
Sementara dr Lydia merasa menjadi kambing hitam karena rekomendasi operasi terhadap pasien ditentukan oleh petugas dari loket di RS Mata Undaan Surabaya yang telah tertulis atas namanya.
"Saya tidak tahu kalau ada proses mediasi dengan pasien dengan kompensasi Rp400 juta yang dibayarkan oleh RS Mata Undaan. Setahu saya waktu itu saya diminta oleh Direksi RS Mata Undaan untuk menyelesaikan secara kekeluargaan dengan pasien dan telah saya lakukan. Saya tahunya ada kompensasi yang dibayar pihak RS senilai Rp400 juta malah dari pemberitaan media," ucap dia.
Menurutnya, saat melaporkan perkara ini ke Polrestabes Surabaya, masalah dengan pihak keluarga pasien telah tuntas tanpa ada campur tangan dari pihak RS Mata Undaan apalagi dengan membayar kompensasi Rp400 juta seperti yang ramai diberitakan.
"Saya lapor ke Polrestabes Surabaya sekitar tujuh bulan setelah kejadian. Karena masalah dengan pasien sudah selesai dan pihak RS Mata Undaan tidak mau mencabut surat peringatan terhadap saya," katanya.
Saat proses penyelidikan di Polrestabes Surabaya, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kemudian menerbitkan putusan MKEK Nomor: 06/MKEK/IDI-SBY/VII/2018 tanggal 20 Agustus 2018, yang menyatakan dr Lydia Nuradianti Sp.M tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Sebuah putusan penting bagi Lydia yang akhirnya digunakan menjadi salah satu pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam memenangkan laporan perkaranya, serta memulihkan nama baiknya dalam menjalankan profesi sebagai dokter.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
Dari balik kaca mata pelindung "droplets" virus Corona (COVID-19) yang dikenakannya saat ditemui di Surabaya pada Sabtu, 30 Januari, dia mengenang kejadian empat tahun silam yang tanpa diduga menyeretnya pada perkara terkait dengan etika profesi-nya sebagai dokter.
Tepatnya pada 29 November 2017, datang seorang pasien di RS Mata Undaan. Alessandrasesha Santoso, nama pasien itu, terindetifikasi mengalami infeksi sehingga mengakibatkan bengkak yang menyebabkan terjadi benjolan di kelopak matanya.
RS Mata Undaan memutuskan penanganan medis dengan cara operasi incisi hordeolum yang ditangani oleh dr Lydia Nuradianti Sp.M.
Namun, setelah dioperasi kondisi pasien tak kunjung membaik. Setelah perban dibuka pascaoperasi matanya tetap merah.
Faktanya pasien Alessandra tidak pernah dioperasi oleh dr Lydia. Belakangan diketahui yang mengoperasinya adalah seorang perawat RS Mata Undaan bernama Anggi Surya Arsana, A.Md.Kep.
"Saya mengoperasi sebanyak tujuh hingga delapan pasien di RS Mata Undaan setiap harinya. Pada hari itu saya sama sekali tidak menangani operasi pasien yang dimaksud dan tidak pernah memerintahkan orang lain untuk mengoperasinya," kata dr Lydia, mengawali cerita dari balik masker pelindung COVID-19 bermotif warna merah yang membalut paras cantiknya.
Surat peringatan
RS Mata Undaan Surabaya melalui Direktur dr H Sudjarwo W, Sp.M kemudian menerbitkan surat peringatan atau teguran tertulis kepada dr Lydia yang dituding paling bertanggung jawab atas insiden malapraktik tersebut.
Saat bersaksi sebagai terdakwa, dalam proses persidangan perkara ini di Pengadilan Negari Surabaya pada 27 Agustus 2020, dr Sudjarno menyebut pihak RS Mata Undaan telah mengadakan mediasi dan membayar ganti rugi sebesar Rp400 juta untuk perdamaian agar tidak ada tuntutan hukum, setelah pasien melalui pengacaranya melayangkan somasi.
Sumarso, yang bertindak sebagai kuasa hukum terdakwa, usai persidangan saat itu, menandaskan bahwa surat peringatan yang diterbitkan kepada dr Lidya merupakan tindakan kolektif dari Direksi RS Mata Undaan, setelah terlebih dulu ditandatangani wakil direktur dan ditembuskan kepada tim medik.
"Dalam bukti berita acara disebutkan bahwa seorang perawat diperintahkan oleh dr Lidya untuk melakukan operasi kepada pasien. Tindakan dr Lidya yang dianggap menyalahi SOP, dikomplain sama pasien. Demi melindungi dr Lidya dari tuntutan hukum, rumah sakit membantu mediasi dengan menyelesaikan secara damai dan memberi ganti rugi Rp400 juta," ujarnya.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang dipimpin Cokorda Gede Arthana, saat menjatuhkan vonis terhadap dr Sudjarno pada 28 Januari lalu, salah satunya mengacu pada pertimbangan hukum putusan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) No: 06/MKEK/IDI-SBY/VII/2018 tanggal 20 Agustus 2018, yang menetapkan dr Lydia Nuradianti Sp.M tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Baca juga: Mantan Direktur RS Mata Undaan ungkap awal mula kasus dirinya
Baca juga: Tunjukkan semangat perubahan, RS Mata Undaan perkenalkan logo baru
Sudjarno yang kehilangan jabatannya sebagai Direktur Operasional di RS Mata Undaan Surabaya selama proses hukum berlangsung dinilai bersalah melanggar Pasal 311 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik, dengan hukuman pidana tiga bulan penjara percobaan.
"Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam dakwaan jaksa penuntut umum," ucap Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana.
Meski dengan vonis tersebut dr Sudjarno, yang kini duduk di Dewan Pengawas RS Mata Undaan Surabaya, tidak perlu menjalani hukuman badan, melalui kuasa hukumnya saat itu juga langsung menyatakan perlawanan banding.
Tuduhan malapraktik
Lydia merasa harus menyeret Mantan Direktur-nya di RS Mata Undaan Surabaya itu ke meja hijau karena tidak terima diberi surat peringatan yang menyatakan dirinya sebagai orang paling bertanggung jawab atas terjadinya malapraktik terhadap pasien Alessandra yang memang tidak pernah ditanganinya.
Menurutnya, keterangan perawat Anggi Surya Arsana di bukti berita acara, sebagaimana juga diungkapkan dalam proses persidangan, yang mengaku melakukan operasi terhadap pasien atas perintah dirinya, berbeda dengan surat pernyataan yang pernah disampaikan kepada pihak direksi RS Mata Undaan.
Lydia masih menyimpan salinan surat pernyataan yang ditandatangani perawat Anggi saat diserahkan ke Direksi RS Mata Undaan, yang dalam salah satu poin menyatakan melakukan operasi terhadap pasien Alessandra atas inisiatif sendiri.
Konon, di RS Mata Undaan kerap terjadi operasi pasien ditangani oleh perawat. Namun, Lydia mengaku tidak mengetahui kebenaran desas-desus itu.
Terlebih, menurutnya, tidak ada keuntungan materi bagi perawat yang mengambil inisiatif melakukan operasi terhadap pasien, sebab segala biaya pengobatan di RS Mata Undaan dibayar di sebuah loket yang telah ditentukan. Selain itu juga melanggar etika perawat, yang berisiko izin keperawatannya dicabut.
Dalam kasus operasi yang dilakukan perawat Anggi, diduga karena pasiennya seorang perempuan cantik. Diperoleh informasi saat dilakukan operasi, banyak perawat laki-laki lain yang mengintip dari celah-celah ruangan yang digunakan untuk operasi yang juga diduga tidak steril itu.
Perawat Anggi termasuk beruntung, karena hanya dengan permintaan maaf dengan membuat surat pernyataan, sampai sekarang tetap dipekerjakan di RS Mata Undaan.
Sementara dr Lydia merasa menjadi kambing hitam karena rekomendasi operasi terhadap pasien ditentukan oleh petugas dari loket di RS Mata Undaan Surabaya yang telah tertulis atas namanya.
"Saya tidak tahu kalau ada proses mediasi dengan pasien dengan kompensasi Rp400 juta yang dibayarkan oleh RS Mata Undaan. Setahu saya waktu itu saya diminta oleh Direksi RS Mata Undaan untuk menyelesaikan secara kekeluargaan dengan pasien dan telah saya lakukan. Saya tahunya ada kompensasi yang dibayar pihak RS senilai Rp400 juta malah dari pemberitaan media," ucap dia.
Menurutnya, saat melaporkan perkara ini ke Polrestabes Surabaya, masalah dengan pihak keluarga pasien telah tuntas tanpa ada campur tangan dari pihak RS Mata Undaan apalagi dengan membayar kompensasi Rp400 juta seperti yang ramai diberitakan.
"Saya lapor ke Polrestabes Surabaya sekitar tujuh bulan setelah kejadian. Karena masalah dengan pasien sudah selesai dan pihak RS Mata Undaan tidak mau mencabut surat peringatan terhadap saya," katanya.
Saat proses penyelidikan di Polrestabes Surabaya, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kemudian menerbitkan putusan MKEK Nomor: 06/MKEK/IDI-SBY/VII/2018 tanggal 20 Agustus 2018, yang menyatakan dr Lydia Nuradianti Sp.M tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Sebuah putusan penting bagi Lydia yang akhirnya digunakan menjadi salah satu pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam memenangkan laporan perkaranya, serta memulihkan nama baiknya dalam menjalankan profesi sebagai dokter.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021