Kediri (Antaranews Jatim) - Wakil Bupati Kediri Masykuri mengemukakan hingga kini proses pembebasan lahan yang akan dijadikan bandara di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, masih berjalan.
"Sekarang proses untuk pembebasan lahan. Pusat sudah `acc` (setuju) dan ini akan jadi proyek strategis nasional," katanya di Kediri, Rabu.
Menurut ia, rencana pembangunan bandara internasional itu memiliki landas pacu lebih kurang sepanjang 3 kilometer, sehingga pesawat berbadan lebar bisa masuk.
Rencananya untuk "groundbreaking" (pencanangan) akan dimulai pada Maret 2019, namun hingga kini belum ada keputusan pasti.
Pembangunan bandara itu direncanakan di Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri. Salah satu desa yang kini sudah melalui tahapan pembebasan lahan adalah Desa Bulusari, Kecamatan Tarokan.
Kepala Desa Bulusari Rohmat Wisuguh mengungkapkan pembelian tanah warga di wilayahnya sudah dilakukan sejak sekitar satu tahun ini.
"Pembelian sekitar satu tahun ini. Awalnya warga sempat mendengar tanah itu akan dimanfaatkan untuk sirkuit, namun belakangan ternyata santer terdengar akan dijadikan bandara," kata dia.
Ia juga mengatakan tanah warga juga dibeli dengan harga cukup tinggi. Jika sebelumnya tanah di desa ini hanya laku di bawah harga Rp50 ribu per meter, kini tanah warga dibeli bahkan hingga Rp300 ribu per meter, tergantung kondisi apakah tanah sawah, kebun, atau perumahan.
Kades Rohmat juga menyebut rencana pembangunan bandara itu menjadi anugerah tersendiri, karena selama ini ekonomi warga ditopang dari usaha sebagai petani, buruh tani hingga industri rumahan kerupuk dengan pendapatan yang rendah.
Ia juga menambahkan, warga banyak yang bersedia menjual lahannya, kendati saat ini masih ada beberapa yang dalam tahap negosiasi, yakni untuk perumahan hingga 130 unit, sawah hingga 41,75 hektare, dan tanah tegalan hingga 7 hektare.
Salah satu kendala adalah belum adanya kesepakatan harga antara warga dengan pemegang proyek. Tanah warga dibeli dengan harga sekitar Rp200 ribu hingg Rp300 ribu per meter, tetapi masih berharap dapat harga yang lebih baik lagi sebab sebelumnya bisa lebih dari harga tersebut.
"Transaksi itu langsung antara pengembang dengan warga. Intinya, warga juga mendukung program bandara, tapi mereka masih menungggu, jangan-jangan harga naik. Dulu satu pekan sekali ada kenaikan, jadi merasa sayang," kata dia.
Selain faktor harga, Rohmat juga menyebut warga yang rumahnya dibeli masih harus memikirkan alternatif tempat tinggal lainnya. Terlebih lagi, ketika hendak membeli tanah di tempat lain, harganya relatif mahal.
Ia berharap ada alternatif perumahan untuk warga yang rumahnya dibeli untuk keperluan bandara. Beberapa yang menjadi pertimbangan, tidak semua warga mempunyai lahan luas, sehingga ketika dibeli dengan harga tinggi pun masih dapat uang yang besar. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
"Sekarang proses untuk pembebasan lahan. Pusat sudah `acc` (setuju) dan ini akan jadi proyek strategis nasional," katanya di Kediri, Rabu.
Menurut ia, rencana pembangunan bandara internasional itu memiliki landas pacu lebih kurang sepanjang 3 kilometer, sehingga pesawat berbadan lebar bisa masuk.
Rencananya untuk "groundbreaking" (pencanangan) akan dimulai pada Maret 2019, namun hingga kini belum ada keputusan pasti.
Pembangunan bandara itu direncanakan di Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri. Salah satu desa yang kini sudah melalui tahapan pembebasan lahan adalah Desa Bulusari, Kecamatan Tarokan.
Kepala Desa Bulusari Rohmat Wisuguh mengungkapkan pembelian tanah warga di wilayahnya sudah dilakukan sejak sekitar satu tahun ini.
"Pembelian sekitar satu tahun ini. Awalnya warga sempat mendengar tanah itu akan dimanfaatkan untuk sirkuit, namun belakangan ternyata santer terdengar akan dijadikan bandara," kata dia.
Ia juga mengatakan tanah warga juga dibeli dengan harga cukup tinggi. Jika sebelumnya tanah di desa ini hanya laku di bawah harga Rp50 ribu per meter, kini tanah warga dibeli bahkan hingga Rp300 ribu per meter, tergantung kondisi apakah tanah sawah, kebun, atau perumahan.
Kades Rohmat juga menyebut rencana pembangunan bandara itu menjadi anugerah tersendiri, karena selama ini ekonomi warga ditopang dari usaha sebagai petani, buruh tani hingga industri rumahan kerupuk dengan pendapatan yang rendah.
Ia juga menambahkan, warga banyak yang bersedia menjual lahannya, kendati saat ini masih ada beberapa yang dalam tahap negosiasi, yakni untuk perumahan hingga 130 unit, sawah hingga 41,75 hektare, dan tanah tegalan hingga 7 hektare.
Salah satu kendala adalah belum adanya kesepakatan harga antara warga dengan pemegang proyek. Tanah warga dibeli dengan harga sekitar Rp200 ribu hingg Rp300 ribu per meter, tetapi masih berharap dapat harga yang lebih baik lagi sebab sebelumnya bisa lebih dari harga tersebut.
"Transaksi itu langsung antara pengembang dengan warga. Intinya, warga juga mendukung program bandara, tapi mereka masih menungggu, jangan-jangan harga naik. Dulu satu pekan sekali ada kenaikan, jadi merasa sayang," kata dia.
Selain faktor harga, Rohmat juga menyebut warga yang rumahnya dibeli masih harus memikirkan alternatif tempat tinggal lainnya. Terlebih lagi, ketika hendak membeli tanah di tempat lain, harganya relatif mahal.
Ia berharap ada alternatif perumahan untuk warga yang rumahnya dibeli untuk keperluan bandara. Beberapa yang menjadi pertimbangan, tidak semua warga mempunyai lahan luas, sehingga ketika dibeli dengan harga tinggi pun masih dapat uang yang besar. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018