Malang (Antaranews Jatim) - Mengemban tugas sebagai Koordinator Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Jurusan S1 Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, membuat Intan Yusuf Habibie menyadari akan pentingnya pemenuhan gizi bagi masyarakat Indonesia.

Berdasarkan data Pantauan Status Gizi (PSG) 2017 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, di Indonesia, bayi dengan usia di bawah lima tahun yang mengalami masalah gizi mencapai 17,8 persen. Dari angka itu, terdiri dari balita dengan gizi buruk sebanyak 3,8 persen dan 14 persen untuk balita gizi kurang.

Sebagai catatan, kasus gizi buruk tertinggi yang ada di Indonesia terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan angka mencapai 7,4 persen dan 20,9 persen untuk gizi kurang. Sementara untuk Provinsi Jawa Timur, angka gizi buruk tercatat sebanyak 2,9 persen dan gizi kurang 12,6 persen.

Permasalahan gizi buruk terjadi bukan hanya di daerah terpencil. Ada temuan kasus bahwa gizi buruk juga terjadi di wilayah perkotaan yang terbilang memiliki akses pangan sangat baik. Permasalahan gizi buruk memiliki banyak faktor.

Keinginan dari ahli gizi yang pernah meneliti di Kota Surabaya, Kabupaten Kapuas Hulu, Kupang, dan Merauke itu untuk menjadikan Indonesia modern tanpa gizi buruk, sepertinya bukan langkah yang mudah.

Terlebih karakteristik masing-masing daerah di Indonesia memiliki perbedaan yang sangat mendasar, sehingga memberikan tantangan tersendiri bagi para ahli gizi untuk menyampaikan pemahaman pentingnya pemenuhan gizi.

"Paparan pengetahuan informasi bagi masyarakat di wilayah terpencil itu terbatas. Sementara untuk memberikan pemahaman atas pentingnya pemenuhan gizi bagi anak usia di bawah lima tahun harus dilakukan secara terus menerus," kata Yusuf.

Salah satu contoh, untuk memberikan pemahaman pentingnya pemenuhan gizi bagi masyarakat di daerah pelosok dengan menggunakan daun kelor (Moringa Oleifera), masih terkendala adanya kepercayaan yang salah. Padahal, dalam dunia kesehatan, daun kelor dinilai memiliki banyak nutrisi.

Namun, bagi masyarakat di beberapa wilayah pedalaman, ada kepercayaan bahwa saat seorang ibu memakan daun kelor, dikhawatirkan akan melahirkan anak yang terbungkus selaput.

Tantangan seperti itu rasanya masih belum cukup untuk menjadi hambatan bagi para ahli gizi di Indonesia. Kendala infrastruktur untuk mencapai daerah pelosok juga menjadi permasalahan tersendiri, yang seringkali menjadi hambatan paling besar.

Selain itu, tantangan lain untuk memberikan pemahaman pentingnya gizi bukan hanya terganjal pada masyarakat di daerah pelosok yang memiliki tingkat pendidikan dan ekonomi rendah.

Di wilayah perkotaan, kebiasaan makan makanan ringan pada balita dan anak usia di bawah dua tahun juga menjadi masalah tersendiri, ditambah pola asuh yang kurang tepat.

"Akses makanan yang bagus belum tentu menentukan kualitas makanan yang disuka. Mungkin makanan dengan nilai gizi tinggi ada di sekitar kita, namun kecenderungannya mengkonsumsi makanan yang tidak dibutuhkan tubuh," kata Yusuf.

Dalam mengatasi permasalahan gizi buruk di Indonesia, pemerintah hendaknya benar-benar memperhatikan kondisi pada masing-masing wilayah, baik untuk di pedalaman maupun perkotaan, karena di masing-masing wilayah permasalahan yang dihadapi akan sangat berbeda.

Menurut Yusuf, perlu adanya partisipasi dalam pencegahan dan intervensi yang sifatnya multistudi dan multisektor dari seluruh pemangku kepentingan. Selain itu juga perlu adanya pendekatan kepada tokoh masyarakat supaya penyuluhan yang disampaikan oleh ahli gizi bisa diterima dan dilaksanakan dengan baik.

"Pendekatannya bisa lewat kepala adat, tokoh masyarakat sehingga bisa membantu untuk meluruskan pemahaman yang menurut mereka dari sisi adat itu benar, tapi dari sisi kesehatan itu perlu diperbaiki," kata Yusuf.

Selain upaya dari pemerintah dan berbagai para pemangku kepentingan, untuk mengatasi gizi buruk yang ada di Indonesia juga diperlukan pengabdian dari tenaga kesehatan, khususnya untuk daerah tertinggal.

Kementerian Kesehatan memiliki program Nusantara Sehat dan Pencerah Nusantara, yang menempatkan tenaga kesehatan seperti dokter, dokter gigi, ahli gizi, farmasi, keperawatan, dan bidan di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) selama satu tahun.

Sebagai seorang ahli gizi, Yusuf bersama rekan-rekan lainnya tidak keberatan untuk meninggalkan kenyamanan serta gemerlap perkotaan, dan mengabdikan dirinya di wilayah pelosok, untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat pelosok untuk pentingnya pemenuhan gizi.

"Hidup itu lebih indah saat kita tahu akan hal-hal yang tidak indah. Untuk Indonesia modern tanpa gizi buruk, saya bersedia diterjunkan di pelosok," tutup Yusuf.

Pewarta: Vicki Febrianto

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018