Jakarta, (Antara) - Indonesia darurat gizi buruk nyatanya sudah menjadi fakta yang mesti dihadapi. Bahkan organisasi kesehatan dunia WHO pun mencatat sudah sebanyak 7,8 juta dari 23 juta balita Indonesia mengalami "stunting" akibat gizi kurang.
Fakta itu sekaligus menempatkan Indonesia dalam lima besar negara dengan kasus "stunting" terbanyak di dunia.
Stunting menjadi cerminan betapa buruk dan kurang optimalnya gizi yang seharusnya diberikan kepada anak. Sudah saatnya masalah ini menjadi perhatian bersama untuk dicarikan solusi yang lebih serius. Stunting tidak cuma membuat bayi menjadi kuntet (pendek), namun dapat mendagradasi kecerdasan otak.
Anggota UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Damayanti Rusli S, SpAK, PhD, mengatakan pengentasan stunting yang krusial di Indonesia sekarang ini dapat dilakukan dengan cara menekan peningkatan kasus stunting, memantau pertumbuhan bayi dan balita, hingga melakukan terapi untuk bayi yang membutuhkan.
Menurut dokter anak subspesialisasi gizi metabolik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu mengatasi stunting sekarang ini harus terstruktur.
Kepala Negara diharapkan turun tangan secara langsung, mendorong gerakan untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya stunting terhadap keberlanjutan generasi, menyamakan persepsi di antara lembaga pemerintah, melibatkan dan bukan mengucilkan industri, menyatukan langkah untuk mencari solusi, termasuk mencari cara untuk mengantisipasi agar masalah ini tidak berulang.
Stunting, menurut Damayanti adalah persoalan besar sebab gizi buruk tak sekadar menjadikan bayi kuntet, IQ rendah, namun bisa menyebabkan hilangnya generasi berkualitas dan membuat daya saing bangsa menurun lantaran tak lagi memiliki generasi cerdas bermental pemimpin.
Cara Inklusif
Gizi buruk hingga stunting yang mengancam keberlanjutan generasi nyatanya tak bisa diatasi secara hanya oleh satu komponen pemerintahan.
Stunting harus diselesaikan dan diurai dengan cara inklusif, melibatkan "multistakeholder", bukan semata tanggung jawab pemerintah apalagi hanya departemen tertentu.
Mantan Deputi Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Kemenko PMK Rachmat Sentika mengatakan penderita stunting memerlukan asupan yang tidak memerlukan pencernaan dari enzim sehingga dapat pulih dalam waktu seketika.
Ia mencatat perlunya pemberian diet dan ketersediaan pangan khusus seperti formula 75 dan formula 100 termasuk edukasi cara membuatnya, hingga kemudahan mendapatkannya di pasaran.
Solusi tersebut tidak perlu menimbulkan kontroversi dan serangan kepada industri sebab langkah tersebut bukan untuk menggantikan peran ASI atau kebutuhan gizi balita yang alami.
Rachmat menyambut baik keputusan Kepala BPOM Nomor 1/2018 tentang olahan pangan untuk gizi khusus yang memungkinkan intervensi racikan khusus untuk gizi buruk.
Menurut dia, keputusan tersebut merupakan terobosan besar yang memungkinkan solusi tercepat dalam hal pengatasan gizi buruk di Tanah Air.
Industri pun harus diundang untuk terlibat memproduksi solusi untuk gizi buruk agar bisa mengatasi dengan segera persoalan stunting di Indonesia. Sekali lagi ditekankan perlunya sinergi dan kepimpinan dalam upaya menanggulangi gizi buruk.
Pemerintah menurut Rachmat harus mengambil kendali untuk melibatkan seluruh pihak khususnya industri agar tergerak menyelesaikan persoalan stunting.
Ketersediaan pangan khusus untuk keperluan intervensi ketika mulai terlihat faltering growth (perlambatan pertumbuhan) sudah selayaknya bisa masuk dalam sistem jaminan kesehatan nasional, tutur Rachmat.
Sebab pangan khusus tersebut bukan semata susu formula melainkan asupan sumber pangan yang telah diracik khusus sebagaimana diatur WHO dan Codex Alimentarius, tambahnya
Maka cara-cara inklusif dengan melibatkan multipihak untuk menangani persoalan stunting pun tak bisa ditawar lagi mengingat jika masih saja diterapkan pendekatan yang sama dalam mengatasi potensi gizi buruk hampir tidak mungkin untuk mengharapkan hasil berbeda yang lebih baik.
Dalam praktiknya tidak pernah ada proses yang mengkhianati hasil.
Paradigma Baru
Dalam Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN), pemeritah menargetkan penurunan dari prevalensi stunting dari status awal 32,9 persen, turun menjadi 28 persen pada 2019.
Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey T. Machmudin mengatakan Presiden Jokowi telah menjadwalkan kunjungan kerja ke berbagai daerah tahun ini untuk mengedukasi sekaligus mengingatkan bahaya stunting kepada masyarakat.
Beberapa daerah bahkan telah ditetapkan sebagai prioritas daerah yang ditangani dalam kasus stunting yakni untuk tanap awal ada 100 kabupaten prioritas yang akan ditangani lebih dulu, baru kemudian 200 kabupaten lainnya.
Dari beberapa kabupaten yang dijadikan prioritas itu merupakan daerah yang mempunyai angka balita stunting tertinggi, seperti di Sulawesi Tengah, NTT, Bali, hingga Papua.
Menurut Bey, Presiden Jokowi sangat menyadari bahaya stunting yang menjadi persoalan berat lantaran juga menurunkan kemampuan tubuh dalam membakar lemak sehingga memicu timbulnya penyakit lain seperti diabetes, jantung, hingga stroke.
Supaya hal tersebut tidak terjadi, tidak ada cara lain untuk memperbaiki pola makan anak, juga tentunya pemberian ASI dan MPASI pada bayi. Stunting harus diselesaikan dengan paradigma dan pendekatan baru yang holistik dan berdasarkan keilmuan.
Anak harus mendapatkan asupan gizi seimbang termasuk bayi yang sudah berusia 6 bulan lebih perlu diberikan MPASI pangan hewani, buah-buahan, dan sayuran sebagai pelengkap.
Jadi pengentasan stunting itu bukan sekadar dengan biskuit, tapi dengan pemberian ASI yang tepat, mengubah pola makan, dan mencukupi kebutuhan gizi harian bayi dan anak dan jika diperlukan bisa menggunakan makanan khusus sesuai anjuran dokter anak.
Sebagaimana disebutkan anggota DPR RI Komisi IX Yusuf Macan Effendi bahwa indikator stunting yang masih tinggi di Indonesia juga sejatinya bukan semata masalah gizi namun faktor lingkungan, sosial budaya, akses pada fasilitas kesehatan, hingga pemahaman akan kesehatan balita dan ibu hamil.
Di sisi lain, menurut pria yang lebih dikenal sebagai Dede Yusuf itu faktor makanan yang dikonsumsi juga sangat berpengaruh pada kasus stunting.
Ia menilai bahkan masyarakat di ibu kota yang memiliki kemudahan akses kesehatan juga masih ada saja yang mengalami balita stunting sehingga menjadi pekerjaan rumah bersama untuk menjadikan stunting sebagai kerja lintas stakeholder. Sementara peran pemerintah tetap diperlukan sebagai panglima untuk mengatasi persoalan.
Maka dari titik inilah kemudian diharapkan ada cara inklusif untuk menyelamatkan generasi di Tanah Air dari ancaman stunting yang kian menyedihkan.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Fakta itu sekaligus menempatkan Indonesia dalam lima besar negara dengan kasus "stunting" terbanyak di dunia.
Stunting menjadi cerminan betapa buruk dan kurang optimalnya gizi yang seharusnya diberikan kepada anak. Sudah saatnya masalah ini menjadi perhatian bersama untuk dicarikan solusi yang lebih serius. Stunting tidak cuma membuat bayi menjadi kuntet (pendek), namun dapat mendagradasi kecerdasan otak.
Anggota UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Damayanti Rusli S, SpAK, PhD, mengatakan pengentasan stunting yang krusial di Indonesia sekarang ini dapat dilakukan dengan cara menekan peningkatan kasus stunting, memantau pertumbuhan bayi dan balita, hingga melakukan terapi untuk bayi yang membutuhkan.
Menurut dokter anak subspesialisasi gizi metabolik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu mengatasi stunting sekarang ini harus terstruktur.
Kepala Negara diharapkan turun tangan secara langsung, mendorong gerakan untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya stunting terhadap keberlanjutan generasi, menyamakan persepsi di antara lembaga pemerintah, melibatkan dan bukan mengucilkan industri, menyatukan langkah untuk mencari solusi, termasuk mencari cara untuk mengantisipasi agar masalah ini tidak berulang.
Stunting, menurut Damayanti adalah persoalan besar sebab gizi buruk tak sekadar menjadikan bayi kuntet, IQ rendah, namun bisa menyebabkan hilangnya generasi berkualitas dan membuat daya saing bangsa menurun lantaran tak lagi memiliki generasi cerdas bermental pemimpin.
Cara Inklusif
Gizi buruk hingga stunting yang mengancam keberlanjutan generasi nyatanya tak bisa diatasi secara hanya oleh satu komponen pemerintahan.
Stunting harus diselesaikan dan diurai dengan cara inklusif, melibatkan "multistakeholder", bukan semata tanggung jawab pemerintah apalagi hanya departemen tertentu.
Mantan Deputi Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Kemenko PMK Rachmat Sentika mengatakan penderita stunting memerlukan asupan yang tidak memerlukan pencernaan dari enzim sehingga dapat pulih dalam waktu seketika.
Ia mencatat perlunya pemberian diet dan ketersediaan pangan khusus seperti formula 75 dan formula 100 termasuk edukasi cara membuatnya, hingga kemudahan mendapatkannya di pasaran.
Solusi tersebut tidak perlu menimbulkan kontroversi dan serangan kepada industri sebab langkah tersebut bukan untuk menggantikan peran ASI atau kebutuhan gizi balita yang alami.
Rachmat menyambut baik keputusan Kepala BPOM Nomor 1/2018 tentang olahan pangan untuk gizi khusus yang memungkinkan intervensi racikan khusus untuk gizi buruk.
Menurut dia, keputusan tersebut merupakan terobosan besar yang memungkinkan solusi tercepat dalam hal pengatasan gizi buruk di Tanah Air.
Industri pun harus diundang untuk terlibat memproduksi solusi untuk gizi buruk agar bisa mengatasi dengan segera persoalan stunting di Indonesia. Sekali lagi ditekankan perlunya sinergi dan kepimpinan dalam upaya menanggulangi gizi buruk.
Pemerintah menurut Rachmat harus mengambil kendali untuk melibatkan seluruh pihak khususnya industri agar tergerak menyelesaikan persoalan stunting.
Ketersediaan pangan khusus untuk keperluan intervensi ketika mulai terlihat faltering growth (perlambatan pertumbuhan) sudah selayaknya bisa masuk dalam sistem jaminan kesehatan nasional, tutur Rachmat.
Sebab pangan khusus tersebut bukan semata susu formula melainkan asupan sumber pangan yang telah diracik khusus sebagaimana diatur WHO dan Codex Alimentarius, tambahnya
Maka cara-cara inklusif dengan melibatkan multipihak untuk menangani persoalan stunting pun tak bisa ditawar lagi mengingat jika masih saja diterapkan pendekatan yang sama dalam mengatasi potensi gizi buruk hampir tidak mungkin untuk mengharapkan hasil berbeda yang lebih baik.
Dalam praktiknya tidak pernah ada proses yang mengkhianati hasil.
Paradigma Baru
Dalam Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN), pemeritah menargetkan penurunan dari prevalensi stunting dari status awal 32,9 persen, turun menjadi 28 persen pada 2019.
Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey T. Machmudin mengatakan Presiden Jokowi telah menjadwalkan kunjungan kerja ke berbagai daerah tahun ini untuk mengedukasi sekaligus mengingatkan bahaya stunting kepada masyarakat.
Beberapa daerah bahkan telah ditetapkan sebagai prioritas daerah yang ditangani dalam kasus stunting yakni untuk tanap awal ada 100 kabupaten prioritas yang akan ditangani lebih dulu, baru kemudian 200 kabupaten lainnya.
Dari beberapa kabupaten yang dijadikan prioritas itu merupakan daerah yang mempunyai angka balita stunting tertinggi, seperti di Sulawesi Tengah, NTT, Bali, hingga Papua.
Menurut Bey, Presiden Jokowi sangat menyadari bahaya stunting yang menjadi persoalan berat lantaran juga menurunkan kemampuan tubuh dalam membakar lemak sehingga memicu timbulnya penyakit lain seperti diabetes, jantung, hingga stroke.
Supaya hal tersebut tidak terjadi, tidak ada cara lain untuk memperbaiki pola makan anak, juga tentunya pemberian ASI dan MPASI pada bayi. Stunting harus diselesaikan dengan paradigma dan pendekatan baru yang holistik dan berdasarkan keilmuan.
Anak harus mendapatkan asupan gizi seimbang termasuk bayi yang sudah berusia 6 bulan lebih perlu diberikan MPASI pangan hewani, buah-buahan, dan sayuran sebagai pelengkap.
Jadi pengentasan stunting itu bukan sekadar dengan biskuit, tapi dengan pemberian ASI yang tepat, mengubah pola makan, dan mencukupi kebutuhan gizi harian bayi dan anak dan jika diperlukan bisa menggunakan makanan khusus sesuai anjuran dokter anak.
Sebagaimana disebutkan anggota DPR RI Komisi IX Yusuf Macan Effendi bahwa indikator stunting yang masih tinggi di Indonesia juga sejatinya bukan semata masalah gizi namun faktor lingkungan, sosial budaya, akses pada fasilitas kesehatan, hingga pemahaman akan kesehatan balita dan ibu hamil.
Di sisi lain, menurut pria yang lebih dikenal sebagai Dede Yusuf itu faktor makanan yang dikonsumsi juga sangat berpengaruh pada kasus stunting.
Ia menilai bahkan masyarakat di ibu kota yang memiliki kemudahan akses kesehatan juga masih ada saja yang mengalami balita stunting sehingga menjadi pekerjaan rumah bersama untuk menjadikan stunting sebagai kerja lintas stakeholder. Sementara peran pemerintah tetap diperlukan sebagai panglima untuk mengatasi persoalan.
Maka dari titik inilah kemudian diharapkan ada cara inklusif untuk menyelamatkan generasi di Tanah Air dari ancaman stunting yang kian menyedihkan.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018