Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai pejuang bagi kesetaraan gender di Indonesia. Pemikirannya yang dinilai aneh pada zamannya, menjadi tonggak sejarah bangkitnya perjuangan perempuan.
Kartini bisa dibilang sosok yang pemikirannya lebih maju saat itu ketimbang perempuan lainnya. Di tengah budaya patron masyarakat Jawa yang sangat kental, ia mempunyai cita-cita agar perempuan maju, bisa mendapatkan pendidikan yang layak, bisa membaca menulis.
Semangat Kartini terus menjadi inspirasi hingga kini. Bahkan, pemerintah memutuskan setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Ini salah satu bukti sosok Kartini menginspirasi.
Momentum Hari Kartini diperingati sebagai hari kebangkitan kaum perempuan Indonesia. Namun, sejumlah kalangan skeptis, karena peringatan Hari Kartini ini hanya seremonial saja. Padahal, banyak sisi lain yang bisa diakukan misalnya penguatan pemberdayaan dan kemandirian perempuan, seperti yang menjadi cita-cita Kartini, terutama perjuangan di bidang politik.
Perempuan memang mempunyai peluang besar duduk di legislatif maupun eksekutif. Secara demografi, penduduk Indonesia lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki. Namun, kekuatan itu justru belum bisa terkonsolidasi dengan baik, yang memicu berbagai kebijakan yang mendukung perempuan masih belum terlaksana optimal. Padahal, duduk di legislatif maupun eksekutif mampu memberikan andil besar pada kebijakan.
Bukan hanya itu, tingkat partisipasi perempuan juga masih harus ditingkatkan. Pemerintah telah memberikan kuota perempuan di legislatif sebesar 30 persen, sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemlu Legislatif dan UU Nomor 2 Tahun 2008 tetang Partai Politik.
Adanya kuota 30 persen keterwakilan perempuan seharusnya bisa menjadi penyemangat. Kebijakan itu membuat partai berlomba-lomba menggaet calon dari kalangan perempuan.
Bukan hanya di ranah legislatif, kiprah perempuan di ruang publik juga semakin luas. Banyak calon kepala daerah perempuan yang juga turut serta bersaing di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018.
Saat ini, peran politik kaum perempuan bisa dibilang masih kurang. Salah satu hambatanya adalah budaya patriarki yang masih mengakar kuat. Perempuan dipersepsikan sebagai kelas dua yang seharusnya berada di dalam rumah.
Yang paling kecil adalah di rumah tangga. Perempuan dianggap lemah dan tidak seharusnya bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan kekerasan. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan. Beragam persepsi negatif dilekatkan, misalnya perempuan mengutamakan perasaan dalam membuat keputusan ketimbang rasionalitas.
Kita tidak menutup mata, bahwa politik juga melakukan segala cara agar melanggengkan kekuasaan, salah satunya dengan poltik dinasti. Saat sang suami telah selesai melakukan tugasnya menjadi kepala daerah, tampuk kepempinan dilanjutkan ke istri. Kendati sejak awal tidak masuk partai politik, saat pemilihan kepala daerah, justru istri yang diberikan rekomendasi menjadi calon kepala daerah.
Tapi, benarkah perempuan tidak mampu memimpin. Jawabannya tidak. Banyak sosok figur perempuan yang sukses keluarga dan dalam kariernya. Misalnya, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Kendati tegas saat bekerja, tapi juga lembut pada keluarga.
Fenomena keterlibatan perempuan di politik bisa dikatakan gejala baru bahwa masyarakat tidak lagi mempersoalkan gender. Masyarakat sudah mulai berubah, menerima dan mendukung sosok calon kepala daerah yang dinilai mampu menjadi pemimpin mereka baik perempuan maupun laki-laki.
Namun, yang tidak kalah pentingnya, Hari Kartini tidak hanya diperingati secara simbolik saja, melainkan semangat membawa perubahan pada kehidupan bermasyarakat baik di politik, pendidikan, ekonomi, sosial, serta bidang lainnya. Yang tidak kalah penting, dalam berpolitik, tetap mengedepankan politik etis dan santun.
Perempuan harus tetap semangat dalam menghidupkan kemandirian, memiliki kecerdasan dan daya guna. Perempuan juga harus mampu memberikan manfaat, baik untuk diri maupun lingkungan dengan ilmu yang dimilikinya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Kartini bisa dibilang sosok yang pemikirannya lebih maju saat itu ketimbang perempuan lainnya. Di tengah budaya patron masyarakat Jawa yang sangat kental, ia mempunyai cita-cita agar perempuan maju, bisa mendapatkan pendidikan yang layak, bisa membaca menulis.
Semangat Kartini terus menjadi inspirasi hingga kini. Bahkan, pemerintah memutuskan setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Ini salah satu bukti sosok Kartini menginspirasi.
Momentum Hari Kartini diperingati sebagai hari kebangkitan kaum perempuan Indonesia. Namun, sejumlah kalangan skeptis, karena peringatan Hari Kartini ini hanya seremonial saja. Padahal, banyak sisi lain yang bisa diakukan misalnya penguatan pemberdayaan dan kemandirian perempuan, seperti yang menjadi cita-cita Kartini, terutama perjuangan di bidang politik.
Perempuan memang mempunyai peluang besar duduk di legislatif maupun eksekutif. Secara demografi, penduduk Indonesia lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki. Namun, kekuatan itu justru belum bisa terkonsolidasi dengan baik, yang memicu berbagai kebijakan yang mendukung perempuan masih belum terlaksana optimal. Padahal, duduk di legislatif maupun eksekutif mampu memberikan andil besar pada kebijakan.
Bukan hanya itu, tingkat partisipasi perempuan juga masih harus ditingkatkan. Pemerintah telah memberikan kuota perempuan di legislatif sebesar 30 persen, sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemlu Legislatif dan UU Nomor 2 Tahun 2008 tetang Partai Politik.
Adanya kuota 30 persen keterwakilan perempuan seharusnya bisa menjadi penyemangat. Kebijakan itu membuat partai berlomba-lomba menggaet calon dari kalangan perempuan.
Bukan hanya di ranah legislatif, kiprah perempuan di ruang publik juga semakin luas. Banyak calon kepala daerah perempuan yang juga turut serta bersaing di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018.
Saat ini, peran politik kaum perempuan bisa dibilang masih kurang. Salah satu hambatanya adalah budaya patriarki yang masih mengakar kuat. Perempuan dipersepsikan sebagai kelas dua yang seharusnya berada di dalam rumah.
Yang paling kecil adalah di rumah tangga. Perempuan dianggap lemah dan tidak seharusnya bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan kekerasan. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan. Beragam persepsi negatif dilekatkan, misalnya perempuan mengutamakan perasaan dalam membuat keputusan ketimbang rasionalitas.
Kita tidak menutup mata, bahwa politik juga melakukan segala cara agar melanggengkan kekuasaan, salah satunya dengan poltik dinasti. Saat sang suami telah selesai melakukan tugasnya menjadi kepala daerah, tampuk kepempinan dilanjutkan ke istri. Kendati sejak awal tidak masuk partai politik, saat pemilihan kepala daerah, justru istri yang diberikan rekomendasi menjadi calon kepala daerah.
Tapi, benarkah perempuan tidak mampu memimpin. Jawabannya tidak. Banyak sosok figur perempuan yang sukses keluarga dan dalam kariernya. Misalnya, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Kendati tegas saat bekerja, tapi juga lembut pada keluarga.
Fenomena keterlibatan perempuan di politik bisa dikatakan gejala baru bahwa masyarakat tidak lagi mempersoalkan gender. Masyarakat sudah mulai berubah, menerima dan mendukung sosok calon kepala daerah yang dinilai mampu menjadi pemimpin mereka baik perempuan maupun laki-laki.
Namun, yang tidak kalah pentingnya, Hari Kartini tidak hanya diperingati secara simbolik saja, melainkan semangat membawa perubahan pada kehidupan bermasyarakat baik di politik, pendidikan, ekonomi, sosial, serta bidang lainnya. Yang tidak kalah penting, dalam berpolitik, tetap mengedepankan politik etis dan santun.
Perempuan harus tetap semangat dalam menghidupkan kemandirian, memiliki kecerdasan dan daya guna. Perempuan juga harus mampu memberikan manfaat, baik untuk diri maupun lingkungan dengan ilmu yang dimilikinya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018