Oleh Dr. Machsus, ST., MT.

Surabaya (Antara Jatim) - Istilah vokasi memang terasa asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, belakangan ini masyarakat sering mendengar atau membaca istilah ini dalam frase pendidikan vokasi atau pendidikan tinggi vokasi. 

Istilah vokasi menjadi isu seksi dan makin diminati pasca diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tertanggal 9 september 2016. Inpres tentang revitalisasi pendidikan vokasi pada level sekolah menengah kejuruan ini mendapat sambutan hangat bukan saja bagi para guru SMK, melainkan juga bagi para dosen pendidikan tinggi vokasi di perguruan tinggi. 

Kini, masyarakat mulai tidak asing lagi dengan istilah pendidikan (tinggi) vokasi. Apalagi keberadaan pendidikan tinggi vokasi di Indonesia secara hukum sudah sangat jelas dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT). 

Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa jenis pendidikan di Indonesia terdiri dari pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi. Lebih lanjut, pada pasal 16 dari UU No. 12 tahun 2012 tersebut ditegaskan bahwa pendidikan tinggi vokasi dapat dikembangkan ke jenjang Magister Terapan, bahkan sampai ke jenjang tertinggi yakni Doktor Terapan.

Sejatinya substansi undang-undang tersebut mengamanatkan prinsip kesetaraan antar jenis pendidikan, yakni pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi. Artinya, dalam pengembangan ketiga jenis pendidikan tersebut seharusnya berjalan tanpa diskriminasi. 

Namun selama ini pendidikan akademik cenderung dianak-emaskan, sementara pendidikan vokasi dan pendidikan profesi seakan-akan diposisikan seperti anak-tiri. Diskriminasi kebijakan pengembangan pendidikan seperti ini tentunya berpengaruh terhadap persepsi masyarakat dalam memandang dunia pendidikan. Jadi, sangat wajar bila pendidikan vokasi tidak populer dan dianggap pendidikan “kelas dua” di kalangan masyarakat, karena yang ada dibenak masyarakat hanya pendidikan akademik.
 
Di era pemerintahan Jokowi ini pendidikan vokasi mendapatkan mulai angin segar. Pemerintah memberikan perhatian yang serius terhadap pengembangan pendidikan vokasi baik di level SMK maupun di level pendidikan tinggi vokasi. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir acapkali mengatakan akan merevitalisasi pendidikan vokasi tingkat perguruan tinggi untuk menjawab tantangan terkait kebutuhan sumber daya manusia siap kerja. Untuk itu, kemenristekdikti menyiapkan dana ratusan miliar untuk merevitalisasi politeknik. 

Kebijakan kemenristekdikti untuk merevitalisasi pendidikan vokasi tentunya patut kita apresiasi. Akan tetapi, jika yang direvitalisasi hanya politeknik saja, maka juga patut kita pertanyakan. Sebab, selain politeknik, pendidikan tinggi vokasi juga terdapat di universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, akademi, dan akademi komunitas (UNISTA), dan jumlah program studinya justru jauh lebih lebih banyak dibandingkan dengan di politeknik. Lalu, haruskah pembatasan kebijakan revitalisasi pendidikan tinggi vokasi hanya untuk politeknik menunjukkan bahwa pemerintah masih menerapkan kebijakan diskriminatif dalam pengembangan pendidikan vokasi. 

Dalam konteks ini, setidaknya terdapat tiga (3) alasan mengapa perlakuan diskriminatif terhadap pendidikan vokasi non-politeknik merupakan suatu kebijakan keliru. Pertama, alasan historis. Bahwa lahirnya pendidikan vokasi pertama kali justru di lingkungan universitas dan institut melalui pembukaan program diploma tiga. Contohnya, program studi D3 Teknik Sipil di ITS mulai berdiri pada tahun 1972 dengan nama Program Ahli Teknik. Begitu pula, pembukaan program studi diploma di Unair, UI, UGM, IPB, UB, Undip dan pelbagai PT lainnya. Dalam perjalanannya tentu telah banyak menorehkan tinta emas sejarah bagi perkembangan pendidikan vokasi. Lalu, harus sejarah vokasi ini dilupakan?

Kedua, alasan prestasi. Bahwa keberhasilan dalam pengelolaan program vokasi non-politeknik. Misalnya, mahasiswa program diploma tiga (D3) dan diploma empat (D4) di ITS terbukti dapat meraih juara I Mahasiswa Berprestasi Nasional, juara umum Kompetisi Bangunan Gedung Indonesia pada tahun 2016, juara umum kompetisi jembatan internasional UTM Bridge Model Competition 2017 Johor Malaysia, Juara pada kompetisi mobil irit Shell Eco-marathon Asia 2017 Singapura, menjadi bagian tim Robot Ichiro ITS yang menjadi juara umum Federation of International Robot-Soccer Association Humanoid Robot Cup (FIRA Hurocup) 2016 di Beijing, Tiongkok. 

Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan vokasi non-politeknik tetap mampu berprestasi, meskipun dalam penyelengaraan pendidikannya tidak mendapat dukungan dana yang besar dari pemerintah seperti pendanaan politeknik. Seandainya mendapatkan dukungan pendanaan yang sama dengan politeknik tentu prestasinya akan lebih baik.

Ketiga, alasan kompetensi lulusan. Bahwa hingga saat ini kebutuhan akan tenaga trampil di dunia kerja tak cukup hanya dilayani oleh lulusan politeknik saja. Kontribusi lulusan program vokasi non-politeknik sangat signifikan dalam menyediakan lulusan yang kompeten dan siap kerja. Umumnya masa tunggu lulusan sampai mendapat pekerjaan pertama sangat singkat, bahkan cukup banyak yang sudah diterima kerja sambil menunggu wisuda. Kalau keduanya sama-sama memiliki kontribusi kenapa kebijakan pemerintah hanya berpihak pada politeknik saja?

Mencermati ketiga alasan tersebut seharusnya kemenristekdikti menyadari dan mengkoreksi 
kebijakaannya, sehingga program yang dikembangkan adalah revitalisasi pendidikan tinggi vokasi tanpa diskriminasi. Bila pendidikan tinggi vokasi politeknik dan non-politeknik diposisikan setara dan berkeadilan, maka tidak akan terjadi disparitas mutu lulusan. Disparitas lulusan sulit dihindari selama pemerintah hanya berpihak pada salah satu, baik vokasi politeknik ataupun vokasi non-politeknik saja.

Selanjutnya, yang terpenting diperhatikan adalah bagaimana menyiapkan agar kompetensi lulusan yang dihasilkan melalui pendidikan tinggi vokasi dapat menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang semakin kompetitif. Kini, masyarakat kian menyadari bahwa dunia kerja membutuhkan lulusan yang trampil, bukan sekadar bergelar sarjana. Sebagian masyarakat memang masih menganggap gelar sarjana itu punya nilai gengsi. Akan tetapi, kini pasar membutuhkan kompetensi, bukan sekedar gengsi. Oleh karena itu, revitalisasi pendidikan tinggi vokasi harus fokus pada kompetensi lulusan.  

Pengalaman implementasi kebijakan pendidikan vokasi di Jerman memperlihatkan bahwa salah satu yang menopang kemajuan Jerman adalah pendidikan vokasinya. Cara Jerman kembangkan pendidikan vokasi setidaknya ini ditunjukkan pada sejarah Berlin-Siemensstadt. Siemens Professional Education menawarkan pendidikan vokasi atau dikenal dengan dual education sebanyak 41 lokasi di seluruh Jerman. Setiap tahunnya, Siemens menghasilkan sekitar 2000 lulusan yang menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan Industri. 

Singkatnya, Jerman maju karena pendidikan vokasinya maju, sementara Indonesia tertinggal karena "meninggalkan" pendidikan vokasinya. Indonesia akan maju jikalau pemerintah memajukan pendidikan vokasi. Hal ini penting mengingat selama ini orientasi pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia terlalu memprioritaskan jalur akademik, dan mengabaikan jalur vokasi. Pendidikan tinggi vokasi acapkali diposisikan sebagai "anak tiri" dengan aneka kekangan, sehingga menjadi sulit maju dan berkembang. (*)

Penulis adalah Kepala Departemen Teknik Infrastruktur Sipil, Fakultas Vokasi, 
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan juga sebagai Ketua Bidang II Forum Pendidikan Tinggi Vokasi Indonesia (FPTVI)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017