"Anak sekolah dan orang tua zaman sekarang, sering dibikin pusing dan resah oleh aturan pendidikan baru. Padahal mikiri pelajaran dan kebutuhan hidup sudah mumet," ujar seorang lelaki berambut putih di ruang tunggu stasiun Gubeng.

Seraya melipat koran harian nasional yang di baru dibacanya, dia menceritakan pengalamannya membantu beberapa tetangganya yang berurusan dengan sekolah, meminta dispensasi atau keringanan biaya sekolah karena mereka adalah keluarga kurang mampu.

"Kebijakan baru yang memperbolehkan Komite Sekolah menggalang dana dan sumbangan. Ini bisa jadi akan bikin keresahan lagi bagi orang tua/wali murid, atau malah banyak kepala sekolah, guru dan komite masuk penjara," kata pensiunan pegawai BUMN itu.

Saya berusaha menyimak ceritanya, hingga kereta datang sekitar 10 menit kemudian dan akhirnya kami berpisah karena harus naik kereta dengan jurusan berbeda.

Ungkapan lelaki tua itu, menurut saya bisa mewakili ribuan atau jutaan perasaan orang tua/wali murid di Indonesia. Bagaimana tidak, setiap tahun ajaran baru tiba, orang tua/wali murid selalu dibikin pusing dengan persoalan kurikulum, dan beragam aturan atau kebijakan yang diterapkan sekolah. Pasalnya, dua hal itu secara langsung berdampak kepada orang tua/wali murid, terutama secara psikologis dan ekonomis !.

Tak sedikit orang tua/wali kerap mengeluh tentang perubahan kurikulum  pendidikan dan berbagai aturan atau kebijakan baru yang diterapkan sekolah yang membuat mereka justru semakin repot dan terbebani.

Sebut saja, soal mahalnya buku (bacaan, LKS), seragam, biaya les, dan biaya-biaya lain yang dibebankan kepada orang tua/wali dengan status "sumbangan wajib" dan "sumbangan sukarela" (tapi sering ditambahi embel-embel "minimal Rp....").

Orang tua/wali murid bukannya tidak mau memprotes. Tetapi ada banyak kasus menunjukkan fakta, ketika mereka melakukan protes atau menyatakan keberatan dan ketidak-setujuannya, justru anak-anak mereka menjadi korban, atau minimal menjadi 'sandera' pengelola sekolah. 

Saya tidak ingin mengulas lebih jauh soal (masih) ruwetnya sistem pendidikan dan pengajaran sekolah (dasar dan menengah) di negeri kita dengan bermacam varian masalahnya. Saya meyakini bahwa, apapun dan bagaimanapun sistem pendidikan yang diterapkan sekolah, akan berjalan menuju perubahan dan perbaikan dengan menerapkan secara sungguh-sungguh prinsip  keterbukaan, akuntabilitas dan partisipasi !.

Pasal 48 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas menyatakan bahwa "Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik". 

Ketentuan dalam pasal itu sudah jelas wajib diikuti dan dilakukan semua pengelola lembaga pendidikan. Dana apapun yang diterima sekolah baik yang bersumber dari APBN, ABPD maupun yang dihimpun dari masyarakat (donatur, alumni, orang tua/wali murid) harus dikelola secara transparan/terbuka dan dipertanggungjawabkan (akuntabel) kepada publik.

Komite sekolah adalah pihak lain di luar struktur lembaga pendidikan yang kerap dituding memiliki andil dalam perumusan dan penerapan aturan atau kebijakan sekolah yang membebani orang tua/wali murid. Apalagi, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, memberi keleluasaan kepada Komite sekolah untuk menggalang dana dan sumber daya pendidikan lainnya berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan, sebagai bentuk dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan (pasal 10 ayat 1 dan 2).

Hasil penggalangan dana oleh Komite Sekolah, menurut Permendikbud itu, dapat digunakan antara lain untuk menutupi kekurangan biaya satuan pendidikan; Pembiayaan program/kegiatan terkait peningkatan mutu sekolah yang tidak dianggarkan; Pengembangan sarana/prasarana; dan Pembiayaan kegiatan operasional Komite Sekolah (Pasal 10 ayat 5).

Sekolah sebagai lembaga pendidikan dan Komite Sekolah sebagai lembaga mandiri (yang dibentuk di setiap sekolah), menerima dan mengelola dana yang bersumber dari APBN,APBD dan sumbangan masyarakat (donatur, alumni, orang tua/wali murid). 

Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), kedua lembaga itu adalah Badan Publik yang memiliki kewajiban untuk menyediakan,memberikan dan/atau menerbitkan informasi kepada publik. 

Informasi tentang pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pengelolaan dana atau anggaran pendidikan adalah bagian dari informasi publik yang wajib disampaikan kepada publik (secara aktif maupun pasif). Ada banyak cara penyampaian informasi kepada publik seperti lewat media massa, media sekolah (offline dan online), rapat-rapat yang melibatkan orang tua/wali murid dan  elemen masyarakat. 

UU KIP juga menjamin masyarakat (publik), terutama orang tua/wali murid, guru, pegawai dan karyawan sekolah untuk mengetahui atau mengakses informasi itu. Mereka berhak tahu akan rencana pembuatan kebijakan sekolah, alasan pengambilan keputusan-keputusan sekolah dan program-program yang sedang atau telah dilakukan sekolah. 

Jaminan UU KIP terhadap masyarakat untuk tahu atas informasi-informasi itu, adalah hak konstitusional. Begitu pula kewajiban bagi sekolah dan lembaga terkait, seperti Komite Sekolah, untuk membuka akses informasi kepada publik adalah amanat konstitusi. 

Keterbukaan (transparansi) dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah mutlak diperlukan sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban (akuntabilitas) atas semua keputusan dan kebijakan yang telah diambil dan dilaksanakan. Keterbukaan juga dibutuhkan untuk meningkatkan peran serta (partisipasi) masyarakat ---terutama orang tua/wali murid---dalam proses pendidikan dengan memberi masukan, dukungan sekaligus kontrol atau pengawasan terhadap penyelengaraan pendidikan di sekolah.

Dengan tekad dan komitmen yang kuat, penerapan prinsip transparasi,akuntabilitas dan partisipasi di lingkungan sekolah akan mendatangkan beberapa manfaat, seperti meningkatkan kepercayaan publik (public trust) dan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang atau penyelewengan dalam pengelolaan dana pendidikan. Jika ikhtiar seperti itu dijalankan, maka perubahan menuju perbaikan kualitas pendidikan dan peserta didik akan semakin cepat terwujud (*).


------------

*) Penulis adalah Komisioner Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur.

Pewarta: Mahbub Junaidi *)

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017