Jaringan pipa paralon berukuran sedang terpasang rapi di sepajang tepian jalan hingga masuk ke rumah-rumah penduduk di permukiman Dusun Gembel, Kelurahan Winongo, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun, Jawa Timur.

Pipa-pipa tersebut merupakan sarana pengelola sampah dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Madiun untuk menyalurkan gas "metan" yang dihasilkan dari pengolahan sampah organik di tempat pembuangan akhir (TPA) Winongo yang berjarak sekitar 100 meter dari kampung.

Hampir 100 kepala keluarga (KK) di dua RT Dusun Gembel, yakni RT 30 dan RT 31 memperoleh manfaat gas metan dari pengolahan sampah organik. Di RT 30 RW 8 ada sebanyak 70 KK dan di RT 31 RW 8 ada sekitar 28 KK.

Warga tersebut menjadikan gas metan sebagai sumber energi alternatif ramah lingkungan untuk bahan bakar memasak sehari-hari menggantikan ketergantungan kebutuhan elpiji dan minyak tanah.

"Sejak ada penyaluran gas metan dua tahun lalu, penggunaan elpiji oleh warga Dusun Gembel berkurang drastis. Kami sangat terbantu, lebih hemat, dan murah," ujar pengguna gas metan sampah organik sekaligus Ketua RT 31 Suparmin.

Ia menjelaskan, jika sebelumnya satu bulan rata-rata warga sekitar bisa menghabiskan lebih dari dua tabung elpiji ukuran tiga kilogram untuk bahan bakar, saat ini satu tabung bisa bertahan hingga dua bulan.

"Tiap hari masaknya ya pakai gas metan itu. Elpiji hanya digunakan sebagai cadangan jika tempat pengolahan gas metan di TPA Winongo sedang ada perbaikan," terang dia.

Suparmin menuturkan, gas metan dari pengolahan sampah organik tersebut disalurkan secara gratis oleh DKP Kota Madiun. Warga di dua RT tersebut hanya membayar iuran sebesar Rp2.000 per bulan yang digunakan untuk perbaikan saluran jika ada kerusakan pipa paralon. Iuran itu atas kesepakatan bersama warga.

Warga mengaku, api yang dihasilkan dari bahan bakar gas metan juga cukup bagus. Terlihat berwarna biru. Meski dihasilkan dari sampah, warga juga tidak mencium bau yang menyengat.

Untuk memasak dengan gas metan, diperlukan kompor tungku khusus. Awalnya DKP Kota Madiun membagikan sejumlah kompor tungku tersebut kepada warga. Kini seiring waktu, warga bisa memodifikasi kompor sendiri untuk digunakan dengan bahan bakar gas metan.

Adapun nilai bakar gas metan yang dihasilkan lebih rendah dari elpji. Karena itu, untuk menyalakan api di kompor gas metan perlu dipicu dengan korek api terlebih dahulu. Hal ini yang membedakan dengan kompor elpiji yang menggunakan pematik.

"Meski dinyalakan pakai korek api, tidak masalah. Nyalanya cukup bagus dan apinya biru seperti kompor yang memakai elpiji," ungkap pengguna gas metan sampah organik lainnya, Patmi.

Patmi mengaku semua kebutuhan memasaknya selama ini menggunakan kompor gas metan. Mulai dari merebus air, menggoreng, dan lainnya. Adapun elpiji hanya untuk cadangan saja.

Ia merasa pengeluaran keluarganya untuk bahan bakar elpiji jauh berkurang sejak dusunnya mendapat penyaluran gas metan dari sampah organik. Hal yang sama juga dirasakan oleh warga lainya di dusun tersebut.

Hasilkan 38 Meter Kubik
Pengolahan sampah organik menghasilkan gas metan di TPA Winongo Kota Madiun telah dilakukan sejak tahun 2014. Kala itu, hal tersebut menjadi kebutuhan yang medesak, mengingat kapasitas TPA setempat yang semakin menyusut seiring bertambahnya sampah yang masuk.

         "Untuk itu, kami di DKP harus berbuat sesuatu. Di antaranya mengolah sampah organik untuk didaur ulang menghasilkan gas metan dan pupuk. Sedang sampah plastik telah dipilahi oleh pemulung," ujar Kepala Bidang Kebersihan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Madiun Heri Martono.

Ia mengatakan, pengolahan sampah organik hingga menghasilkan gas metan bukanlah metode baru, meski demikian, tidak semua pemerintah daerah mampu dan berhasil melakukannya.

"Rata-rata, gas metan yang diproduksi dari tempat pengolahan sampah di TPA Winongo mencapai 38 meter kubik per hari. Jumlah tersebut lebih dari cukup untuk menyalakan tungku hampir 200 KK di sekitar TPA," tuturnya.

Untuk menghasilkan gas metan, sampah organik yang telah dipilah ditata dengan metode "control landfill terasering". Yakni penataan sampah dengan model berlapis antara sampah-tanah-sampah-tanah dengan terasering (miring) berbentuk piramida hingga batas ketinggian tertentu.

Kemudian, melalui proses fermentasi secara alami selama enam bulan hingga satu tahun, timbunan sampah organik dan tanah tersebut mampu menghasilkan gas metan yang menjadi sumber energi alternatif.

Untuk dapat dimanfaatkan, gas, limbah padat, dan limbah cair yang muncul dari sampah tersebut ditangkap dengan instalasi pipa paralon berukuran besar yang sebelumnya telah ditanam dalam timbunan sampah yang ditata dengan metode "control landfill terasering". Pipa tersebut diberi lubang-lubang dengan jarak tertentu.

         "Gas metan yang mendominasi komposisi gas dalam timbunan sampah tersebut kemudian dimurnikan dengan menggunakan tabung pemilah hingga gas yang dihasilkan tersebut mencapai 90 persen gas metan dan dipisahkan dari limbah cair dan padat," papar Heri.

         Kemudian, gas metan yang telah dimurnikan dimanfaatkan untuk menggerakan generator set bahan bakar gas inovatif guna menghasilkan energi listrik dan lainnya disalurkan ke tungku warga untuk menghasilkan energi panas atau bahan bakar pengganti elpiji.

Dari tujuh zona yang ada di TPA Winongo, sementara ini terdapat tiga zona tangkapan gas metan. Di mana di zona tersebut telah dipasangi pipa instalasi penangkap gas metan.

"Ketiga zona yang sdah dipasangi pipa instalasi penangkap gas metan adalah zona I, V, dan VII. Ke depan semua zona akan dipasangi," tambahnya.

Saat ini, penyaluran gas metan dari TPA Winongo aktif mulai pukul 05.00 hingga 21.00 WIB. Sedangkan residu limbah cair berupa air yang dihasilkan dari proses fermentasi sampah organik dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik.

Dua Keuntungan
Kepala Bidang Kebersihan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Madiun Heri Martono mengemukakan, pengolahan sampah organik di TPA Winongo Kota Madiun dengan menghasilkan gas metan memiliki dua keuntungan sekaligus.

Yakni, keuntungan pertama adalah mencegah polusi lingkungan. Keberadaan sampah yang didaur ulang hingga menghasilkan gas metan telah terbukti mampu menambah kapasitas TPA setempat.

"Sekarang ini jumlah sampah yang masuk ke TPA Winongo sudah mencapai 100 ton per hari. Jumlah itu bertambah mengikuti perkembangan penduduk. Ditargetkan pada 2019 sampah yang masuk ke TPA bisa berkurang 20 persen menjadi sekitar 80 ton per hari," imbuh Heri.

Adapun upaya riil yang dilakukannya untuk mewujudkan target tersebut antara lain, meningkatkan partisipasi masyarakat tentang pengolahan sampah di tingkat rumah tangga, pelatihan pengomposan, hingga mengaktifkan terus bank sampah yang ada di Kota Madiun.

"Di samping itu, daur ulang sampah untuk menjadi gas metan terus berjalan dan terus ditingkatkan produksinya," ucapnya.

Ia menjelaskan, penangkapan gas metan yang diproduksi oleh sampah juga mengurangi efek "rumah kaca" yang dapat merusak lapisan ozon bumi.

Pengelolaan sampah tersebut juga telah mengantar Kota Madiun meraih penghargaan di bidang lingkungan hidup yakni Adipura Kirana tahun 2016 untuk tingkat kota sedang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Penggunaan gas metan dari daur ulang sampah organik sangat berpotesi menggantikan peran elpiji dan minyak tanah untuk menjadi bahan bakar alternatif yang murah dan ramah lingkungan.

Selain itu, gas metan dari daur ulang sampah organik juga dapat menggerakkan generator yang dapat menghasilkan energi listrik.

Hal tersebut sejalan dengan rencana pemerintah untuk fokus pada pengembangan EBT di masa mendatang guna mengurangi secara bertahap konsumsi sumber energi dari fosil yang sangat tinggi. Sementara, produksi migas di dalam negeri masih minim, bahkan cenderung turun.

Sebagai bagian dari pemerintah, PT Pertamina (Persero) selaku BUMN yang posisinya sangat strategis dalam menentukan ketahanan energi nasional, juga mengajak semua masyarakat untuk mewujudkan kemandirian energi nasional. Pertamina juga mendukung penuh upaya pengembangan EBT tersebut.

Pengembangan EBT menjadi hal yang mendesak dilakukan oleh Indonesia mengingat kebutuhan energi di Tanah Air sangat tinggi, terlebih untuk proses pembangunan. Sisi lain, kemandirian energi nasional merupakan jaminan agar pembangunan nasional tetap berlangsung.

Indonesia beruntung memiliki keanekaragaman sumber EBT yang dapat dikembangkan lebih serius. Di antaranya air, panas bumi, angin, bahkan daur ulang limbah organik. Tinggal keseriusan dari pemerintah untuk mewujudkannya.

Pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber EBT tersebut akan berkontribusi besar terhadap kemandirian energi nasional yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan. Tentu tanpa melupakan penghematan yang perlu dilakukan terhadap energi dari fosil yang saat ini masih menjadi sumber energi utama di Tanah Air.(*)

Pewarta: Louis Rika Stevani

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016