Surabaya (Antara Jatim) - Geolog ITS Dr Ir Amien Widodo menegaskan bahwa Kota Surabaya dan sekitarnya berpotensi mengalami gempa darat, karena itu Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya sudah harus mulai berbenah menghadapi gempa itu.

"Sumber gempa di selatan Jatim dengan Magnitudo (M) 8,51 juga harus diperhitungkan, karena itu Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi di Jatim untuk membentuk konsorsium penelitian gempa," katanya di Surabaya, Selasa.

Menurut dia, gempa yang terjadi di Yogyakarta (2006), Padang (2009), Bener Meriah Aceh (2012), Selandia Baru (2007), Nepal (2015) dan yang terakhir terjadi di Kumamoto dan Ekuador (2016) merupakan gempa dengan pusat gempa di darat.

"Irwan Meilano (pakar mitigasi bencana gempa bumi ITB) mengatakan hasil riset geologi terbaru yang dipublikasikan di Geophysical Research Letter mengungkap keberadaan sumber gempa di wilayah Jawa Timur," ucapnya.

Sumber Gempa tersebut berasal dari Sesar Kendeng, patahan yang melintang sejauh 300 kilometer dari selatan Semarang, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur.

Ada sejumlah rekaman kejadian gempa pada abad 19 yang diduga berasal dari sesar tersebut. Namun, ketiadaan gempa yang baru membuat para pakar tektonik berpikir bahwa Sesar Kendeng tidak aktif.

Namun, hasil kolaborasi peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB), Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Australia National University (ANU) untuk pertama kalinya mengonfirmasi bahwa Sesar Kendeng masih aktif dengan pergerakan 5 mm per tahun.

"Selama ini gempa di Jawa Timur diasosiasikan dengan aktivitas subduksi di pantai selatan Jawa. Kini, ada satu lagi sumber gempa yang harus diwaspadai," ujarnya.

Ia menjelaskan Sesar Kendeng adalah perpanjangan dari Sesar Wetar dan Flores yang membentang hingga utara Bali, masuk ke daratan Jawa. Segmen yang berada di daratan Jawa dan utara Bali, dikonfirmasi sebagai patahan aktif dan bisa menimbulkan gempa.

Hasil riset terbaru menunjukkan, pergerakan di sebelah utara (back arc Bali-Wetar) lebih aktif. Potensi gempa dari utara Bali hingga Pulau Wetar di atas magnitudo (M) 8.

"Gempa itu tidak membunuh, karena itu kita bisa belajar kepada Jepang yang merupakan Negara Kepulauan relatif kecil dan terletak di kawasan geologi tektonik aktif dengan banyak gempa dan tsunami sama dengan negara kita," tuturnya.

Jepang mencatat, meneliti, mengembangkan sistem peringatan dini, mengembangkan bangunan tahan gempa, dan menyosialisasikan hasil penelitiannya. Sosialisasi kepada masyarakat tanpa kecuali baik kepada balita, manula, ibu-ibu hamil, maupun penyandang cacat dan lain-lain.

"Mereka melakukan gladi atau simulasi menghadapi gempa secara rutin dalam jangka waktu tertentu. Karena sosialisasi sudah berlangsung lama maka masyarakat Jepang sudah terbangun budaya keselamatan," katanya.

Saat terjadi gempa, mereka reflek akan bersembunyi di bawah meja sampai getaran selesai baru mereka keluar ruangan satu persatu. Tsunami Sendai pada 11 Maret 2011, Jepang dihantam gempa 9,0 skala Richter dan diikuti tsunami yang dahsyat, rusaknya infrstruktur, kebakaran hebat, dan rusaknya intalasi nuklir.

"Gempa dan tsunami ini mirip dengan yang terjadi di Aceh tahun 2004, namun bisa kita bandingkan jumlah korban dan kerusakan yang terjadi. Tsunami di Aceh jumlah korban lebih dari 167.300 orang, sedangkan di Jepang tidak lebih dari 20.000 orang," imbuhnya. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016