Surabaya (Antara Jatim) - DPD Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) Jatim mengakui organisasi yang diklaim bergerak dalam bidang sosial dan budaya itu memang belum terdaftar di Departemen Dalam Negeri karena belum mengantongi Surat Keterangan Terdaftar.

"Gafatar lahir sejak 2011, kemudian Gafatar Pusat membubarkannya pada bulan Agustus 2015 karena masih belum ada Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Departemen Dalam Negeri (Depdagri)," kata Mantan Ketua Dewan Pimpinan Gafatar Surabaya, Riko, di Surabaya, Rabu.

Didampingi Mantan Kepala Bidang Kesehatan Gafatar Jatim, dr Budi Laksmono, ia mengatakan pihaknya sudah mengurus SKT di Depdagri pada tahun 2011, namun hingga bulan Agustus 2015 tidak kunjung diterbitkan oleh Depdagri, padahal pihaknya mengklaim kegiatannya sangat positif.

"Mungkin ada kecemburuan atau faktor lainnya, hingga Gafatar belum mempunyai SKT. Akhirnya kami membubarkan Gafatar tanpa mengubah nama, sedangkan untuk nama Negara Karunia Semesta Alam (NKSA) yang beredar luas kemungkinan organisasi lain yang tidak berhubungan dengan Gafatar," paparnya.

Dalam konsep organisasinya, lanjutnya, Gafatar mengajak kembali ke aturan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga aturan tersebut satu dan memandang secara fisik dan moral terkait pemahaman bahwa negara ini sedang krisis.

"Dalam konsep, kita diberi pemahaman bahwa negara ini sedang krisis moral, sehingga jika hal itu terjadi maka tidak mustahil kalau negara ini akan menjadi negara yang terkutuk, terlihat dari tanda-tanda isu global warming, El Nino, dan lainnya," tuturnya.

Oleh karena itu, tambahnya, agar terhindar dari kutukan, langkah sederhana yang harus dilakukan adalah menyiapkan pangan sebanyak-banyaknya.

Untuk bertahan dari ancaman kutukan inilah, ratusan mantan anggota Gafatar saat ini melakukan aksi hijrah ke Kalimantan guna bercocok tanam.

Mantan Kepala Bidang Kesehatan Gafatar Jatim, dr Budi Laksmono menambahkan daerah Kalimantan menjadi tujuan utama dari mantan para anggota Gafatar, karena di daerah ini masih memiliki lahan yang luas dan masih sangat subur.

"Beberapa orang mantan anggota Gafatar yang selama ini menghilang kemungkinan besar berada di Kalimantan untuk bergabung dalam gerakan bercocok tanam, namun untuk pergi ke Kalimantan tujuan mereka berbeda-beda sesuai dengan akidah masing-masing yang telah dianutnya," tandasnya.

Secara terpisah, Pimpinan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, Jakarta, M. Amin Djamaluddin, menunjukkan hasil penelitian yang "mementahkan" pandangan bahwa Gafatar merupakan gerakan sosial. Hasil penelitiannya menemukan bahwa Gafatar adalah nama (baju) baru dari Al-Qiyadah Al-Islamiyyah dan Komar (Komunitas Millah Abraham).

"Mereka berganti nama setelah 'nabi' Ahmad Moshaddeq menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya pada 29 Oktober 2007 dan divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 23 April 2008 dengan hukuman empat tahun penjara," katanya di Jakarta (11/1).

Pergantian nama itu diputuskan dalam rapat pengurus lengkap di Jalan Raya Puncak KM 79, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, 12 September 2009, bukan tahun 2011 atau 2008. Dengan nama baru itu, mereka melakukan kegiatan sosial di mana-mana di seluruh Indonesia.

"Namun, inti ajarannya masih tetap bersumber kepada 'nabi' Ahmad Moshaddeq. Sumber ajaran sebenarnya ada pada buku-buku asli tulisan Ahmad Moshaddeq dan buku tulisan Ketua Umum Gafatar, Mahful Muis Hawari, yang berjudul 'Teologi Abraham Membangun Kesatuan Iman, Yahudi, Kristen dan Islam'," katanya. (*)

Pewarta: Laily Widya Arisandhi

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016