Bayang-bayang kegelisahan dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhirnya tiba juga setelah kebijakan perdagangan bebas ASEAN dalam skala lebih luas itu benar-benar diterapkan pada awal 2016.

Bukan maksud pemerintah menakut-nakuti rakyat  dengan jauh hari menggaungkan berita tentang MEA yang ujung-ujungnya memang membuat kegelisahan di kalangan masyarakat.

Jangankan penduduk di pelosok Sumatera ataupun nun jauh di Papua sana, warga sebagian besar Pulau Jawa yang mendapat kemudahan akses informasi saja, banyak yang belum memahami tentang MEA.

Tujuan pemerintah menyosialisasikan MEA sebenarnya lebih untuk mempersiapkan mental masyarakat menghadapi pasar bebas berbagai komoditas, termasuk sektor jasa.

Kegalauan terhadap kehadiran MEA sebenarnya tidak perlu terjadi apabila masyarakat benar-benar telah siap, dan pemerintah pun memberikan dukungan sepenuhnya dengan memperkuat daya tangkal menghadapi gelontoran komoditas pertanian dari negara-negara ASEAN yang masuk ke Indonesia.

Selaku produsen gula pasir terbesar nasional, Jawa Timur paling terkena dampak dari diberlakukannya MEA ini. Produksi nasional gula setahun kini hanya 2,5 juta ton, sekitar 60 persen disumbang oleh Jatim. Sedangkan kebutuhan gula nasional mencapai 5,5 juta ton pertahun untuk dikonsumsi sekitar 230 juta jiwa, sehingga Indonesia selama ini mengimpor gula sekitar 3 juta ton.

Sebagai perbandingan, Thailand dengan jumlah penduduk sekitar 60 juta jiwa mampu memproduksi  10 juta ton gula setahun. Dengan tingkat konsumsi gula hanya 800 ribu ton setahun, negeri Gajah Putih itu mencatat surplus lebih dari 9 juta ton.

Sebagian dari kelebihan produk gula Thailand itu bisa jadi akan menggerojok pasar Indonesia, tanpa kita kuasa membendungnya karena memang tidak boleh ada sekat regulasi yang mengaturnya. Itu baru dari Thailand, belum lagi dari negara produsen gula lainnya seperti Vietnam.

Membanjirnya gula di Indonesia dari luar negeri itu tentu akan memukul produsen dalam negeri karena yang pasti akan kalah bersaing dalam soal harga. Murahnya harga gula impor karena industri gula di Thailand, misalnya, telah mampu melakukan efisiensi.

Kondisi seperti itu, di satu sisi membuat rakyat senang karena mendapatkan gula dengan harga murah, tapi di sisi lain tanpa disadari akan merusak perekonomian secara nasional karena banyak pabrik gula gulung tikar sehingga kita harus rela membuang devisa dengan menggantungkan kebutuhan pada impor.

Untuk itu, sejumlah industri gula di Indonesia harus direvitalisasi dan mendorong upaya efisiensi sehingga mampu menghasilkan produksi dengan harga dan kualitas yang bersaing.

Di sektor jasa tidak kalah galaunya. Serbuan tenaga kerja asing yang tak bisa kita tolak kehadirannya, akan mewarnai kehidupan sehari-hari pasca diberlakukannya MEA. Hanya saja pemerintah di daerah masih diberi kewenangan  untuk membuat regulasi, misalnya pengacara asing tidak bisa membuka kantor sendiri, tetapi harus bergabung dengan kantor pengacara setempat. Begitu pula tenaga medis asing harus menguasai Bahasa Indonesia.

Ancaman tidak hanya datang dari luar, dari dalam negeri pun masalah membanjirnya tenaga kerja asing bisa dimanfaatkan sebagai komoditas politik untuk menyerang kebijakan pemerintah, terutama bagi mereka yang selama ini berseberangan.  

Apapun yang terjadi, jangan jadikan MEA sebagai hal yang menakutkan dan mengkhawatirkan kehidupan bangsa. Sebaliknya, mari kita posisikan MEA sebagai langkah positif menuju kehidupan yang lebih berkualitas dan bermanfaat bagi seluruh umat. (*)


Pewarta: Indro Sulistyo

Editor : Indro Sulistyo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016