Surabaya (Antara Jatim) - Sejumlah lembaga pegiat lingkungan meminta Pemerintah Provinsi Jawa Timur merevisi Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) untuk meminimalisasi krisis ekologi agar tidak semakin parah sehingga merugikan ruang hidup rakyat.
"Kami mendesak agar pemerintah merevisi peruntukan RTRW, baik provinsi maupun kabupaten/kota," ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Ony Mahardika usai menghadiri rapat koordinasi dengan Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf di Kantor Gubernur, Jalan Pahlawan Surabaya, Kamis.
Menurut dia, krisis ekologi akibat penambangan itu terjadi karena pemerintah tak konsisten dengan peruntukan RTRW dan ada kesalahan perencanaan tata ruang.
Selain itu, kata dia, untuk meminimalisasi krisis ekologi dan konflik sosial akibat pertambangan, diharapkan pemerintah mengevaluasi semua izin usaha pertambangan (IUP), baik yang legal maupun ilegal.
"Moratorium Izin Usaha Pertambangan itu sangat diperlukan agar kerusakan lingkungan hidup tidak semakin parah," ucapnya.
Pihaknya juga mendesak kepada instansi terkait yang berwenang mengeluarkan izin untuk mendengar aspirasi dari masyarakat sekitar lokasi pertambangan terlebih dahulu sebelum mengeluarkan izin usaha pertambangan.
"Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dibuat oleh konsultan juga perlu dicek ulang karena kebanyakan tidak komprehensif, bahkan cenderung 'copy paste'," katanya.
Secara khusus, Walhi juga menyoroti lokasi pertambangan milik PT IMMS di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang yang menimbulkan insiden penganiayaan hingga terbunuhnya Salim Kancil, bahwa sejatinya termasuk Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) Pasir Besi, bukan pasir bangunan.
"Penambangan pasir di lahan milik PT IMMS itu harus diusut, sebab wilayah tersebut untuk penambangan pasir besi, bukan pasir bangunan," katanya.
Sementara itu, Wagub Jatim Saifullah Yusuf berharap masukan dari lembaga pegiat lingkungan ini sangat diperlukan untuk memberi masukan kepada Pemprov Jatim sebelum melakukan evaluasi terhadap seluruh izin usaha pertambangan.
"Sekarang masih masa transisi karena sebelumnya izin usaha pertambangan menjadi kewenangan kabupaten/kota, namun dengan terbitnya UU 23/2014, kini diambil alih provinsi," kata Gus Ipul, sapaan akrabnya.
Kendala lain dalam penertiban IUP, lanjut dia, terkait keberadaan inspektorat pertambangan yang masih menjadi kewenangan pemerintah pusat.
"Dinas ESDM Jatim juga akan membuat UPT-UPT agar bisa memberikan pelayanan yang lebih baik sekaligus melakukan pengawasannya," kata mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal tersebut.
Selain Walhi, dalam rapat koordinasi juga dihadiri sejumlah lembaga lainnya, antara lain Ecoton, KNTI dan Indo Water Cop Jatim.
Hadir juga dalam kesempatan tersebut Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral Jatim Dewi J Putriatni, Kabiro Hukum Pemprov Jatim Himawan Estu Bagio, serta perwakilan Satpol PP Jatim. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"Kami mendesak agar pemerintah merevisi peruntukan RTRW, baik provinsi maupun kabupaten/kota," ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Ony Mahardika usai menghadiri rapat koordinasi dengan Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf di Kantor Gubernur, Jalan Pahlawan Surabaya, Kamis.
Menurut dia, krisis ekologi akibat penambangan itu terjadi karena pemerintah tak konsisten dengan peruntukan RTRW dan ada kesalahan perencanaan tata ruang.
Selain itu, kata dia, untuk meminimalisasi krisis ekologi dan konflik sosial akibat pertambangan, diharapkan pemerintah mengevaluasi semua izin usaha pertambangan (IUP), baik yang legal maupun ilegal.
"Moratorium Izin Usaha Pertambangan itu sangat diperlukan agar kerusakan lingkungan hidup tidak semakin parah," ucapnya.
Pihaknya juga mendesak kepada instansi terkait yang berwenang mengeluarkan izin untuk mendengar aspirasi dari masyarakat sekitar lokasi pertambangan terlebih dahulu sebelum mengeluarkan izin usaha pertambangan.
"Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dibuat oleh konsultan juga perlu dicek ulang karena kebanyakan tidak komprehensif, bahkan cenderung 'copy paste'," katanya.
Secara khusus, Walhi juga menyoroti lokasi pertambangan milik PT IMMS di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang yang menimbulkan insiden penganiayaan hingga terbunuhnya Salim Kancil, bahwa sejatinya termasuk Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) Pasir Besi, bukan pasir bangunan.
"Penambangan pasir di lahan milik PT IMMS itu harus diusut, sebab wilayah tersebut untuk penambangan pasir besi, bukan pasir bangunan," katanya.
Sementara itu, Wagub Jatim Saifullah Yusuf berharap masukan dari lembaga pegiat lingkungan ini sangat diperlukan untuk memberi masukan kepada Pemprov Jatim sebelum melakukan evaluasi terhadap seluruh izin usaha pertambangan.
"Sekarang masih masa transisi karena sebelumnya izin usaha pertambangan menjadi kewenangan kabupaten/kota, namun dengan terbitnya UU 23/2014, kini diambil alih provinsi," kata Gus Ipul, sapaan akrabnya.
Kendala lain dalam penertiban IUP, lanjut dia, terkait keberadaan inspektorat pertambangan yang masih menjadi kewenangan pemerintah pusat.
"Dinas ESDM Jatim juga akan membuat UPT-UPT agar bisa memberikan pelayanan yang lebih baik sekaligus melakukan pengawasannya," kata mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal tersebut.
Selain Walhi, dalam rapat koordinasi juga dihadiri sejumlah lembaga lainnya, antara lain Ecoton, KNTI dan Indo Water Cop Jatim.
Hadir juga dalam kesempatan tersebut Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral Jatim Dewi J Putriatni, Kabiro Hukum Pemprov Jatim Himawan Estu Bagio, serta perwakilan Satpol PP Jatim. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015