Surabaya (Antara Jatim) - Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Ridwan Hisjam mengatakan Penyerapan anggaran pemerintah hingga akhir bulan Agustus 2015 cukup rendah berkisar 30-40 persen, padahal idealnya mencapi 60-70 persen.
Sisa dana yang tidak terserap itu berpeluang menjadi sisa lebih pengeluaran anggaran (Silpa) karena tahun 2015 kurang dari empat bulan lagi dan berdampak pada program pembangunan kampus.
"Serapan anggaran yang minim tidak hanya di pemerintah Surabaya, tetapi juga terjadi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud) dengan rata-rata serapan anggaran kurang dari 30 persen," kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI Ridwan Hisjam usai menghadiri wisuda Universitas Wijaya Putra (UWP) di Hotel Shangrilla Surabaua, Minggu.
Ia mengatakan, minimnya serapan anggaran disebabkan berbagai faktor yaitu perubahan nomenklatur organisasi, pengecekan anggaran oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta tidak menentunya kondisi politik dan hukum di Tanah Air.
"Pengecekan atau review dari BPKP dilakukan saat anggaran sudah disahkan DPR RI, padahal hal itu seharusnya tidak boleh dilakukan BPKP karena sudah di dog oleh DPR RI dan sudah menjadi undang-undang, jika BPKP ingin mengecek, maka lakukan sebelum anggaran disahkan. Itu pun yang boleh mengecek sebenarnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tapi setelah program selesai berjalan. Jika ada penyimpangan bisa diketahui BPK," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, dengN terbatasnya waktu, makanyang berpeluang sulit terealisasi penyerapan anggarannya terkait pembangunan sarana dan prasarana, seperti pembangunan gedung maupun sarana dan prasarana kampus, padahal anggaran tersebut sudah diputuskan dalam APBN Perubahan yang ternyata sampai saat ini belum digunakan.
"Pengerjaan pembangunan gedung kampus itupun tidak boleh asal-asalan. Harus dilakukan lelang minimal satu bulan, dan ada masa tenggang untuk gugatan dari peserta lelang bila tidak terima dengan hasil lelang. Jadi, waktu yang tersisa ini, mulai September sampai Desember saya kira kurang untuk membangun sarana yang memadai," ujarnya.
Menurut dia, penyerapan anggaran untuk pembangunan fisik lebih sulit dibanding pengadaan barang yang lain. Jika barang ada, pengadaan bisa mudah jalan, seperti mengenai Program Indonesia Pintar (PIP) yang merupakan penyempurnaan dari Bantuan Siswa Miskin. Hingga kini serapannya juga masih sekitar 30 persen.
"Saya tetap optimistis sampai akhir tahun 2015 PIP dananya bisa terserap karena uangnya telah tersedia di pemerintah, daerah-daerah tinggal memperbaiki data untuk pencairan dan mengimbau kepada pemerintah untuk tetap menggunakan anggaran secara berkualitas dengan waktu yang tersisa. Pemerintah jangan ambil jalan pintas yang langsung membagi-bagikan anggaran sekenanya, tapi tidak tepat sasaran," tandasnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
Sisa dana yang tidak terserap itu berpeluang menjadi sisa lebih pengeluaran anggaran (Silpa) karena tahun 2015 kurang dari empat bulan lagi dan berdampak pada program pembangunan kampus.
"Serapan anggaran yang minim tidak hanya di pemerintah Surabaya, tetapi juga terjadi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud) dengan rata-rata serapan anggaran kurang dari 30 persen," kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI Ridwan Hisjam usai menghadiri wisuda Universitas Wijaya Putra (UWP) di Hotel Shangrilla Surabaua, Minggu.
Ia mengatakan, minimnya serapan anggaran disebabkan berbagai faktor yaitu perubahan nomenklatur organisasi, pengecekan anggaran oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta tidak menentunya kondisi politik dan hukum di Tanah Air.
"Pengecekan atau review dari BPKP dilakukan saat anggaran sudah disahkan DPR RI, padahal hal itu seharusnya tidak boleh dilakukan BPKP karena sudah di dog oleh DPR RI dan sudah menjadi undang-undang, jika BPKP ingin mengecek, maka lakukan sebelum anggaran disahkan. Itu pun yang boleh mengecek sebenarnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tapi setelah program selesai berjalan. Jika ada penyimpangan bisa diketahui BPK," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, dengN terbatasnya waktu, makanyang berpeluang sulit terealisasi penyerapan anggarannya terkait pembangunan sarana dan prasarana, seperti pembangunan gedung maupun sarana dan prasarana kampus, padahal anggaran tersebut sudah diputuskan dalam APBN Perubahan yang ternyata sampai saat ini belum digunakan.
"Pengerjaan pembangunan gedung kampus itupun tidak boleh asal-asalan. Harus dilakukan lelang minimal satu bulan, dan ada masa tenggang untuk gugatan dari peserta lelang bila tidak terima dengan hasil lelang. Jadi, waktu yang tersisa ini, mulai September sampai Desember saya kira kurang untuk membangun sarana yang memadai," ujarnya.
Menurut dia, penyerapan anggaran untuk pembangunan fisik lebih sulit dibanding pengadaan barang yang lain. Jika barang ada, pengadaan bisa mudah jalan, seperti mengenai Program Indonesia Pintar (PIP) yang merupakan penyempurnaan dari Bantuan Siswa Miskin. Hingga kini serapannya juga masih sekitar 30 persen.
"Saya tetap optimistis sampai akhir tahun 2015 PIP dananya bisa terserap karena uangnya telah tersedia di pemerintah, daerah-daerah tinggal memperbaiki data untuk pencairan dan mengimbau kepada pemerintah untuk tetap menggunakan anggaran secara berkualitas dengan waktu yang tersisa. Pemerintah jangan ambil jalan pintas yang langsung membagi-bagikan anggaran sekenanya, tapi tidak tepat sasaran," tandasnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015